Sunday, May 30, 2021

30 di 30

Akhirnya selesai juga proyek 30 untuk 30 ini.

Sudah lama sekali gue melupakan serunya menulis, dengan proyek menulis rutin ini sepertinya mengingatkan gue kembali akan betapa menyenangkannya menuangkan pikiran ke dalam bentuk tulisan. 

Sebenarnya sebelum menulis ini di sini, gue juga melakukan hal yang sama sebagai terapi di "rumah" yang lain. Bagi gue lebih mudah menulis di sana, karena gue rasa tidak ada pembacanya. Gue jadi bebas curhat hahaha. Lalu gue berpikiran baiknya di sini juga, jadi ya begitulah, 30 tulisan dalam sebulan ini.

Sebentar lagi tanggal 30 selesai, dan ini adalah tulisan ketiga puluh di tanggal 30. Dengan berakhirnya proyek ini, bukan berarti gue akan mulai jarang menulis di sini, justru sebaliknya. Sepertinya gue akan mulai sering menulis lagi di Cuma Iseng 2 ini. Gue harus terus ingat bahwa menulis adalah salah satu hal yang gue suka... Selain malas-malasan... Yang sayangnya sudah jarang gue lakukan.

Apa gue bikin proyek 30 hari malas-malasan juga ya? Hahahahaha.

Anywaaaay... Yep, that was it. 30 posts in 30 days. And this is the 30th post. Walaupun banyak tulisan yang dipaksakan karena mengejar target, semua rangkaian kegiatan ini seru sekali. Semoga para pembaca juga merasakan keseruan yang sama.

Sampai ketemu lagi di tulisan selanjutnya yang--gue rasa--akan lebih teratur.

Much love,

- O -

Akhirnya Kepala Tiga

Hari ini gue berganti umur menjadi tiga puluh tahun. Gue cuman bisa kayak "daaaaaammmmnnnnnn!".

Cukup terkejut sih gue ternyata bisa hidup selama ini. Gue sebagai seorang semi-nihilist tentu tidak mengharapkannya, kalau bisa sih gue mati cepat saja supaya tidak lama-lama menjalani omong kosong yang orang sebut dengan kehidupan ini. Tapi ya gue tidak mau mengakhiri hidup gue juga karena beberapa alasan. Jadi gue hanya bisa menjalani hidup gue dengan cara gue, supaya hidup gue berjalan dengan maksimal menurut hemat gue.

Live to live. Menjalani hidup untuk/supaya hidup. Menghidupi hidup.

Tidak ada yang spesial dalam detik-detik gue berganti menjadi tiga puluh. Sama saja seperti hari-hari biasa. Gue menghabiskan malam pergantian tahun bersama orang-orang yang gue pilih, mengobrol dan tertawa sambil memutar gelas yang berisi air Tuhan. Bercengkrama dengan riang walaupun di paginya gue merasa agak kecewa hahaha.

Ucapan selamat masih mengalir hingga detik ini. I guess I am loved after all, karena mereka mengingatnya padahal gue tidak pernah vokal menyangkut ulang tahun gue. Beberapa orang yang lebih tua dari gue menyambut gue ke dalam klub kepala tiga. Gue masih kayak paragraf pertama tadi, cuman bisa membatin "daaaaaammmmnnnnnn!". 

Pagi tadi ketika gue sedang sendirian, gue rebahan di sofa sambil menatap awan dalam waktu yang lama. Rencana awalnya sih hanya ingin melamun saja, karena sudah lama sekali otak gue tidak senggang. Namun tidak sampai sejam, lamunan gue berubah menjadi refleksi diri. Gue jadi merenung mengenai banyak hal yang telah terjadi selama gue hidup. Gue melihat banyak lubang yang seharusnya bisa gue tambal atau gue hindari dalam hidup gue. Sesaat gue merasa menyesal, tapi langsung sadar kalau lubang-lubang itu juga salah satu faktor yang membentuk gue.

Well, anywaaaaay, I don't want to go deep. Pun gue rasa tulisan kali ini sangat berantakan. Jadi sepertinya gue akhiri saja.

So... Yeah. I'm old now. Meninggalkan twenties itu aneh sih. Padahal gue tahu ketika berulang tahun itu ya sama saja seperti pergantian hari biasa, namun ketika memasuki kepala tiga ini rasanya agak berbeda. Semacam dipaksa untuk memikirkan banyak aspek hidup dengan lebih serius. Dan lagi-lagi gue hanya bisa teriak dalam hati, "daaaaaammmmnnnnnn!".

Friday, May 28, 2021

Fetish Dua Miliar

"Lo coba deh foto kaki lo, Mar. Pasti banyak yang mau beli." Ujar teman gue tadi, ketika gue sedang selonjoran di kamarnya. Kami sedang bahas tentang masalah minuman, lalu tiba-tiba pernyataan begitu dia lontarkan. Gue kemudian bingung. Hahahaha.

Tentu pernyataannya itu maksudnya mengacu untuk orang yang mempunyai ketertarikan seksual terhadap kaki atau bahasa Manadonya: foot fetish.

Ya, gue tidak mengada-ada, ada yang mempunyai fetish terhadap kaki. Kalau tidak salah bahkan ada satu segmen porno tersendiri untuk hal tersebut. Salah satu serial favorit gue, Family Guy, bahkan pernah membuat satu episode sendiri yang bercerita tentang itu. Meg Griffin menjadi bintang porno, hanya saja cuman kakinya yang dijadikan model untuk dimasukkan ke forum foot fetish.

Gue mengerti bahwa jenis fetish orang-orang itu berbeda. Ada yang mainstream sampai ada yang sangat tidak lumrah. Untuk fetish kaki sendiri bagi gue tidak begitu aneh, karena gue pernah membaca banyak yang lebih aneh, salah satu contohnya Mucophilia yang maksudnya seseorang akan sangat bergairah kepada bersin atau tepatnya ingus yang keluar dari sana.

Lantas apakah fetish kaki itu wajar? Ya gue nggak bisa menyalahkannya juga, karena kalau bicara masalah itu sudah masuk bahasan selera. Ketika mendebatkan selera tentunya tidak akan ada habisnya, karena tidak ada yang salah dan benar. Namun apakah gue mempunyai fetish kaki? Sepertinya sih tidak. Gue kayaknya tidak akan tegang walaupun melihat kaki yang paling indah sekali pun.

Gue akan tegang kalau dikasih dua miliar. Fetish gue adalah dapat uang dua miliar rupiah.

Thursday, May 27, 2021

Waktu itu Relatif

Semua orang pasti pernah mengeluhkan hal yang semu, seperti contohnya mengeluhkan waktu terasa berjalan cepat sekali. Padahal ya tidak, setiap manusia sama-sama punya waktu 24 jam yang tiap jamnya terdiri dari 60 menit dan tiap menitnya memiliki 60 detik. Tapi ada kalanya kita merasa waktu yang kita habiskan di suatu momen itu habis dalam kecepatan yang tidak wajar.

Merasa seperti itu biasanya entah karena sedang berada di waktu yang menyenangkan atau karena bertemu orang yang membuat kita merasa senang berada di sekitarnya. Berapa pun lamanya, pasti akan terasa kurang.

Belakangan gue merasa begitu. Sering menyayangkan waktu yang berlalu begitu cepat. Entah karena gue sedang berada di waktu yang menyenangkan...

... atau karena gue sedang bertemu orang yang membuat gue merasa senang di sekitarnya.

Berapa pun lamanya, gue akan merasa kurang.

Wednesday, May 26, 2021

Diet X-3m

Pernah melakukan diet ekstrim ternyata secara tidak langsung memengaruhi perspektif gue dalam mengeluarkan uang untuk membeli makanan. Gue jadi agak pelit dalam membelanjakan uang untuk membeli makanan, soalnya gue berpikir tujuannya ya sama saja: supaya perut terisi. Jadi kalau ada alternatif yang lebih baik value-nya, kenapa harus beli yang mahal?

Jadi beberapa tahun lalu ketika masih di Jogja, gue pernah berupaya untuk menurunkan berat badan gue yang hampir mendekati 90 kilogram. Metode defisit kalori yang gue gunakan bisa dibilang ekstrim. Gue nggak akan makan sampai gue merasa lapar yang membuat perut sakit. Lapar biasa biasanya akan hilang kalau dibiarkan selama 10 sampai 15 menit, dan memang begitu yang gue rasakan. Makannya pun juga minim, paling sedikit itu hanya 4 gorengan dalam sehari. Seharian tidak makan pun bisa saja, tapi gue tidak mau merusak badan gue lebih jauh. Toh riset terhadap badan sendiri ini pun gue sadari kalau sebenarnya merusak badan.

Tentunya defisit kalori gila-gilaan ini benar-benar berhasil. Gue turun hampir 10 kilogram dalam 10 hari. Pengeluaran untuk makan pribadi pun tidak sampai 300 ribu dalam sebulan. Namun konsekuensinya adalah metabolisme gue rusak sampai sekarang, gue rasa.

Seperti yang gue bilang di atas, itu memengaruhi gue dalam belanja makanan. Gue jadi berpikiran kalau tidak perlu/ada alternatif lain, ya tidak usah dibeli untuk dimakan. Membeli makanan/minuman dengan efektif. Hal yang gue rasa baik untuk dompet sih.

Tapi sayangnya untuk membeli barang, gue masih kebalikannya. Gue masih suka belanja hal yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Apalagi misalnya itu adalah barang hobi. Sepatu misalnya.

Kalau rak sepatu tidak penuh, gatal sekali ingin membeli sepatu baru. Sampai saat ini gue belum membeli rak sepatu lagi, karena sadar kalau ada ruangan kosong di rak itu, jempol ini akan mengantarkan gue ke toko daring untuk membeli sepatu. Tidak membeli rak adalah upaya gue dalam diet sepatu.

Namun brengseknya hobi baru datang lagi. Juga gue belum menemukan cara untuk diet parfum. Nah loh?!

Yaaaa... sepertinya dompet masih belum aman. ¯\_(ツ)_/¯

Tuesday, May 25, 2021

Father and Son

Kemarin ketika sedang ada sesi karaoke di tempat kerja, teman gue menyanyikan lagu berjudul Father and Son yang aslinya lagunya dinyanyikan oleh Cat Stevens. Kurang lebih lagunya bercerita tentang hubungan antara seorang ayah dan anak lelakinya, sesuai judulnya.

Kemudian gue tertegun. Baru kali itu, padahal sebelumnya ketika mendengar lagunya gue biasa-biasa saja.

Lagu itu pertama gue dengar ketika menonton film Guardian of the Galaxy Vol. 2 di bioskop. Ketika menuju akhir film, lagu itu dimainkan di adegan yang sangat pas. Akibatnya dada ini sesak karena terisak.

Ketika lagu itu sedang dinyanyikan teman gue dan gue membaca lirik di layar, gue menyimaknya. Tiba-tiba gue teringat bokap gue yang kini sudah tua, dengan rambut putihnya yang makin terlihat banyak, dan badannya yang semakin terlihat kecil di mata gue.

Sosok gagahnya tidak lagi terlihat. Raganya semakin tua.

Gue dan bokap memiliki hubungan yang baik-baik saja. Tidak ada masalah di antara kami. Kami pun sering mengobrolkan hal-hal tak penting dan bercanda seputar itu. Namun gue tahu bahwa gue belum bisa berdamai dengan diri sendiri untuk sepenuhnya memaafkan dia, karena menurut gue dia tidak membesarkan dan mendengarkan gue dengan baik seiring gue beranjak dewasa. Banyak sekali what ifs yang ada di benak gue jika saja beliau menjadi sosok ayah yang ideal menurut ego gue.

Tetapi gue sadar kalau itu egois. Gue tidak bisa memaksakan dia untuk menjadi seorang ayah yang sempurna sesuai ideal gue. Dia memiliki rutenya sendiri dalam perjalanannya menjadi seorang ayah. Gue yakin dia sudah melakukan itu (menjadi seorang ayah) dengan maksimal menurutnya. Dalam perjalanannya, dia pasti banyak bingungnya dan kemudian tersesat ketika membesarkan anak-anaknya. Tidak tahu harus berbuat dan berucap apa ketika anaknya menemui permasalahan hidup yang berbeda-beda.

Karena pada dasarnya dia hanyalah seorang anak yang memiliki anak. Menjadi orang tua itu tidak ada buku panduan 100% tepat yang dia atau orang tua lain ikuti.

Bokap gue tak lagi muda. Posturnya tak lagi tegap dengan dada yang membusung tinggi. Rambut putihnya yang sering dia cat hitam mulai menipis. Kulit wajahnya tak lagi kencang sehingga membuat pipinya terlihat turun.

Pak Herman sudah menua.

Bangun tidur pagi tadi gue mendengar suaranya sedang di ruang makan. Dia sedang berbicara kepada adik gue yang paling kecil di meja makan. Gue yang belum sepenuhnya bangun, menghampirinya dan memeluknya dari belakang. "Pagi, Pa." Sapa gue seraya melingkari tangan ke badannya.

"Kamu nggak apa-apa?" Tanyanya heran sambil mengelus kepala gue yang berada di pundaknya.

Pelukan gue membuat gue makin sadar kalau tubuhnya yang dulu besar, kini terasa lebih kecil. Tangan gue mudah sekali mengelilingi badannya, berbeda ketika gue masih kecil.

"Nggak apa-apa, Pa." Ucap gue menjawab pertanyaannya. Diikuti dengan ucapan di dalam hati setelahnya, "Tetaplah di sini, Pa. Oji masih ingin banyak ngobrol."

Monday, May 24, 2021

Buku

Gue baru saja mendapatkan iPad lawas tanpa charger, kemudian membeli charger-nya terpisah di toko daring. Buat apa? Hanya buat membaca buku digital saja.

Gue berasumsi selama ini gue tidak begitu suka membaca buku elektronik karena sarana yang gue pakai adalah ponsel, sehingga gue tidak nyaman membacanya soalnya tulisannya kecil. Sedangkan kalau di laptop tidak praktis. Kemudian gue beberapa waktu lalu berpikir, "bagaimana kalau iPad?" Gue sih berasumsi nantinya akan nyaman saja karena besar dan cara pakainya seperti ponsel pintar. Belum gue coba sih, tapi sepertinya akan begitu.

Untuk saat ini gue lebih suka baca buku fisik ketimbang buku elektronik. Selain karena selama ini cuman bisa di ponsel/laptop sehingga nggak nyaman bacanya, juga karena sudah terlanjur biasa. Padahal buku elektronik itu lebih murah dan lebih ramah limbah ketimbang buku kertas. Tapi ya mau bagaimana lagi, gue tetap membeli buku fisik karena lebih asik saja dibacanya.

Walaupun begitu, gue bukan penggemar garis keras buku kertas. Selama ini asik membaca buku fisik cuman karena lebih nyaman saja. Bukan karena hal-hal pretensius seperti suka aroma kertasnya, sensasi membalik halamannya, tebal sampulnya, dll. Murni karena lebih nyaman bacanya saja. Nah sekarang gue sudah memiliki gawai lain untuk membaca buku elektronik. Apakah nantinya akan lebih suka baca buku elektronik? Ya semoga saja. Semoga gue menemukan kenyamanan membaca seperti saat gue membaca buku fisik, supaya iPad ini tidak sia-sia dan ke depannya bisa beli buku dengan harga lebih murah secara digital... Atau ya unduh secara ilegal.

(Bukan) Tukang Difoto

Ooops... Terlewat satu hari. Hahahahahahahahaha.

Tapi setelah dipikir-pikir tak apalah, yang penting pas tanggal 30 tulisannya ada 30.

Jadi hari Minggu kemarin gue terlalu lelah sehingga gue tertidur pulas di waktu yang lebih cepat dari biasanya. Ketika bangun jam 10 pagi tadi, TV dan lampu di kamar masih menyala, gue pun masih memakai celana panjang. Gue tertidur kurang lebih 12 jam, kemudian bangun dengan puluhan notifikasi di ponsel gue, beberapa di antaranya ada panggilan tak terjawab, padahal ponsel ada di sebelah gue persis. Akumulasi kurang tidur karena begadang dari beberapa hari sebelumnya dan energi yang habis karena melakukan aktivitas sehari-hari, berbuah tidur 12 jam seperti singa jantan pemalas yang habis makan buruan hasil berburu singa betina.

Hari Minggu kemarin gue dan teman-teman gue berburu foto. Gue berburu foto street dan beberapa di antara mereka berburu foto model. Kami berlima, dengan tiga orang di antaranya mulai dari setengah 6 pagi. Salah satunya gue.

Seperti yang gue bilang, beberapa di antara mereka berburu foto model. Gue adalah salah satu objek foto mereka. Salah satu teman gue yang ikut di hari Minggu kemarin kebetulan juga menjadikan gue sebagai model di hari sebelumnya. Jadi selama dua hari berturut-turut gue menjadi model dadakan.

Sayangnya gue nggak jago berpose.

Sudah dari lama gue menekuni hobi di dunia fotografi, khususnya dunia street photography. Gue nggak bisa bilang diri gue ahli dalam hal foto, tapi gue sedikit banyak mengerti lah masalah sudut, cahaya, komposisi, dan lainnya seputar fotografi. Kebetulan pernah juga beberapa kali dapat penghargaan dalam ajang fotografi. Jadi untuk urusan foto sedikit mengerti lah. Tapi untuk urusan difoto gue goblok.

Gue belum melihat semua hasilnya, namun gue yakin akan ada banyak yang jelek. Hasil jelek tentu bukan karena fotografernya, tapi karena guenya yang kurang bisa memberikan ekspresi bagus dan pose tubuh yang oke.

"Belum biasa aja, Mar." Hibur teman gue beberapa kali. Gue setuju akan hal itu, toh biasanya orang bisa karena biasa. Tapi gue ragu mau membiasakan diri untuk berpose, diunjukkan hasilnya beberapa saja membuat gue bergidik karena geli sendiri melihat betapa kakunya foto gue. Hahaha.

Misalnya suatu hari nanti gue terjun profesional di dunia fotografi, gue sih sangat yakin gue akan jadi tukang foto, bukan tukang difoto.

Saturday, May 22, 2021

Hhhh

Kenapa... 

Ada...

Orang...

Orang...

Yang...

Suka...

Suara...

Kendaraannya...

Nyaring...

Sih?!

Kzl gue

Seriously, tho... Why???

Friday, May 21, 2021

Ada "Intim" Dalam "Intimidatif"

"Gue orangnya intimidatif gak sih?" Tanya gue ke teman gue malam ini, setelah kami nongkrong bertiga bersama temannya yang kebetulan sempat bikin gue penasaran. Ketika gue ajak ngobrol, temannya itu jarang sekali melakukan kontak mata ke gue. Asumsi gue ya karena tatapan gue terkesan menyerang dan mengintimidasi.

"Gak kok, mungkin belum biasa aja." Katanya. Namun gue kok ya masih ragu.

Keraguan gue ini gue anggap wajar, karena semenjak SMA ke atas banyak teman gue yang awalnya merasa terintimidasi oleh aspek-aspek yang ada pada diri gue. "Lo tinggi banget soalnya." Adalah alasan paling populer di antara teman gue. Lalu ada juga yang bilang merasa terintimidasi awalnya karena tampang gue seram. I was like... Yang bener aja muka culun gini seram dari mananya? Hahaha.

Tapi memang ada masanya gue bergaya rambut yang yang membuat perawakan gue terlihat seram. Bahkan karena gaya rambut itu, gue sempat sempat dikira anak punk oleh anak punk beneran di Blok M. Rambut gondrong tetapi sampingnya botak, kemudian diikat pula.

Jadi suatu hari gue pulang kuliah dan naik metromini ke Blok M. Ketika di Bulungan ada dua anak punk yang mencoba mengamen dengan persiapan yang sangat luar biasa niat: hanya menepuk-menepuk tangan. Gue duduk di bangku paling belakang, dekat pintu sambil melihat keluar. Setelah menyanyikan lagu dengan lirik perlawanan yang sangat panjang: kurang dari dua menit, mereka meminta duit di tiap bangku dari depan. Satu persatu bangku memberikan recehan, tentu bukan karena terhibur. Kemudian datanglah dia ke bangku paling belakang. Kami bertatap mata, kemudian dia mengangguk. Bukan hanya anggukannya yang membuat gue bingung, namun juga kalimat setelahnya.

"Si (sebut nama di sini) ada?" Tanya dia ke gue seakan-akan seseorang yang dia sebut itu adalah teman gue. Belum selesai bingung gue mengartikan anggukannya, datang lagi kebingungan baru. Bukan karena pertanyaannya, tapi jawaban apa yang mesti gue berikan supaya gue bisa play along.

Selang beberapa detik gue balas, "Ada tadi di Taman."

"Sama siapa aja?" Tanyanya lagi.

"Biasa, sama anak-anak." Jawab gue sok tahu. Kenapa gue bilang "sama anak-anak" pula gue tidak tahu kenapa. Padahal bisa saja orang yang jadi topik bahasan kami ini sebenarnya suka menyendiri dan tidak punya teman. Namun tampaknya anak punk itu percaya saja. Gue membatin "oh aman, ternyata memang ada anak-anak."

"Oh." Jawabnya.

Kemudian hening terjadi selama beberapa menit. Metromini yang kami naiki perlahan berhenti karena lampu merah. Gue bingung mau jawab apa lagi kalau dia menyebut nama lain. Nggak mungkinlah gue jawab "ya, di Taman juga, dia itu termasuk anak-anak yang lagi ngumpul sama yang tadi." Akan terlihat sekali bohongnya. Namun untungnya anak punk itu langsung turun dan pamit pula ke gue.

"Duluan, bos."

"Iya." Tutup gue.

Thursday, May 20, 2021

Gak Mau!

Keponakan gue dari sang adik sekarang umurnya sudah setahun lebih, mungkin sudah hampir dua tahun. Entah, gue lupa. Yang jelas badannya sudah terlalu besar untuk diangkat dan kemudian dilempar tinggi-tinggi ke atas tanpa ada rasa khawatir dia akan mencium tanah karena tidak kuat menangkapnya. 

Di umurnya yang hampir dua tahun, dia sudah bisa berlarian ke sana dan ke sini. Jangkauan tangannya pun sudah lebih luas, lengah sedikit dia mungkin sudah memegang gunting dan membuat orang tuanya berteriak histeris. Mereka kemudian akan pelan-pelan membujuk keponakan gue untuk melepas gunting atau benda tajam yang dia pegang. Gue melihatnya seperti tim negosiasi kepolisian untuk membujuk seorang teroris melepaskan senjatanya. Setelah dia melepaskan guntingnya, lalu orang tua di sekitarnya akan memujinya "pinteeeer!". Tiba-tiba meletakkan gunting menjadi sebuah prestasi yang membuahkan pujian. 

Ketika masih kecil, mudah sekali mendapatkan pretasi. Ketika masih bayi, tertawa pun sebuah prestasi yang membanggakan. Kedua orang tuanya akan sangat senang dan memamerkan ke orang tua lain kalau anaknya bisa tertawa. Semuanya adalah prestasi. "Wah, pintarnya bisa tepuk tangan." "Lucu sekali bisa kasih mata genit." "wah, hebat kentutnya nyaring.". Padahal kalau sudah besar, kentut nyaring adalah hal yang membuat orang di sekitarnya sebal. 

Tidak beda dengan adik gue dan anaknya. Walaupun gue sadar bahwa itu bukanlah hal yang luar biasa, tapi entah kenapa gue ada sedikit perasaan bangga saja ketika melihat keponakan gue melakukan sesuatu hal yang remeh. Mungkin anak kecil memang memiliki kekuatan super untuk membuat semua orang bangga, namun perlahan hilang ketika beranjak dewasa. 

Dalam berkomunikasi pun walau kosakatanya masih terbatas, ada beberapa kosakata yang dia sudah mengerti penggunaannya dan bisa membantu dia untuk berbicara dengan orang lain. Contoh paling bagusnya adalah "Gak mau!". Dia sudah mengerti kalau menggabungkan kedua kata itu, dia bisa menolak hal-hal yang dia tidak sukai. "Ayo makan, satu sendok lagi." ucap adik gue ketika sedang menyuapi sayur-sayuran, lalu dengan tegas keponakan gue akan menjawab "Gak mau!", dan adik gue berhenti menyuapinya. "Yuk bobo yuk, udah malem." kemudian dijawab dengan "Gak mau!" dan dia pun akan mendapatkan waktu ekstra untuk bermain. 

Wow, praktis sekali! 

Belakangan ini gue sedang dikejar beberapa kerjaan di luar kerjaan utama yang rempongnya minta ampun. Karena melalui banyak tangan, brief yang diberikan tidak sempurna, sehingga revisi datang dari tangan pertama. Mantapnya lagi revisinya selalu datang bergerombol di saat-saat terakhir. Akan seru sekali sepertinya kalau gue punya kekuatan super seperti keponakan gue. 

"Mar, ternyata yang ini dan ini dipotong aja deh. Terus yang bagian awal, ditambahin dikit. Akhirannya juga dipersingkat aja gimana? Terus malam ini dikirim ke gue. Besok dipresentasikan ke klien soalnya." teman gue menjelaskan. 

"Gak mau!"

"Oh oke deh." Kemudian revisi tidak jadi ada. Haha.

Wednesday, May 19, 2021

Judulnya Lebih Panjang Dari Isinya Nggak Apa-apa Lah Ya Kalau Cuman Sekali-kali Sih

Hari ini gue kurang fokus.

Entahlah.


Tuesday, May 18, 2021

Jadi Biasa-biasa Saja

Gue selalu tidak mau menjadi menonjol di keluarga inti gue. Ketika ada suatu keahlian yang gue kebetulan bisa atau ada pencapaian yang gue dapati, gue akan memilih untuk diam saja ketimbang bicara kepada keluarga--khususnya ke orang tua gue--tentang hal itu. Alasannya simpel, tidak mau dimintai tolong ini-itu. Mending dilihat biasa-biasa saja.

Sebelum dicap anak tidak berbakti oleh kalian, gue punya alasan yang kuat kenapa begitu. Orang tua gue sayangnya termasuk yang kolot dan sulit terbuka dengan hal baru. Itu membuat mereka seringkali meleset mengartikan suatu hal yang gue jelaskan, akhirnya  meminta tolong tentang ini-itunya pun tidak relevan.

Contohnya ketika gue masih SMA. Gue adalah anak yang sering berada di warnet, kemudian orang tua gue sempat bertanya karena risih kenapa sering banget main ke warnet. Gue jelaskan kalau gue di warnet itu untuk berselancar di Internet dan juga untuk bermain game online, gue pun sudah menghasilkan pundi rupiah dari game online tersebut.

Semenjak saat itu, di mata mereka gue adalah tech genius karena anaknya adalah anak dalam jaringan banget, mengerti dinamika Internet beserta isinya, dan bisa hack Pentagon. Apa-apa berbau teknologi pasti larinya ke gue. Seperti membantu mengganti thumbnail YouTube contohnya.

Atau mungkin contoh lainnya adalah seperti terakhir kali gue mendapatkan tugas dari bapak dan ibu gue karena menurutnya gue sangat ahli urusan teknologi, tugas itu adalah buatkan kartu ucapan Lebaran untuk mereka kirim ke grup WhatsApp mereka yang jumlahnya puluhan itu. Tentu gue buatkan, hanya saja memakai Canva, namun mereka girang sekali melihat hasilnya. Mata mereka bersinar dan senyum terbentang lebar dari telinga kanan ke telinga kiri.

"Brengsek, jadilah gue seorang desainer di mata mereka sekarang." Keluh gue dalam hati saat melihatnya.

Atau kasus lain ketika mereka tahu gue bisa memakai kamera profesional untuk mengambil foto. Tiap ada kesempatan di acara keluarga, pasti gue akan dimintai tolong untuk mengambil foto... Memakai ponsel... Yang di mana orang tanpa keahlian kamera pun bisa.

Banyak hal remeh tidak relevan yang mereka seringkali mintai tolong gue karena mereka berpikir gue memiliki prestasi di bidang tersebut. Padahal itu adalah hal biasa yang sebenarnya sangat mudah untuk dipelajari. Tapi sayangnya orang tua gue sudah ada di fase tidak tertarik belajar hal baru. Dalam kasus Canva tadi saja contohnya, gue sempat ingin mengajari mereka dan menunjukkan betapa mudahnya untuk membuat desain receh yang nantinya mereka bisa pamerkan ke teman-temannya. Namun mereka selalu sembunyi di balik kata "gaptek" untuk tidak belajar.

Gue pernah menang lomba menulis dan lomba fotografi, namun belajar dari yang sudah-sudah, tentu gue tidak mau bicara tentang keahlian gue yang lain itu--yang jelas-jelas sudah pernah ada prestasi dari sana. Bisa-bisa mereka menganggap gue seperti sosok Darwis Triadi atau Stephen King, kemudian meminta tolong gue untuk mengambil foto dari ponsel untuk mereka unggah ke Instagram kemudian sekalian membuat caption-nya.

Ra mashook.

Monday, May 17, 2021

Akar

Siang tadi gue membaca ulang tulisan-tulisan gue beberapa tahun ke belakang sampai 2014. Bukannya apa-apa sih, cuman untuk melihat sejauh mana gue berkembang. Hal yang paling kelihatan adalah kemampuan menulis gue tidak di situ-situ saja. Belum bagus, tapi lebih baik seiring berjalannya waktu. Gue rasa itu hal yang lumayan lah ya.

Lalu gue menjadi ingat, awal mula mendirikan blog ini tahun 2008 tujuannya adalah untuk dijadikan blog humor. Kemudian gue geli sendiri. HAHAHAHA.

Ketika SMA, upaya caper gue salah salah satunya adalah melucu. Salah satu sarananya adalah menulis di blog, yang kebetulan banyak teman sekolah yang baca. Caper berhasil. Kemudian tidak sampai memakan waktu lama, entah kenapa blog gue cukup dikenal oleh orang luar sekolah juga. Dikenal oleh banyak orang, jadinya agak terkenal. Kalau tidak salah ketika Bena Kribo masih menulis, dia sering mampir ke sini. Kemudian gue baru tahu kalau dia cukup terkenal di dunia tulis-menulis remaja. I didn't read his blog tho. HAHAHA.

Kiblat menulis gue dulu pas SMA adalah Raditya Dika, yang di mana gue pun tahu namanya ketika teman gue bilang kalau tulisan gue gayanya mirip dia. Karena penasaran, gue beli lah bukunya. Setelah baca satu buku, ternyata gue suka dan menjadikan dia role model dalam menulis... Euh... Masih geli gue membayangkannya.

Yada yada yada, tulisannya mengarah ke Raditya Dika, yada yada yada, gue mulai agak terkenal akhirnya. Mulai ada perasaan kalau gue harus menulis untuk orang lain. Kesenangan dalam menulis mulai hilang. Banyak pertimbangan yang sebenarnya nggak perlu dalam proses menulis gue, kayak: bagaimana kalau mereka nggak suka? Lucu nggak ya lelucon ini? Dll. Hal yang lucu adalah, gue bahkan belum terkenal beneran tapi sudah seperti orang yang memiliki blog dengan pembaca jutaan orang. Lebih lucu lagi, tulisan gue sebenarnya ya kagak lucu. Ya mungkin agak lucu sih bagi yang humornya masih seputar Kambing Jantan dll.

Ya intinya referensi gue kurang lah ketika itu.

Setelah membaca banyak judul buku dari banyak penulis, akhirnya ada satu buku dari penulis yang kebetulan teman kakak gue, yang tulisannya membentuk gue. Selain membentuk dalam cara gue menulis, tulisannya juga membentuk selera humor gue. Buku itu adalah Bertanya atau Mati! karya Mas Isman. Beliau juga salah satu penggagas komedi tunggal Indonesia, jadi kalau komika sekarang ada di mana-mana, secara tidak langsung karena dia, soalnya beliau adalah salah satu orang yang berperan memomulerkannya dari sangat-sangat awal.

Kembali tentang menulis, jadi gue suka menulis itu kelas 2 SMA, dan gue ketemu buku BaM! itu ketika awal lulus SMA. Puji Tuhan fase Raditya Dika gue tidaklah lama hahaha. Bertanya atau Mati! itu buku humor ngomong-ngomong, yang entah punya gue hilang ke mana setelah dipinjam. Sepertinya setelah menulis ini gue akan membeli lagi tetapi yang bekas di toko daring.

Ya, akar blog ini adalah blog caper yang isinya tulisan sok melucu dengan selera humor anak SMA yang jarang baca buku. Seiring berjalannya waktu, gue tidak mengarah ke sana lagi, karena: 1. Melucu itu sulit, apalagi kalau dalam bentuk tulisan, 2. Ya gue nggak merasa lucu.

Ya gue bersyukur sih gue nggak memaksakan diri harus tetap berjalan di jalan blog humor atau apalah. Nggak kebayang akan sejayus apa nantinya, blog berisi lelucon om-om yang ditulis oleh om-om nanggung. Lagipula lebih nyaman menulis seperti yang gue lakukan sekarang. Seperti diary.

Lucu juga ya kalau baca tulisan-tulisan lama. Hanya saja bukan lucu yang "HAHAHAHA", melainkan lucu yang geli "IDIH APAAN SIH ANJIR?!".

Sunday, May 16, 2021

Maaf-maafkan

Lebaran sudah lewat beberapa hari yang lalu. Jalanan sudah mulai ramai, dipenuhi oleh orang-orang yang baru saja pulang liburan. Suasana Idulfitri perlahan menguap di udara, namun masih saja ketika bertemu teman pas nongkrong, ada yang langsung menyodorkan tangan saat baru datang dan berucap "minal aidin ya?".

Lah?

Terlepas dari arti "minal aidin wal faizin" yang sebenarnya adalah penggalan doa yang artinya sama sekali bukan permohonan maaf, bagi gue meminta maaf ketika sudah lewat dua hari dari Idulfitri sudah tidak relevan.

Bahkan menurut gue meminta maaf ketika Lebaran pun tidak relevan dari sananya.

Kita tidak ngomongin maaf yang "maaf, permisi ya." atau sejenisnya ya by the way. Itu beda lagi maafnya.

Bicara tentang minta maaf, memang untuk sebagian orang hal itu tidak mudah dilakukan, karena ego yang tinggi. Oleh karena itu momen Idulfitri menjadi hari simbolis untuk mengobral kalimat maaf di mana-mana. Jadinya, menurut kacamata gue, maafnya jadi terkesan murah. Diumbar di mana-mana, padahal seharusnya kita itu meminta maaf secara pribadi ke orang yang pernah kita sakiti karena kita berbuat salah yang kepadanya.

Maaf di hari Idulfitri di mata gue tidaklah beda dengan basa-basi "hei, HBD WYATB?" yang seringkali diucapkan oleh orang yang nggak benar-benar WYATB.

Lalu kalau ngomongin tentang minta maaf, tidak lupa juga pasti ada memaafkan di dalamnya. Ketika diguyur dengan ucapan mohon maaf di hari Lebaran, banyak orang pasti akan refleks mengiyakan. Mengiyakan untuk memaafkan, padahal muka masih kecut ketika melihat orang yang meminta maaf itu berada di satu ruangan.

Menurut gue minta maaf dan memaafkan itu sangat personal dan intim. Tidak bisa dipaksakan dengan hari raya yang datang setahun sekali. Kita punya 365 hari untuk melakukan itu dalam setahun, namun perkara kita siap untuk minta maaf dan memaafkan itu beda lagi ceritanya.

Gue akui untuk meminta maaf secara tulus itu jauh lebih mudah ketimbang memaafkan sepenuh hati. Keduanya memiliki efek menenangkan diri sendiri, namun proses memaafkan itu sangat spritual. Jauh lebih sulit. Banyak hal yang gue pribadi masih belum bisa maafkan. Gue masih tidak damai sepenuhnya, karena belum memaafkan diri sendiri dan beberapa hal lain.

Gue cukup tahu diri gue untuk mengidentifikasi apa saja yang masih belum bisa gue maafkan. Oleh karena itu gue tidak langsung bilang "iya" ketika ada seseorang yang minta maaf ke gue sedangkan gue masih belum bisa memaafkannya. Seringkali gue kasih jawaban menggantung dengan kalimat yang tidak menjawab, gue alihkan ke pembicaraan lain, atau mungkin tidak gue jawab. Lampu hijau dari gue adalah ketia bilang kata "iya", dan gue tahu kalau tidak bisa langsung mengiyakan.

Memaafkan dan minta maaf itu keramat.

Oleh karena itu tiap Idulfitri gue selalu geli ketika mendengar kalimat maaf di mana-mana. Ketidaksungguhannya terasa pekat sekali. Minta maaf di hari Lebaran seharusnya sudah bisa dianggap basa-basi yang basi, karena kita tahu mereka tidak sungguh-sungguh, dan kadang untuk beberapa orang, kita tahu kalau kita belum bisa memaafkannya.

Lagipula seperti yang gue bilang sebelumnya, meminta maaf dan memaafkan itu personal dan intim. Seharusnya dilakukan secara personal di waktu yang intim.

Tentunya intim yang gue maksud bukan intim yang vulgar ya, dasar cabul! 

Saturday, May 15, 2021

Nonton

Sudah lama sekali gue tidak menonton film secara maraton. Sebelum-sebelumnya karena memang frekuensi gue berada di dalam kamar sangat jarang, sehingga gue tidak sering bertemu dengan TV tercinta untuk menonton film-film buah karya dari Netflix, Amazon, atau yang lainnya. Namun belakangan ini, ketika gue sering di kamar, gue tetap tidak melakukan hal itu.

Kenapa yak?

Tentu gue masih suka menonton film, tapi mood-nya untuk menghabiskan film yang ada di dalam watch-list gue tidak pernah terkumpul. Lagi-lagi kembali menonton ulang serial Family Guy sampai goblok.

Ini pun gue tulis ketika gue sedang menonton Family Guy, sebuah serial yang gue anggap tontonan aman dari dulu. Maksud gue dengan tontonan aman adalah sebuah tontonan yang bisa gue tonton kapan saja tanpa ada rasa beban, setelah nontonnya pun gue terhibur saja walaupun bosan juga.

Tak tahu lah, mungkin memang belum terkumpul saja mood-nya. Semoga tidak lama-lama seperti ini.

Friday, May 14, 2021

Big Mac

Gue teringat ketika masih di Jogja dulu, makanan Lebaran gue bukanlah opor ayam campur ketupat, melainkan Paket Hemat Big Mac dari gerai McDonald's. Tiap Lebaran pasti larinya ke sana, karena semua tempat makanan yang biasa gue datangi tutup. Entah sudah berapa Lebaran gue melakukan kebiasaan itu.

Tahun 2020--ketika sudah di Bekasi--gue dipertemukan lagi dengan opor dan ketupat, bersama lauk khas Lebaran lainnya. Tentu gue bahagia, karena rindu sekali mengonsumsi itu di hari raya. Nikmatnya beda dibandingkan ketika memakan itu di luar Lebaran.

Kemarin pun sama dengan tahun lalu, gue dan keluarga menyantap opor ayam beserta ketupat dkk untuk hari Lebaran. Namun jauh di lubuk hati, gue merasa ada yang kurang. Rasanya tetap enak layaknya opor ayam dan ketupat, lantas kenapa? Gue berasumsi karena gue rindu kebiasaan lama ketika masih di Jogja dulu. Gue butuh bernostalgia, memakan McDonald's di hari Lebaran.

Akhirnya setelah tidur siang dan bingung mau apa, dengan perut yang masih sangat penuh karena bergelut dua ronde dengan ketupat opor di pagi harinya, gue memutuskan untuk keluar. Ke mana? Ya ke McDonald's.

Gue memesan paket Big Mac dan memakannya. I kid you not, it was the best Big Mac I've ever eaten in a year! Rasanya mau meninggal, bukan karena diabetes, serangan jantung, atau kolesterol yang disebabkan junk food tersebut, tapi karena rasanya enak banget. Nggak ngerti lagi deh.

Faktor yang memengaruhi keagungan Big Mac yang gue makan saat itu tentu adalah perasaan nostalgia. Teringat kembali kebiasaan lama memakan itu setiap Lebaran di McDonald's Jalan Kaliurang atau Jalan Sudirman, ketika menyuapkannya ke mulut. Every bite I took was effin' glorious. I said that without exaggeration.

Malam ini sebelum ke rumah teman, gue mampir ke McDonald's lagi. Maksud hati ingin mengulang pengalaman yang sama dengan kemarin, toh masih dalam suasana Lebaran juga. Gue bahkan sampai rela antri sampai kurang lebih setengah jam. Namun ternyata gue menyadari dari gigitan pertama yang gue ambil, kalau pengalaman kemarin tidak bisa terulang. Cukup kecewa, namun ya sudahlah.

Bernostalgia memang baiknya dilakukan sesekali saja, I guess. ¯\_(ツ)_/¯

Thursday, May 13, 2021

Wawa-kun

Beberapa bulan belakangan gue sedang suka-sukanya mendengarkan podcast di Spotify. Podcast yang gue dengarkan bukanlah podcast tongkrongan yang isinya beberapa orang bercanda hahahihi tanpa ada arah khusus akan haluan podcast-nya. Tujuannya ya simpel saja: untuk menambah wawasan. Ikut tertawa karena pembawaannya yang lucu ya hanya bonus. Kalau di podcast tongkrongan, entah kenapa gue tidak puas karena merasa tidak mendapatkan apa-apa.

Guna utama Spotify di ponsel gue sekarang berganti dari hanya mendengarkan lagu, menjadi mendengarkan orang berbicara tentang suatu hal yang dibawakan secara menarik, dengan bahasa pintar, dan dibahas dengan ringan. Mendengarkan lagu sih tentu masih, tapi porsinya sudah timplang.

Merasa kalau wawasan sudah bertambah itu adalah perasaan yang menyenangkan. Baru tahu akan suatu hal atau mendengarkan suatu opini yang unik, apalagi yang bikin sampai membatin dalam hati "oh ya?", itu cukup seru. Bikin kita menjadi pintar sih belum tentu, sering kok hanya lewat di telinga doang, namun sensasi "oh ya?"-nya tadi itu nagih, karena tahu hal baru.

Selain mendengarkan podcast, cara menambah wawasan ada banyak sekali. Bertemu kemudian bicara dengan orang baru, traveling ke tempat baru, membaca, mendengarkan lagu, bahkan menonton pun. Intinya, yang penting aktif mengonsumsi informasi yang bervariasi, tidak itu-itu saja.

Gue punya saudara yang sudah pernah ke banyak tempat di penjuru dunia sedari kecil karena pekerjaan orang tuanya. Dia pastinya sudah bertemu banyak orang dari banyak latar belakang. Referensi yang dia punya akan  hal-hal pun banyak. Maka ketika ngobrol dengan dia, gue sudah bisa membaca kalau dia pintar tanpa harus dia deklarasikan "eh gue tau ini itu lho.". Alasan gue ingin hidup nomaden karena melihat dia deh kalau nggak salah.

Kembali lagi bicara tentang wawasan.

Dari cara bicara kita bisa melihat seseorang mempunyai wawasan yang luas. Kita bisa berasumsi bahwa dia entah sudah bertemu banyak orang, baca banyak buku, atau pergi ke banyak tempat, semua dari cara bicaranya. Entah ya, gue sih melihatnya begitu. Gue pun mau bisa seperti itu, memiliki  wawasan yang luas. Sayangnya saja gue masih belum pintar juga sampai saat ini. Gue masih menganggap banyak sekali yang belum gue tahu. Wawasan gue belum luas, jadinya ya goblok saja guenya. Hahaha.

Dang! I need to broaden my horizon.

Oh and by the way, selamat Idulfitri dan hari kenaikan Yesus Kristus!

Wednesday, May 12, 2021

Selamat Hari Raya!

Akhirnya kita semua sudah berada di penghujung bulan Ramadan. Sudah berapa banyak pahala yang kalian kumpulkan? Semoga perbuatan baik selama sebulan ini tetap dapat kalian lakukan di sebelas bulan lainnya.

Tiap mendekati akhir bulan Ramadan, gue tidak jarang melihat ada beberapa orang yang merasa sedih. Terisak karena bulan istimewa ini sudah akan berakhir. Bulan di mana pahala yang didapatkan lebih dari bulan lainnya. Ketika masih kecil, dengan penjelasan seperti itu, gue melihat bulan Ramadan ini seperti event double experience pada game online RPG. Di event itu gue tentunya main habis-habisan supaya ketika event berakhir, gue sudah memiliki level yang tinggi. Ya, analogi yang cukup akurat gue rasa.

Balik lagi ke pembahasan sebagian orang yang merasa sedih karena ditinggal oleh bulan Ramadan. Beberapa di antara mereka sampai menitikkan air mata. Ketika sedang bicara suaranya bergetar. Gue tidak mengada-ada karena memang pernah melihatnya langsung. Bahkan di bulan ini, ketika gue mendengar ceramah di mesjid sebrang rumah gue dari kamar, pengkhotbahnya terdengar sedang terisak.

Gue pribadi adalah golongan yang senang ketika bulan Ramadan kelar. Soalnya cari makanan tidak lagi sulit dan suara mercon tidak lagi sering terdengar, selain itu macet ketika sore tidak lagi gila dan jam cafe buka bisa lebih lama. Namun walaupun begitu, ketika melihat orang yang merasa sedih bahkan sampai menangis ketika bulan Ramadan berakhir, gue menganggap hal itu romantis.

Ya, jadi bulan puasa sudah selesai. Alhamdulillah selama bulan puasa ini saya hanya bolong satu TIDAK puasanya. Dalam artian saya berpuasa satu hari saja; di hari pertama. Karena saya punya kebiasaan, walaupun saya tidak berpuasa, di hari pertama saya harus sahur bersama keluarga, puasa dengan benar, berbuka bersama keluarga, dan tarawih. Ya saya lakukan hanya karena semata-mata menghormati kepercayaan lama yang pernah saya anut. Eeeh tidak terasa hari ini sudah berakhir, karena besok adalah kolaborasi Idulfitri dengan Kenaikan Yesus. 

Selamat Idulfitri dan Kenaikan Yesus, kawan-kawan beragamaku! 

Monday, May 10, 2021

Mimpi

Dari kecil sampai besar, mimpi yang sepertinya sering gue impikan adalah: Mimpi kiamat dan mimpi gigi rontok.

Banyak sumber bacaan yang bisa menjelaskan mengenai mimpi gigi rontok. Ada yang masuk akal karena dikaitkan dengan ilmu psikologi, pun ada yang menjelaskan secara klenik. Ya kita tahu lah mana yang lebih kredibel.

Tetapi untuk mimpi tentang kiamat, hingga kini gue belum menemukan penjelasan yang memuaskan. Tidak ada literatur yang menjelaskan dengan penjelasan rasional yang bisa membuat otak gue kenyang karena diberi asupan yang masuk akal.

Tapi ya itu hanya mimpi. Kecuali gue Mama Lauren, mimpi gue ya hanya buah tidur yang nggak butuh-butuh amat dicari maknanya.

Masih bicara tentang mimpi, ada satu mimpi bergenre fantasi yang pernah gue alami, yang menurut gue adalah mimpi gue yang paling menarik. Gue memimpikan dunia di mana langitnya berwarna pink, dengan gedung-gedung besar yang menjulang tinggi ke langit. Kemudian di langit pink itu terlihat jelas luar angkasa dengan berbagai planet tetangga yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Juga terlihat elemen paling menarik di luar angkasa tersebut: kura-kura raksasa sebesar planet sedang melayang di antara planet yang gue tinggali dan planet-planet tetangga.

Told ya, fantasi abis.

Mimpi itu hanya gue alami sekali, namun sangat-sangat membekas di otak gue. Dunia yang terlihat menarik untuk ditinggali, karena seingat gue juga tidak ada pos Pemuda Pancasila atau ormas lain di sana, atau tukang parkir supermarket yang suka tidak ada ketika kendaraan datang namun muncul tiba-tiba ketika mau keluar.

Indah.

Lompat ke beberapa tahun ketika gue sudah SMP/SMA, gue sekilas melihat ada sebuah film yang berjudul The Colour of Magic. Gue saat itu cukup terkejut ketika melihat ada scene yang mempunyai elemen seekor kura-kura raksasa yang melayang di luar angkasa.

Tercengang!

The Colour of Magic itu adalah film adaptasi dari buku berseri Discworld karya Terry Pratchett. Bukunya kurang lebih bercerita tentang dunia yang datar. Bumi yang datar  berbentuk disc itu dipikul oleh empat gajah raksasa, yang gajah raksasanya itu berdiri di punggung seekor kura-kura raksasa yang bernama Great A'tuin.


Wow!

Gue nggak pernah nonton itu sebelumnya. Juga gue tidak pernah membaca satu pun buku berseri dari Discwolrd karya Pakde Pratchett. Namun kenapa kami mempunyai fantasi sama atas satu makhluk kosmik itu? Apakah Pakde Pratchett juga memimpikannya sebelum dia menjadikan makhluk itu sebagai elemen penting di bukunya dan memberikannya nama? Apakah Pakde Pratchett sebelumnya pernah tinggal di Bekasi seperti gue? Pernah nggak ya dia naik angkot 19A?

Entahlah. I do believe great minds think alike, tho. Jadi mungkin banyak orang di luar sana yang mempunyai mimpi sama walaupun tidak tahu Great A'tuin itu apa. Bedanya mungkin itu tidak terekam di kepala mereka, karena mereka hanya menganggap itu hanya mimpi. Emang guenya saja yang suka menganggap hal tidak penting menjadi spesial.

Huu, dasar Omar.

Sunday, May 9, 2021

Jadi...

Hari ini gue ke M Bloc Space untuk ketiga kalinya dalam hidup gue... dan gue masih tidak suka.

Gue masih ingat ketika tempat itu perdana buka, hype di media sosial luar biasa besarnya. Para influencer tentu menjadi salah satu faktor kenapa tempat yang amat biasa itu menjadi sangat populer.

Kini tempat itu masih konsisten ramainya ketika akhir minggu. Gue tadi ke sana karena ingin bertemu seseorang, kenapa di tempat itu ya karena tempat awal tujuan kami tutup. Ketika menginjakkan kaki di sana, aduhai aura edgy-nya kuat sekali. Tiba-tiba gue ingin menyetel lagu Oasis yang Don't Look Back In Anger, lagu kebangsaannya anak edgy JakSel.

Gue tidak bilang tempatnya jelek, biasa saja. Kalau Anda anak muda yang edgy sepertinya akan cocok di sana, karena di sana itu seperti habitat alami anak muda seperti itu. Ka'bahnya lah. ✌🏼

Saturday, May 8, 2021

Wat De Pok?!

Hari ini adalah kali pertama gue menjelajahi kota Depok yang fenomenal itu. Seumur-umur tidak pernah. Selama ini kalau ke Depok paling hanya mengunjungi satu tempat tujuan yang sudah jelas dan pulang, atau ya hanya lewat. Untuk berputar-putar ke beberapa tempat di sana sih belum pernah. 

Ya, jadi akhirnya gue bertamasya di Depok, kota yang macetnya minta ampun, punya tata kota maha absurd, dan berisi banyak sekali manusia ajaib di dalamnya. Gue cukup terkejut ternyata memang separah itu, dan gue adalah orang Bekasi--kota yang gue anggap bukan suri tauladan yang baik untuk kota lain karena lumayan bobrok, namun ternyata eh ternyata ada yang beberapa tingkat lebih parah di atasnya.

Gue ke Depok karena ada suatu urusan. Siang berangkat ke sana, sampainya satu setengah jam kemudian. Gue bilang sampainya satu setengah jam itu bukan sampai ke tujuan tentunya, sampai ke tujuannya sih lebih dari itu. Karena muacet sekali ternyata! Bahkan ada beberapa pertigaan yang macetnya sampai tidak gerak, padahal ada empat pak ogah di sana. Bayangin, empat pak ogah. Buat apa? Personilnya bahkan lebih banyak daripada band Twenty One Pilot.

Sepertinya baru kali ini juga gue melihat tiga kali kecelakaan lalu lintas dalam waktu satu hari... Tunggu, dalam waktu di bawah 6 jam. Semua kecelakaannya melibatkan angkot tidak tahu diri dan pengendara motor. Kecelakaannya memang tidak parah, hanya bagian depan motor menabrak bumper belakang angkot yang berwarna biru tua di sana karena angkot berhenti mendadak. Lucunya adalah kejadian setelah kecelakaan itu. Tidak ada apa-apa! Tidak ada emosi yang meledak-ledak meminta ganti rugi atau sejenisnya. Beneran tidak ada apa-apa. Setelah menabrak, si motor jalan seperti biasa saja. Si angkot pun sama, hanya melihat ke belakang lewat spion setelah ditabrak, ekspresinya kayak "oh, ditabrak?" lalu fokus ke calon penumpang lagi. 

Memang penyabar dan pemaaf sekali penduduk Depok itu.

Belum lebih dari seperempat hari gue di Depok, gue sudah tidak bisa menghitung berapa kali gue berteriak "WTF?!" dalam hati. Karena memang kacau dan berantakan banget. Pokoknya wat de fak sekali lah Depok itu--atau dalam kasus ini wat de pok. 

Bekasi kalau ingin fokus menjadi kota terbelakang, sepertinya punya PR yang cukup banyak, karena masih ada Depok di atasnya.

Friday, May 7, 2021

Cuanholic

Sudah sebulan belakangan sepertinya gue tidak pernah beristirahat dengan syahdu. Leyeh-leyeh di kamar sambil nonton film seharian dengan camilan bermacam-macam di pangkuan, atau main game sampai bego di ponsel gue hingga berjam-jam.

Bahkan gue lupa kapan terakhir kali gue melakukan kegiatan istirahat yang menyibukkan itu.

Akhir bulan April adalah terakhir gue mengerjakan sebuah event. Ketika event sedang banyak,  wajar lah gue kecot (bahasa yang dipakai para makhluk di kantor EO gue untuk mengganti istilah "ribet banget"). Namun bulan Mei ini seharusnya senggang, karena event yang akan masuk belum terlihat tanda-tandanya. Tetapi walaupun begitu, gue tetap tidak bisa bersantai-santai dengan aduhai, karena gue tetap menerima proyek dari luar.

Gue terbiasa menyibukkan diri. Malah gue bingung kalau senggang.

Ketika patah hati kemarin, jadi sibuk adalah salah satu cara gue mendistraksi diri sendiri agar tidak fokus pada rasa sakit di dada (gue bersyukur sekali gue bekerja di EO, karena sangat memfasilitasi proses gue mendistraksi diri). Namun ketika patah hatinya berakhir, gue masih tetap menyibukkan diri sendiri. Seperti sudah terbiasa.

Saat tidak ada kerjaan pun gue mencari kesibukan di komunitas atau di organisasi Karang Taruna. Kini ketika Mei ini di kantor sangat senggang, gue menerima proyek lain dari link gue di luar kerjaan utama. Gue pribadi bersyukur diberi fasilitas sibuk oleh alam semesta yang dikirim melalui kantor atau proyek eksternal. Tetapi takutnya gue yang sekarang ada kecenderungan menuju menjadi workaholic.

Gue nggak mau jadi workaholic.

Namun sejujurnya gue pun nggak bisa menolak cuan. Karena pasal satu bagi saya adalah kecuanan yang maha esa.

Apakah ini artinya gue adalah cuanholic? Hahaha.

Thursday, May 6, 2021

¯\_(ツ)_/¯

Tadi siang ketika gue masih di kantor, gue sudah kepikiran akan menulis apa. Gue sudah membayangkan kalau hari ini blog Cuma Iseng 2 ini akan diisi dengan sesuatu yang bukan omong kosong belaka. Karena gue sudah kepikiran akan menulis hot take gue tentang sesuatu.

Namun... Gue lupa.

HAHAHAHA.

Seharusnya tidak sulit bagi gue untuk menulis sebuah hot take hari ini, karena pendapat panas gue tentang sesuatu yang beredar di masyarakat Indonesia TERCINTA ini cukup banyak. Banyak pandangan gue yang bersebrangan dengan pandangan mayoritas orang Indonesia soalnya. Tapi karena gue lupa hal yang mau gue tulis tadi siang itu, pendapat panas saya tentang hal-hal lain tiba-tiba hilang juga. Ada sesuatu yang mengganjal saja di kepala. Duh!

Well, sepertinya hari ini akan diisi omong kosong lagi saja sepertinya. Omong kosong seperti apa? 

Seperti yang barusan Anda baca tentunya. ¯\_(ツ)_/¯

Wednesday, May 5, 2021

Al-Kohl

"Alkohoooool... Kamu jahat tapi enaaaaaaak." 

Nggak. Bagi gue alkohol itu rasanya nggak pernah enak.

Di atas adalah penggalan lirik dari lagu yang belakangan ini sempat gue putar seharian penuh, lagu itu dibawakan oleh band lokal bernama Sisitipsi, dan lagu itu berjudul "Alkohol". Gue putar berulang-ulang ya semata-mata karena lagunya enak, bukan karena gue memiliki hubungan erat dengan alkohol.

Dan ya, menurut gue rasa alkohol itu tidak pernah enak. Gue nggak pernah suka rasa alkohol apa pun itu jenisnya. Gue akan tegas lebih memilih susu stroberi sebagai minuman enak nomor satu gue, kedua air mineral, dan alkohol entah ada di nomor berapa, yang jelas bukan lima besar.

Selain rasanya tidak enak, gue juga tidak begitu suka efek setelah meminumnya. Apa yang bisa dinikmati dari kepala pusing dan penglihatan berputar-putar?

Oleh karena itu gue suka bertanya-tanya kenapa orang bisa menikmati alkohol dan bahkan ketergantungan dengannya? Rasa heran yang sama pun gue rasakan ketika memikirkan kenapa orang bisa menganggap rokok itu enak.

Namun walaupun begitu, gue tidak bilang kalau gue tidak mengonsumsinya. Atasan gue ketika masih menjadi orang iklan dulu pernah semacam memberikan wejangan yang sampai saat ini masih gue indahkan. Dia berkata rokok dan alkohol itu adalah sarana pencair suasana.

Gue setuju.

Pernyataannya dulu itu membuat gue menjadi perokok atau peminum sosial. Jadi hanya merokok atau minum ketika lawan bicara pun merokok atau minum. Tujuannya ya tentu untuk membuat proses mengakrabkan diri dengan lawan bicaranya menjadi lancar, dan seringkali efektif.

Gue pribadi bukan perokok atau peminum. Tapi ketika gue sedang berada di suasana yang mengharuskan melakukan itu agar bisa bersilaturahmi dengan lancar, kenapa tidak? Intinya ya akan gue lakukan juga, walaupun after taste-nya tidak enak.

So... Yeah, gue nggak suka rasa alkohol dan efek di tubuh setelah meminumnya, tetapi gue suka keakraban yang sering tercipta darinya.

Jadi lirik lagu dari Sisitipsi itu mungkin akan lebih relevan buat gue kalau penggalan di atas menjadi begini:

"Alkohoooool... Kamu jahat tapi kebersamaan dan keakraban yang diciptakan dari mengonsumsi alkohol selama beberapa waktu itu enak."

Euh... Sekarang gue tau kenapa gue nggak jadi penulis lagu.

Tuesday, May 4, 2021

Simpel Itu Lebih Dari Cukup

Bagi gue, orang yang pintar berbahasa Indonesia itu adalah orang yang bisa ngobrol memakai bahasa Indonesia dengan lawan bicaranya dan lawannya mengerti.

Berbahasa yang simpel. Memakai kosakata sesuai audiens dan konteks.

Orang yang memakai kata-kata tinggi ketika berbicara dengan lawan bicaranya, tetapi lawan bicaranya kadang malah bingung atau tidak nyaman, menurut gue hanyalah orang yang perbendaharaan kosakatanya banyak saja.

Biasanya teman gue yang kekirian yang masuk ke dalam kategori kedua. Mereka memakai kata-kata yang tak lumrah digunakan di keseharian, sekadar untuk membuat seruan perlawanannya menjadi lebih indah. Dengan harapan yang mendengar atau membaca ikut terbawa dan jiwa aktivisnya terbakar. Saya? Seringkali malah mengerutkan dahi sambil menggumam "Apa sih, bung?".

Tidak efektif karena kalimatnya tidak dekat dengan audiensnya.

Atau ada lagi pujangga media sosial yang rutin menulis curhatan seputar kegalauan, entah bertema romansa atau alam ciptaan yang maha esa. Mereka merangkai kata-kata tidak biasa yang menurut mereka terlihat indah, tapi puisi menjadi indah bukan hanya karena dirangkai dengan kata-kata cantik saja.

Gue tidak bilang kalau gue bisa komunikasi berbahasa Indonesia dengan pintar... Persetan, gue saja mengecap diri gue mempunyai disleksia ringan karena seringkali omongan gue nggak jelas. Komunikasi gue berbahasa Indonesia gue anggap tidak bagus.

Poin dari berbahasa yang bagus menurut gue ya seperti yang gue bilang di awal, yang penting lawan bicaranya mengerti karena dituturkan dengan bahasa yang sederhana. Tak perlu indah, yang penting sesuai konteks, tahu audiensnya siapa, dan lawan bicaranya tidak mengerutkan dahi ketika mendengarnya.

Monday, May 3, 2021

Hobi

Gue selalu berpikir kalau yang namanya hobi itu tidak murah. Bisa diusahakan untuk menjadi murah, tapi untuk menikmati hobi itu sepenuhnya, kocek yang harus diraih harus dalam. Pemikiran tersebut membuat gue semacam maklum kalau melihat orang yang mengeluarkan uang banyak untuk hal yang dia suka.

"Oh, palingan hobinya." Ucap gue dalam hati, setelah mendengar teman di tempat kerja bercerita kalau dia baru saja mengeluarkan sekian juta untuk membeli tanaman yang bahkan daunnya tidak bisa tumbuh dengan sempurna, untuk menjadi tambahan koleksinya.

Karena saya orang yang suka banyak tahu, otomatis hal-hal seperti itu akan memancing saya untuk bertanya. Karena... Kenapa??? Masih di luar nalar saja untuk saya mengeluarkan sekian banyak uang untuk tanaman. Kemudian tak lama setelah saya tanya, dia menjelaskan dengan cukup membara kenapa bisa begini dan begitunya. Sesaat saya seperti mengobrol dengan ahli botani. Lalu semua menjadi (agak) masuk akal.

Bagi orang yang tidak punya ketertarikan lebih terhadap hal itu (tanaman), tentu mengeluarkan duit sebegitu banyaknya untuk tanaman adalah sebuah hal yang konyol. Gue pribadi nggak bisa membedakan dalam segi fungsi, tanaman seharga sepuluh ribu dengan tanaman seharga sepuluh juta. Di mata awam gue sama saja. Namun untuk para pelaku hobi tersebut, tanaman-tanaman itu terlihat berbeda. Kacamata yang mereka gunakan tidak sama.

Gue memiliki hobi sepatu dan juga gue mengoleksinya. Karena ketertarikan gue akan sepatu, gue jadi tahu seluk-beluk sepatu secara general. Karena banyak tahu tentang sepatu itu, gue jadi ingin punya sepatu yang ini dan yang itu, sampai koleksi sepatu gue bisa mencapai puluhan pasang dulunya. Bagi orang lain yang tidak melihat sepatu ini dari kacamata saya, tentu hal itu adalah hal yang mengherankan. Tapi bagi gue menyenangkan. Ada kepuasan tersendiri ketika gue mengeluarkan uang untuk membeli sepatu, walaupun akhirnya gue harus irit-irit untuk makan kemudian.

Sekarang gue memiliki hobi baru, yaitu parfum. Ketertarikan gue pada parfum ini membuat gue jadi tahu seluk-beluk parfum. Gue mulai mengoleksi parfum walaupun belum banyak. Hidung jadi bisa tahu suatu parfum ada kandungan wangi apa ketika hanya baru mencium sekilas saja, bahkan gue sudah bisa membayangkan suatu parfum akan tercium wanginya seperti apa arahnya dengan hanya membaca penjelasan kandungan wanginya apa saja. Gue merasa senang ketika membeli parfum baru, karena akan ada wewangian baru lagi untuk gue pakai yang artinya akan ada petualangan wewangian baru yang akan gue alami. Namun bagi orang yang melihat dari kacamata berbeda, mereka akan menganggap yang gue lakukan itu konyol, karena buat apa beli banyak-banyak parfum, toh fungsinya sama saja, bikin wangi.

Gue sadar akan perbedaan kacamata tersebut di tiap orang. Oleh karena itu, ketika ada orang yang mengeluarkan sekian banyak untuk hal yang menurut gue tidak perlu, gue  seringkali mencoba untuk maklum  dan mengerti sebelum gue teriak "ANJIR GOBLOK! BUAT APAAN PULA?".

Sunday, May 2, 2021

Apresiasi

Siang hari beberapa hari lalu, ketika gue lagi menonton The Falcon and The Winter Soldier di TV kantor, tiba-tiba ponsel gue berbunyi. Ternyata ada notifikasi WhatsApp, teman gue ada yang mengirim teks yang isinya menanyakan gue apakah gue masih menulis. Ketika gue bilang iya, dia langsung menelepon.

Inti dari pembicaraan lewat aplikasi WhatsApp itu adalah gue kembali diajak dalam proyeknya untuk menulis naskah suatu serial dalam jaringan yang digawangi oleh salah satu penyedia jasa Internet di Indonesia.

Melihat brief yang tidak terlalu rumit, dan terkesan remeh tentu gue terima. Billing yang ditawarkan untuk menulis delapan episode mendekati UMR Jakarta. Bukan proyek menulis dengan bayaran paling besar yang pernah gue terima, namun karena permintaannya tidak ribet dan bisa membantu gue dalam mendukung hobi baru gue, ya gue senang-senang saja. Parfum tidak murah soalnya. H3h3.

Gue bertanya kepadanya, kenapa dalam proyek ini memilih gue? Gue yakin dia mempunyai banyak teman yang berkutat dalam tulis-menulis lainnya. Jawabannya masih sama seperti yang sudah-sudah: dia menganggap tulisan gue bagus.

Karya gue diapresiasi. Gue senang.

Beberapa waktu lalu juga gue mengambil foto lewat ponsel di suatu gereja daerah Depok ketika sedang ada kegiatan syuting di sana. Setelah mengambil foto, gue sunting hasilnya dengan preset buatan gue di aplikasi Lightroom, kemudian gue unggah di story IG. Kemudian... BOOM! Banyak sekali balasan yang masuk memuji hasil jepretan gue, bahkan beberapa meminta file HD-nya untuk dijadikan wallpaper handphone mereka.

Gue diapresiasi dan gue senang.

Kebetulan juga gue tumbuh dengan minim apresiasi dari lingkungan sekitar: dari guru, teman, bahkan orang tua pun. Jadi ketika dengan jelas seseorang menghargai apa yang gue lakukan, gue akan menghargainya balik karena menghargai gue.

Memang mendapatkan apresiasi atas karya atau hal yang kita lakukan itu perasaan yang membahagiakan.

Saturday, May 1, 2021

30 Untuk 30

Dulu banget gue pernah menulis rutin di sini di bulan Mei. Menulis tiap hari dari awal sampai akhir bulan. Biar apa? Biar aktif saja.

Sepertinya hal itu mau gue lakukan lagi, karena Mei ini cukup spesial. I'm gonna turn 30! 

Menjadi 30 di tanggal 30, ritual di blog ini adalah menulis sebanyak 30 kali selama 30 hari.

BANYAK SEKALI ANGKA 30-NYA WOI!!!

Jir keren juga konsepnya. Hahaha.

Oke, jadi ini adalah hari pertama. Sepertinya tidak akan gue isi hal bertele-tele, hanya pembuka saja untuk mendeklarasikan bahwa tantangan untuk diri sendiri ini sudah sah akan dilakukan.

Jadi... Tau deh. Gitu aja.

Saturday, April 10, 2021

Tengah-tengah

Beberapa jam lalu PM telah berganti menjadi AM. Pikiran sudah mulai aktif membayangkan hal-hal liar nan imajinatif karena sedang senggang dan suasana sunyi. Ketika masih berkutat dengan iklan, saya suka waktu-waktu seperti ini. Ditambah dengan kafein dari minuman berenergi, maka ide cemerlang senantiasa suka menghampiri. Ritual ini saya mulai suka geluti ketika masih kuliah di Jakarta.

Namun untuk detik ini saya malah tidak suka kalau masih terjaga di jam segini.

Rawan.

Beberapa jam lagi di satu minggu lalu, saya mendapatkan panggilan telepon yang cukup mengguncang dunia saya. Panggilan telepon yang menjadi alasan saya terlihat seperti pecandu narkoba yang sedang tinggi-tingginya setiap hari.

"Wah, skip lo." Adalah kalimat yang frekuensinya di minggu ini lebih sering saya dengar di tempat kerja ketimbang minggu-minggu sebelumnya. Tentunya saya mengerti kalau itu dilontarkan dengan rasa sayang, oleh karena itu saya membalasnya dengan senyum dan panggilan sayang juga ke mereka. "Babi." Balas saya.

Jujur saja saya sangat-sangat rapuh di lima hari pertama. Tidak perlu saya ceritakan bagaimana ringkihnya saya pada saat itu, tapi yang jelas saya coba untuk manipulasi otak saya agar tidak berlarut-larut. Pernah belajar tentang dinamika romansa ternyata memang agak membantu di masa post-relationship begini.

Satu hal yang saya sangat ingat dari pelajaran itu adalah ada terapi untuk membantu meringankan beban di dada ketika berada dalam posisi saat ini, yaitu dengan menulis. Saya sangat ingat poin itu dibanding yang lain karena kebetulan menulis adalah kesukaan saya. Haha.

Menulislah saya tentang rasa dengan rutin. Hanya saja bukan di "rumah" ini, saya pikir kemarin harus pindah ke blog baru agar isinya fokus. Ternyata memang agak membantu. Saya merasa agak berbeda dengan saya yang lampau.

Saya merasa lebih baik.

Namun memang bajingan waktu yang sunyi ini. Raga yang beristirahat dikombinasikan dengan pikiran yang senggang membuat saya "bunuh diri", saya menjadi nekat membaca percakapan lama sampai beberapa bulan lalu. Gravitasi lubang hitam kemurungan berusaha menarik saya kembali ke dalamnya.

Saya coba memanipulasi otak lagi dan hampir gagal. Namun tidak begitu sukses juga. Tengah-tengah.

Ketika sedang menjadi masokis tadi, saya sadar ternyata saya memang orang yang memiliki intuisi bagus. Saya ternyata setengah cenayang karena bisa membaca masa depan. Banyak hal yang merupakan kekhawatiran saya di masa lalu yang ternyata menjadi kenyataan.

Kekhawatiran saya ternyata relevan.

"My ability to connect the dots is remarkable." Ucap saya dulu dengan bercanda, tapi... Wow... Keren juga saya.

Saya bangga...

Saya kesal...

Aaah, tiba-tiba saya kangen saya yang tadi siang, Omar yang sudah merasa lebih baik.

Monday, April 5, 2021

OK, Goodbye

Sekarang jam 3 pagi. Saya terbangun dari tidur yang dimulai jam 10 malam. Tidur yang terlalu awal mengingat kemarin adalah akhir pekan dan saya tidak melakukan aktivitas yang melelahkan. Tapi entah kenapa saya lelah. 

Batin saya lunglai. 

Ah saya tahu kenapa. Pasti karena hati saya baru saja hancur lebur. Perasaan sakit menggerayangi dada sebelah kiri 24 jam. Jantung berdebar kencang ditambah rasa berat, membuat nafas menjadi tersendat.

Perih sekali ternyata.

Selama ini saya selalu meremehkan ketika teman saya atau orang lain bilang bahwa putus itu menyakitkan. "Cari gebetan lain saja. Biar nggak galau." adalah solusi yang saya tawarkan kepada mereka, mengingat itu cukup ampuh bagi saya ketika saya masih bujang. Tapi tidak, tidak semudah itu ketika merasakan putus cinta secara pribadi atas sebuah komitmen yang sudah terjalin lama.

Saya merasakan semua lagu patah hati bajingan menjadi relevan, sangat tidak nafsu makan, tidur tidak nyenyak, dan berkhayal kalau ini semua bukan kenyataan. Saya menjadi bodoh dan tidak bisa berfungsi dengan baik. Bisa dengan percaya diri saya bilang kalau saya tidak suka saya yang versi sekarang.

Saya benci ini.

Jadi beberapa hari lalu saya dan partner saya berpisah. Perpisahan yang diawali dengan sebuah gladi resik perpisahan selama dua bulan. Kami menyebutnya break. Terjadi hal seperti itu karena saya menjadi insecure, sebab hubungan jarak jauh ini memaksa saya menjadi demikian. Pada akhirnya insekuritas saya pun menjadi relevan.

Di dalam simulasi pisah selama dua bulan itu saya menyibukkan diri agar saya bisa tidak fokus ke perasaan negatif. Tidak memaksakan diri mencari pelarian lain, hanya fokus menyibukkan raga ini agar energinya habis terkuras. Saya berharap ketika saya seperti itu, di penghujung simulasi saya bisa menyambut partner saya dan melihatnya dengan cahaya yang baru. Pun kebetulan saya ditawarkan kesibukan oleh semesta. "Wah pertanda baik sepertinya." Pikir saya.

"Eits, tunggu dulu." Balas sang takdir sambil kemudian mengangkat saya ke langit tertinggi dan lalu menghempaskan saya kembali ke tanah.

Dua hari lalu sebuah panggilan agung akhirnya terjadi. Kami berbicara cukup lama, yang kesimpulan dari pembicaraan itu adalah kami tidak lagi bisa bersama. Tidak ada lagi cocoklogi atas sebuah kebetulan dengan campur tangan kosmik, tidak ada lagi candaan receh antara kami, tidak ada lagi ghibah yang mengundang tawa, tidak ada lagi pembicaraan berat berisi pandangan yang dalam atas suatu hal, tidak ada lagi romantisasi angka keramat, tidak lagi lagu-lagu cinta yang merupakan tema hubungan kami menjadi menenangkan.

Sakit sekali.

Putusnya sendiri sebenarnya tidak sesakit itu, yang membuat ini sangat perih adalah alasan kenapa saya tidak lagi bisa menerimanya. Alasan yang memiliki faktor sama dengan awal mula penyebab kami mengalami keruntuhan fondasi di dalam hubungan ini dari awal sekali, sehingga kami memutuskan untuk break. Itu yang membuat ini menjadi sangat menyakitkan. Karena selain rasa kecewa, juga ada amarah di dalamnya. Saya mungkin akan sedikit lega bila saja yang saya rasakan hanya sakit, tapi kita tidak bisa mengatur apa yang kita rasakan bukan?

Ya, sakit sekali. Saya tidak suka ini.

Selama enam setengah tahun ini, tak lewat satu hari pun saya memikirkan dia. Tak ada hari yang bolong saya menyayanginya. Saya sempat yakin bahwa kami bisa tetap bersama sampai kami tua. Saya tahu bahwa hampir semua pasangan seperti itu, tapi saya merasa perasaan saya itu beda. Karena saya yang merasakannya. Yakin yang seyakin-yakinnya. Tapi apa boleh dikata, toh akhirnya berpisah juga.

Hubungan jarak jauh memang bangsat. Kamu lucu sekali, wahai alam semesta.

Kami menjalani hubungan selama enam setengah tahun. Banyak canda dan duka yang kami bagi berdua. Setengah dari saya adalah ungkapan yang paling pas atas dirinya. Namun sangat disayangkan kami tidak lagi bisa bersama.

We are not OK anymore.

I will miss us.

Selamat tinggal dan terima kasih.

Duh, sakit sekali. Saya tidak suka ini.

Thursday, February 11, 2021

Filsuf Dadakan

Kayaknya gue bisa mewakili banyak orang kalau gue bilang bahwa tengah malam menuju pagi buta adalah waktu favorit untuk pikiran liar menggerayangi otak manusia. Gue rasa karena suasana sedang sepi dan diri kita dipaksa untuk menggauli kesunyian tersebut, sehingga kepala bisa fokus untuk mengundang ribuan ide. Cemerlang belum tentu, tapi yang jelas pasti ada banyak yang datang. Ketika sedang melamun pas berak pun juga sama, tapi sensasinya tidak seperti saat bengong tengah malam sambil menatap langit-langit kamar atau duduk di luar diselimuti langit yang gelap.

Biasanya kalau makin malam dan semakin sepi, seseorang akan menjadi lebih "dalam". Contohnya di tongkrongan, biasanya obrolannya akan menjadi lebih berat kalau malam semakin tua. Gue pribadi sering menjadi saksi hidup fenomena itu ketika sedang bercengkrama dengan kawan-kawan gue kalau kami nongkrong dalam waktu yang lama. Obrolan jam 7 malam masih hahahihi saling ejek, lalu jam 9 malam gosip (ya gue menggosip) tentang orang lain, jam 11 malam mulai membahas bumi datar atau cerita sejarah nabi-nabi, dan semakin pagi obrolan tambah berat sampai membahas ketuhanan. Itu semua sama sekali tanpa pengaruh alkohol, paling hanya kafein dari kopi atau nikotin dari rokok dicampur lingkungan yang tambah sunyi.

Kesunyian tengah malam itu kadang memaksa kita menjadi filsuf dadakan. Mempertanyakan hal-hal remeh seperti tujuan eksistensi manusia di bumi atau alam semesta... Tunggu, itu remeh di mananya? Ya intinya itu tadi mengajak kita untuk berpikiran liar ke mana-mana.

Gue masih ingat, dua tahun lalu ketika tengah malam sendirian di kamar kontrakan, kamar gelap hanya ada cahaya kuning dari sudut kamar yang gue pasang lampu LED dan suara dari kipas angin, gue lagi kesulitan untuk tidur. Tiba-tiba kepikiran "Gue di semesta lain jam segini lagi apa ya?". Yak, gue malah jadi melamun tentang multisemesta dan mikirin lagi apa gue di semesta lain tersebut.

Multisemesta atau multiverse adalah hipotesis kalau ada semesta lain selain yang kita hidupi ini. Teori tentang multiverse ini pun ada banyak yang semuanya mempunyai satu kesimpulan, alam semesta kita ini terlalu besar dan bisa saja bukan satu-satunya! Di dalam teori multiverse bumi tidak hanya ada satu, melainkan tidak terhingga, yang artinya ada Omar Firdauzy yang tak terhingga juga di dunia paralel sana. 

Di alam semesta yang gue tinggali ini ada Omar yang pada pagi buta sekarang sedang menulis untuk blog ini. Di waktu yang sama di semesta lain mungkin ada Omar Firdauzy yang sedang ditelepon oleh klien karena ada revisi dari proyek desain rumahnya (ya, Omar ini adalah arsitek, mungkin alumni UNDIP). Di semesta lain ada Omar yang sedang di bar karena dia bartender. Omar semesta lainnya ada yang sedang merebus Indomie Goreng memakai panci tengah malam karena lapar. Di semesta lainnya ada Omar yang merebus Indomie Goreng juga, hanya saja memakai wajan. Banyaaaaaaaaaaaaak kemungkinannya. Ada semesta lain yang sedang berjalan atau tercipta untuk tiap kemungkinan kecil yang bahkan lo nggak sadari. Kayak misalnya lo lagi bimbang mau beli nasi goreng atau mie goreng. Ketika lo memutuskan untuk membeli nasi goreng, di semesta lain ada elo versi lain yang justru membeli mie goreng. Dan gue yang sulit tidur dua tahun lalu sedang memikirkan sedang apa gue di semesta lain itu.

Tengah malam dua tahun lalu gue tidak berhenti memikirkan sampai di sana saja, ternyata imajinasi gue membawa gue untuk membayangkan lebih jauh tentang multiverse ini. "Kalau multiverse ada, surga dan nerakanya ada satu atau tak terhingga?" Dan gue lalu mengucapkan selamat tinggal kepada tidur malam.

Dalam pikiran gue saat itu, lucu juga ada akhirat multiverse. Bahkan sampai saat ini gue masih berpikir itu lucu. Karena kekacauan seperti apa yang terjadi di alam sana. Dalam hal ini anggap saja gue percaya adanya akhirat ya.

Intisari malam itu adalah pertanyaan "Kalau multiverse ada, surga dan nerakanya juga ada satu atau tak terhingga?" Kalau misalnya hanya ada satu,  bagaimana pencatatan amalnya? Misalnya di semesta ini gue brengsek tapi tobat, sedangkan di semesta lain gue pemuka agama korup, dan di semesta lain gue filantropi kafir, dan variabel lainnya yang tidak terhingga. Bagaimana malaikat mencatat amalnya untuk ditimbang supaya dapat masuk surga? Omar mana yang masuk surga? Tidak berhenti di sana kekacauannya. Kalau surga dan neraka cuman satu, bisa jadi gue bertemu dengan gue yang dari semesta lain di surga/neraka.

"Wih! Ada Omar lain! Gue Omar dari semesta ABQ-69. Dari mana lo? AAAAAAH!!!" Tanya gue sambil dipecut pakai rantai api di neraka ke gue lainnya yang sedang disiksa dipaksa minum lahar.
"Gue dari semesta CT-124. Tadi gue ketemu sama Omar dari semesta ID-0211, dia lagi digantung terbalik di kandang macan neraka. HYEEEEEKH!!!"
"Oh, gue juga kemarin liat banyak Omar lain di dekat danau darah mendidih. Habis disiksa ini, mau ke mana lo? Nongs lah nanti sama Omar lainnya! AAAAAAAAAGGGGHHH!!!"
"Lah, gaskeun!"

Lalu kalau surga dan neraka juga ada tak terhingga, ada dong kemungkinan di akhirat A gue dianggap kafir dan halu karena percaya keyakinan asing menyembah berhala kucing selama hidup di semesta A, tapi ternyata menyembah berhala kucing adalah keyakinan agama surgawi di akhirat B. Apakah gue di semesta A akan masuk neraka di akhirat A atau akan masuk surga di akhirat B karena gue terhitung alim di semesta B?

"kamu semasa hidup telah membantai 6 juta orang dengan cara kepemimpinan diktatormu. Itu adalah dosa yang sangat besar di akhirat KMZ-87AA ini. Kalau di akhirat sini kamu pasti masuk neraka paling dalam." Ucap penjaga akhirat versi KMZ-87AA kepada Hitler ketika dia amal perbuatannya sedang ditimbang. "Tapi jangan sedih dulu, untung saja ada di akhirat semesta A1B3, hal itu adalah pahala besar. Jadi kamu masuk surga yang di sana." Lanjut si malaikat, lalu Hitler pun sumringah.

Kalau akhirat juga tidak terhingga, sudah pasti semua nerakanya akan kosong, karena tiap dosa bisa saja menjadi pahala di akhirat lainnya. Akan kacau. Tapi kalau surga dan neraka cuman ada satu juga tidak akan kalah kacau, karena tiap semesta kemungkinan punya standar kebaikan yang berbeda pula, akan membuat proses seleksi masuk surganya membingungkan dan tidak adil untuk penghuni semesta lain.

Pemikiran liar seperti itu semua akan sulit kepikiran misalnya gue melamun di waktu yang bukan tengah malam menjelang pagi buta. Jam-jam kelelawar tanpa kebisingan seperti ini memang punya sihir yang berbeda untuk otak, oleh karena itu gue suka misalnya masih terjebak di dalam obrolan ngalor-ngidul dengan orang lain di waktu pagi buta begini. Soalnya ada potensi untuk menyambung ke topik yang lebih berat atau lebih imajinatif dan itu cukup menyenangkan. Bingung? Nggak apa-apa, gue yakin di semesta lain ada elo lainnya yang nggak bingung kok. Hahaha.

Friday, February 5, 2021

Break

Beberapa hari yang lalu gue dan pasangan gue di dalam telepon memutuskan untuk rehat sejenak selama dua bulan dalam hubungan ini, atau dalam istilah lebih trendinya: break.

Keputusan itu dibuat karena memang komunikasi kami selama LDR ini kurang baik. Jangankan komunikasi intim, komunikasi biasa saja kurang berjalan baik, sehingga kami merasa lelah. Tentunya untuk urusan begini akan selalu "pihak lain" yang disalahkan, yang maksudnya adalah masing-masing orang di dalam hubungan tersebut akan sama-sama menganggap dirinya protagonis dan orang yang satunya adalah tokoh antagonis. Dalam hal ini--karena dari pandangan gue--gue menganggap guenya yang protagonis. Gue sudah berusaha supaya komunikasi yang buruk antara kami tidak berlarut-larut, gue sudah bilang kalau gue keberatan kalau ABC, dan lainnya. Tapi "pihak lain" tidak bekerjasama dengan baik. Gue merasa seperti gue menari tango sendiri di mana selalu butuh dua orang untuk ber-tango. Bias sih pasti, karena gue hanya bisa mengambil kesimpulan dari kacamata gue sebagai orang pertama.

Tentunya hal itu dirasakan juga oleh partner gue. Dia bilang kalau dia tidak merasa mendapatkan attention dan affection yang dia butuhkan sehingga dia lelah sendiri, sayangnya kesimpulan itu datanya kebanyakan dia ambil dari masa buruk kami, yaitu ketika komunikasi kami sudah mulai memburuk. Ketika di telepon pun gue gatal mau membela diri dan menunjuk jari, tapi gue tau itu hanya hal sia-sia karena malah akan memperburuk suasana. Walaupun kadang terpeleset, tapi untungnya gue nggak berakhir sangat defensif dan menunjuk dengan semua jari yang gue punya.

Telepon yang kami lakukan kemarin dibuat ketika gue dan dia sedang berada di dalam konflik. Gue tidak merespon teks yang dia kirim dalam waktu yang lama karena gue butuh menenangkan diri dahulu. Gue nggak mau ada ucapan atau keputusan bodoh yang tercetus karena gue dalam kondisi yang kurang baik. Dalam fase itu gue berusaha menyari kesibukan atau apa pun yang bisa membuat fokus gue teralihkan ke hal lain. Gue juga nggak cerita ke siapa pun tentang konflik kami atau perasaan gue sebagai individu yang sedang menjalankan hubungan jarak jauh ini, soalnya sepengalaman gue biasanya itu akan membuat gue tambah bias dalam mengambil keputusan, karena input dari teman gue (yang tentunya akan berada di pihak gue karena teman) akan membuat partner gue menjadi semakin antagonis di kepala dan membuat gue jadi berpikiran macam-macam, ya walaupun sebenarnya tujuan mereka baik ingin membuat gue merasa lebih baik. Gue sadar kalau gue harus bisa berpikir sejernih mungkin ketika ada di dalam fase itu, jadi akhirnya memilih untuk tetap disimpan sendiri dan mengalihkan fokus ke hal lain dulu.

Konflik antara kami belakangan itu terjadi juga karena  komunikasi yang buruk sehingga gue--yang gue rasa cukup percaya diri--merasa tidak percaya diri. Insekuritas itu membuat kadar toleransi gue untuk pasangan berubah dan secara nggak sadar gue mengharapkan hal yang lebih pula. Itu terjadi selama berbulan-bulan, dan ditutup dengan ketika gue ke Jogja kemarin. Lalu dipuncaki oleh kejadian seminggu belakangan.

Seperti yang pernah gue bilang di sini, gue memutuskan ke Jogja kemarin dalam waktu yang lama dengan harapan bisa menghabiskan waktu yang lama juga dengan pasangan gue, bahkan gue menambah waktu gue di sana. Tapi pada kenyataannya gue lebih banyak menghabiskan waktu sendirian, kemudian dengan teman gue, lalu dalam posisi terakhir baru dengan pasangan gue. Beberapa hal sudah gue lakukan untuk membuat dia bisa/mau lebih lama menghabiskan waktu berdua saja, tapi selalu ada penolakan dengan alasan ABC sampai waktu gue pergi. Tentunya resep kekecewaan adalah ekspektasi yang tidak tercapai, apalagi bisa dibilang salah satu love language dominan gue adalah quality time, dan tidak mendapatkan waktu berkualitas berdua saja seperti yang gue harapkan sudah pasti membuat gue kecewa. Gue kembali ke Bekasi dengan membawa perasaan nggak enak. Membatin pilu bagaimana usaha gue untuk bisa ke Jogja yang nggak bisa dibilang mudah itu justru tidak berbuah manis dan tambahan merasa tidak dihargai.

Tambah tinggi timbunan rasa kecewa di benak gue ketika gue mendapatkan fakta bahwa dia kemudian malah melakukan bersama orang lain apa yang gue harapkan dia lakukan bersama gue pas gue di Jogja. Alasan ABC yang dia berikan ke gue untuk tidak menghabiskan waktu bersama gue ketika itu tetiba menjadi kotoran banteng di mata gue. Dan dimulailah konflik antara kami tadi. Rasa kecewa yang menggunung tiba-tiba meledak. Tidak ingin gegabah, gue memutuskan untuk tidak berhubungan sampai gue bisa berpikiran jernih dan terjadilah penutupan berbentuk panggilan telepon agung beberapa hari lalu yang berisi obrolan berat yang sudah lama tidak kami lakukan.

Ketika telepon kemarin, atmosfernya bisa dibilang sehat. Tidak ada urat, nada tinggi, dan murni diskusi hati ke hati dengan sedikit selipan tawa karena candaan kami. Gue ingat di dalam telepon  ada satu obrolan kami tentang pandangan soal LDR ini. Ketika gue bilang LDR ini memang hal yang butuh usaha ekstra, dia berpendapat LDR ini membuat dia lebih bebas. Gue langsung memotong kalau gue tidak pernah membatasi dia untuk melakukan apa pun dan bahkan seingat gue, gue selalu mendukung. Tapi ternyata dia berpendapat berbeda, dia merasa kalau ada kewajiban di dalam hubungan ini yang membuat mobilitasnya terbatas pas gue di Jogja. LDR ini is a good thing menurutnya, tapi pada akhirnya kami sependapat untuk tidak sependapat. Termasuk masalah attention dan affection tadi. Gue juga merasa tidak mendapatkan hal itu sayangnya. Tapi sekali lagi kesimpulan itu terbuat karena ini adalah POV gue, di dalam pandangannya tentu gue adalah tokoh antagonisnya.

Satu hal lain yang kami setujui adalah bahwa kami sama-sama tidak memberi hal yang tepat dan kami tidak mendapatkan yang kami harapkan dari masing-masing. Rehat tanpa aturan ini pun terjadi untuk melihat bagaimana efeknya buat kami, apakah menjadikan kami yang lebih baik atau lebih buruk. Walaupun gue sudah meraba-raba akan berakhir di mana, gue tetap penasaran bagaimana akhirnya di penghujung break nanti, karena manusia itu dinamis, kadang nggak bisa diprediksi bahkan kalau gue seorang ahli nujum atau cenayang sekalipun.

Ya, di sinilah kami sekarang. Rehat tanpa aturan selama dua bulan ke depan yang bisa dibilang cukup lama. Dua bulan tanpa komunikasi rutin dan update tentang masing-masing. Disayangkan saja pertemuan terakhir kami pas gue ke Jogja kemarin tidak meninggalkan kesan yang baik untuk gue dan mungkin untuknya. Tapi lagi-lagi kalau pun demikian, gebrakan yang belum kami lakukan sebelumnya ini tidak akan terjadi. Entah akan berakhir positif untuk hubungan kami atau sebaliknya, yang sudah ya sudah. Haha.

Friday, January 29, 2021

Dekat dengan Covid

Dalam beberapa bulan belakangan gue sudah empat kali dekat dengan covid. Percayalah, sensasi cemas setelah dekat dengan covid itu nggak nyaman.

Tentunya hanya dekat saja, kena covid sendiri untungnya belum pernah. Entahlah, mungkin i̶m̶a̶n̶ imun gue kuat atau hanya sekadar beruntung.

Pengalaman terakhir dekat dengan covid adalah ketika gue bertemu dengan teman gue pas gue sedang di Cakung. Gue satu ruangan dengan dia sambil menunggu informasi dari klien karena gue ada tugas menghampiri vendor dan si klien tersebut. Teman gue memakai masker karena dia batuk-batuk terus dan mengaku bahwa badannya tidak enak pasca menangani virtual event beberapa hari sebelumnya. Gue tahu bahwa ketika menangani event itu bisa sangat melelahkan dan membuat daya tahan tubuh turun karena terlalu capek setelahnya, oleh karena itu ketimbang bilang "Sepertinya kecapekan doang, man." Sebagai teman yang baik gue bilang ke dia "jir, kena covid itu mah!" Sambil tertawa-tawa.

Dan besoknya dia swab antigen dan beneran covid.

Setiap kali tahu kalau gue baru dekat dengan covid, gue selalu cemas. Khawatir akan menulari keluarga di rumah. Gue biasanya akan mengurung diri di kamar untuk menghindari anggota keluarga yang serumah dengan gue. Kalau keluar kamar pun gue selalu bermasker dan senantiasa menghindari mereka layaknya najis.

Keluarga gue pun sangat supportif ketika gue mengurung diri di kamar. Terutama bokap gue yang setelah gue bilangin berkali-kali kalau gue adalah ODP dan mau isolasi di kamar selama beberapa hari, tetapi dia dengan senantiasa bilang "Di kamar melulu kamu."

"Oji lagi isolasi mandiri, Pa. Kemarin baru berinteraksi dengan orang yang positif covid. Takut nularin keluarga. Makanya dari kemarin di kamar dan kalau keluar kamar pun pakai masker di rumah. Paling nggak 3 hari dulu isolasinya sebelum swab test lagi di RS." Jelas gue.

"Oooh, gitu. Yaudah, nanti jangan lupa ke mesjid ya untuk solat Jumat." Balasnya. 

"Lah...?" Gue merespon dengan malas. Kadang bapak gue suka membuat gue heran.

Gue ingat pertama kali mengalami kejadian itu (dekat dengan covid) ketika ada virtual event 17 Agustus di kantor Pertamina. Setelah meeting, salah satu orang Pertamina bilang kalau di ruangan meeting itu tadi ada beberapa orang Pertamina lainnya yang beberapa hari lalu kontak dengan orang yang positif covid di lantai lain, baru dikasih tau ke peserta meeting ketika meeting sudah selesai supaya meeting lancar dan tidak ada yang panik. Dan dia salah. Satu ruangan mukanya langsung panik termasuk gue. Gue langsung menelepon orang rumah, memberitahu kalau gue baru berinteraksi dengan ODP dan nggak bisa pulang sampai hasil PCR ODP yang berinteraksi dengan kami dinyatakan negatif semua. Ternyata Pertamina saat itu memang sedang dalam status karantina karena sudah banyak yang kena. Diadakan event di sana karena memang petingginya yang meminta.

Kantor memang tempat paling bagus kalau orang-orang ingin mengadopsi covid untuk dibawa pulang. Kluster paling sering ditemui memang perkantoran. Oleh karena itu pagi tadi gue cemas ketika berkunjung ke kantor Microsoft Indonesia untuk mengantarkan invoice. Belum lagi prokes yang digalakkan di sana tidak begitu ketat DAN ada banyak orang. Dan tebak teman gue tadi terkena covid setelah menangani virtual event siapa? Yak, benar Microsoft.

Well, gue sendiri tidak berlama-lama di sana. Soalnya setelah menghubungkan titik-titik yang terpencar tadi, sudah jelas kalau di sana adalah ladang penyakit. Gue nggak mau mengambil resiko. ¯\_(ツ)_/¯

Ya semoga saja kali ini gue selamat lagi dari cengkeraman covid. Jadi totalnya lima kali dekat dengannya. Haha.

Wednesday, January 20, 2021

Pulang?

Tepat dua minggu lalu gue kembali ke Bekasi dari kunjungan gue ke Jogja selama setengah bulan lebih sedikit lamanya. Rencana awal sepertinya hanya sampai tanggal 2 atau 3 Januari, tetapi setelah dipikir-pikir gue mau berlama-lama juga dengan sang partner, lalu setelah gue tanya ke dia akhirnya malah sampai tanggal 6 dari tanggal 21 Desember. Haha.

Gue ke Jogja selain karena ingin menemani dia untuk menghabiskan malam Natal dan tahun baru, juga untuk menghadiri pernikahan kakaknya yang jatuh pada tanggal 29.

Karena sedang berada di situasi pandemi ini, gue tidak mau membawa virus ke rumahnya di daerah selatan Jogja sana. Jadi gue melakukan test swab dulu secepatnya sebelum bertemu dengan keluarganya. Biar aman. Oleh karena itu di tiga hari pertama gue menetap di utara Jogja, sekalian bertemu dengan teman-teman gue (gue berani karena gue yakin kami semua negatif) dan napak tilas mengelilingi di daerah utara sekaligus reuni dengan kuliner yang biasa gue santap ketika gue masih tinggal di Jogja.

Banyak sekali perubahan yang terasa ketika gue mengamati Jogja lebih jauh kali ini. Agustus lalu gue juga ke Jogja, tapi tidak selama dan sejauh ini muter-muternya, sehingga pada saat itu gue tidak bisa mengamati banyak hal di banyak sudut kota Jogja dan sekitarnya. Kali ini mata gue bisa melihat pandemi brengsek ini berhasil mengubah banyak hal di Jogja. Banyak sekali tempat jualan yang tutup adalah salah satunya.

Tapi di sisi lain, secara keseluruhan Jogjanya pun sudah terasa berbeda dengan Jogja yang dulu gue rasakan. Sisi magisnya sudah nggak terasa lagi. Entah karena pandemi sehingga yang gue dengar dari para orang Jogja hanya yang jelek-jelek saja dan secara tidak sadar membuat otak gue menolak keistimewaan Jogja, atau karena gue sudah terbiasa tidak di Jogja.

Pada saat itu gue masih denial. Sampai ketika gue sudah seminggu lebih di Jogja (sudah swab dll), gue tetap mendapatkan perasaan yang sama ketika gue muter-muter sendirian mengelilingi bagian utara dan selatan Jogja. Romantisnya Jogja yang sering orang lebih-lebihkan itu sudah tidak lagi terasa, bahkan setelah gue mendengarkan lagu Pulang dari Float yang diulang-ulang saat menelusuri Jalan Malioboro yang sudah agak lega. Rasa "pulang" itu tidak ada. Padahal dulu lagu itu waktu gue dengarkan ketika gue baru sampai Jogja atau pergi dari Jogja memiliki sihir kuat yang selalu berhasil membuat hati terenyuh. Jogja sudah berubah.

Tiba akhirnya di tanggal 6 Januari, di mana saatnya gue harus pergi meninggalkan Jogja beserta orang di dalamnya. Gue selalu bilang "balik" ketika mau pergi ke Bekasi, kota padat yang hectic ini. Dan bilang "pulang" ketika gue mau ke Jogja. Itu semua diucapkan secara tidak sadar selama bertahun-tahun. Namun... Kunjungan gue ke Jogja kemarin tidak terasa seperti "pulang". Ada rasa seperti tidak diinginkan lagi oleh Jogja.

Ketika gue pergi meninggalkan Jogja kemarin, baru pertama kali itu gue merasa lega. Bahkan beberapa hari sebelumnya gue menunggu hari itu tiba. Apakah Jogja bukan lagi rumah untuk batin gue ini? Semoga saja tidak, karena tentu gue masih merasa Bekasi tidak bisa mengisi peran itu. Gila kali haha. 

Semoga saja perubahan ini hanya karena efek pandemi yang (semoga) sesaat.