Saturday, December 1, 2018

Tulis-tulisan...

"Saatnya rajin menulis lagi!" ucap gue dalam hati beberapa minggu lalu.

Gue juga bilang itu beberapa bulan lalu.

Kalau nggak salah beberapa tahun lalu juga.

Wow... gue malas.

Sudah berkali-kali gue berniat melakukan hal yang sama, yaitu menulis. Sudah berkali-kali juga niat itu tidak dijalani. Rasanya pengin punya kemampuan menggandakan tubuh, lalu gue keplak kepala clone gue sambil bilang "banyak omong!".

Ketika gue mulai menulis saat SMA dulu, gue melakukannya karena 10% ingin belajar menulis 90% caper. Gue masih ingat ketika gue meminjam ponsel teman gue, alih-alih ingin bermain video game, gue malah membuka browser lalu membuka blog Friendster (kala itu) milik gue, dan mengembalikan ponselnya dengan keadaan sedang membuka blog gue. Harapannya sih biar para teman gue membacanya. Dan... BOOM! Umpan baliknya bagus! Mereka jadi mengikuti perkembangan blog gue sampai pindah ke platform ini. Akhirnya gue jadi suka menulis. Lagi, 90% karena caper.

Beberapa waktu kemudian ketika blog gue makin luas jangkauan pembacanya (soalnya promosi sana-sini, cuy!), bahkan sampai punya pembaca setia, gue mulai menulis karena kewajiban. Gue jadi menganggap harus memberikan mereka suatu tulisan yang menghibur. Kesukaan gue akan menulis menjadi jauh berkurang, tetapi gue semacam punya tanggung jawab untuk memberikan sesuatu. Menulis menjadi suatu beban.

"Bagaimana kalau ini nggak bagus?", "Apa ini lucu?", dan "Harus nulis apa ya?" adalah pertanyaan yang terbesit di kepala gue dari waktu ke waktu.

Akhirnya karena menulis menjadi suatu beban, lama kelamaan gue menjadi malas menulis dan perlahan dalam setahun hanya terisi satu atau dua postingan di dalam blog ini. Satu-persatu pembacanya meninggalkan blog ini. Perlahan pun gue lupa asiknya menulis.

Ya, seribet itu otak gue. Padahal mah blog ini belum besar-besar amat ketika itu, tetapi sudah dapat sindrom selebriti. Seharusnya yang perlu diingat adalah kesenangan yang didapat ketika menulis. Bagaimana asiknya mencurahkan sesuatu yang ada di dalam hati dan pikiran gue ke dalam sesuatu yang lebih abadi seperti tulisan, untuk kemudian dibaca lagi oleh gue sendiri.

Ya, menulis untuk diri sendiri.

Gue rasa gue akan mencoba memulai itu kembali dari sekarang. Semoga saja niat yang sekarang ini bukanlah niat-niatan seperti yang sudah-sudah. Haha.

Semoga perasaan senang ketika menulis itu kembali.

Semoga...

Monday, November 19, 2018

Eulogi

Kemarin sang partner meminta gue untuk menulis eulogi untuknya. Dia bilang untuk tugas dari dosennya, dia harus mendapatkan minimal empat eulogi dari orang yang dia kenal. Gue langsung terbayang novel roman picisan The Fault in Our Stars karya John Green, yang kebetulan merupakan salah satu penulis favorit partner gue.

Teringat satu bagian di dalam cerita buku itu di mana salah satu tokoh utamanya yang bernama Augustus Waters, meminta tokoh utama lainnya yang merupakan kekasihnya yang bernama Hazel Grace, untuk menulis eulogi untuknya, karena Augustus Waters ingin "menghadiri" pemakamannya. Let's say itu adalah "pra pemakan". Di bagian tersebut Hazel Grace membacakan eulogi untuk pemakaman Augustus Waters yang masih hidup saat itu. 

Oh, gue belum menjelaskan apa itu eulogi. Jadi, eulogi adalah sebuah pidato atau penulisan pujian terhadap seseorang yang sudah meninggal. Eulogi diberikan sebagai bagian dari upacara pemakaman. Isinya biasanya merupakan kenangan si pengantar eulogi akan orang yang sudah meninggal, biografi orang yang meninggal tersebut, atau perpaduan dari keduanya. Bagaimana orang itu ketika masih hidup, apa saja peninggalannya, dan lainnya. 

Ya, dan partner gue meminta gue untuk menulis itu semua untuknya!

Gue (sepertinya masih?) suka menulis. Biasanya kata-kata akan dengan mudah tertuang ke dalam suatu tulisan yang gue kerjakan. Namun, ketika diminta untuk menulis salam perpisahan untuknya, jari ini kok ya berat?

Otak gue nggak bisa memikirkan kalimat apa saja yang cocok untuk dirangkai karena terhalang dengan bayangan kalau dia sudah pergi. Rasa takut bercampur sedih juga berperan dalam writer's block dadakan yang gue alami kemarin, padahal orangnya masih hidup dan sedang berada di rumahnya yang terletak 13 kilometer dari kediaman gue sekarang. Mungkin dia sedang haha-hihi bermain dengan Gibo dan Pumbaa, anjing-anjing jantan di rumahnya yang selalu menggonggong ketika bertemu gue.

"Yaelah kok susah amat?!" seru gue dalam hati ketika menulisnya.

Banyak bingung kemudian, euloginya pun akhirnya selesai setelah gue potong sana-sini agar tidak terlalu panjang dan terkesan bertele-tele.

Menulis eulogi untuknya mengingatkan gue akan beberapa hal, salah satunya adalah perpisahan. Gue diingatkan bahwa gue dan dia suatu saat akan berpisah.

Meninggalkan dan ditinggalkan.

Itu adalah hal yang sudah absolut hukumnya dalam suatu hubungan. Tak terkecuali hubungan kami. Entah karena apa, suatu hari nanti kami pasti akan mengisi salah satu dari kedua peran tersebut.

Gue sangat yakin kalau untuk sekarang ini, jelas gue masih belum siap untuk itu. Gue masih membutuhkannya untuk belajar banyak hal darinya. Gue masih membutuhkan dia untuk berbagi kebahagiaan.

Simply, gue masih butuh dia.

Dari hal ini gue juga diingatkan untuk jangan lupa menggenggam tangannya lebih erat ketika kami berjalan bersama, memeluknya lebih kencang ketika akan berpisah, dan lebih menikmati setiap detik ketika kami bersama.

To love her harder.

Gue nggak tahu kapan akan datangnya waktu untuk kami berpisah, yang jelas sekarang gue cuman bisa berharap suatu hari nanti gue bisa berkata "ubanku sama ubanmu masih lebih berkilau ubanku!" ke orang yang sama dengan orang yang tidak segan untuk kentut di depan gue dan menyalahkan Baron, anjing betina yang gue dan partner gue rawat saat ini.

Sunday, May 27, 2018

Tenang

Bahagia gue di Minggu siang ini sangatlah sederhana.

Duduk di sofa teras belakang rumah kontrakan, melihat langit yang cerah sambil menikmati angin sepoi-sepoi, dan juga dihibur oleh tanaman hijau yang tumbuh liar nggak beraturan. Jangan salah, lukisan abstrak justru seninya adalah ketidakteraturan. Kekacauan adalah kunci bagusnya. Persis seperti tanaman liar di halaman belakang yang saat ini ada di depan mata gue. Tumbuh kacau balau, tapi malah jadi indah.

Kupu-kupu dan burung-burung juga terbang bermain di halaman belakang. Sesekali burungnya bersiul. Hal ini nggak akan ada kalau halaman belakang kekurangan elemen hijaunya.

Di samping kiri gue ada Baron, anjing Kintamani (gagal) betina yang tiga tahun ini gue rawat karena pemiliknya--teman kontrakan gue dulu--meninggalkan Baron ke Balikpapan ketika dia masih kecil. Dia sekarang sedang tidur dengan perut yang terbuka. Di dekatnya ada dua kucing jantan yang bernama Milo dan Mitler. Keduanya kucing domestik yang partner gue dan gue selamatkan sedari mereka kecil mungil. Sekarang mereka sudah besar dan siapa sangka Milo berubah menjadi kucing gay yang terlalu manja. Tapi nggak masalah, sebagai orang tua yang baik gue tetap cinta dia walaupun dia suka pejantan lain. Oh mereka juga sedang tidur.

Suasananya sangat tenang. Membuat semua ini terlalu gampang untuk dinikmati. Nggak ada suara-suara mengganggu. Suara yang datang paling hanya ayam tetangga berkokok dan burung-burung yang bersiul sambil bermain tadi. Sesekali terdengar suara teman kontrakan gue yang berteriak "ASUUU!!!" saat sedang bermain PUBG di hapenya. Tapi tidak merusak momen spritual yang lagi gue alami sekarang ini.

Kombinasi warna biru, putih, dan hijau yang dipamerkan langit dan kawan-kawan mengunci mata gue. Bahkan melirik ke hape yang bergetar pun gue malas. Lebih asik melamun menikmati saat ini.

Gue tenang.

Sudah ratusan kali gue duduk di bangku yang sama di kondisi yang juga sama. Tapi baru kali ini gue merasa setenang ini.

Bahagia.

Bahagia adalah kata yang pas.


Dan tidak terasa sudah tiga jam bokong gue mengakar di sofa. Gue pun akhirnya memutuskan beranjak, karena sudah terlalu lama gue bengong. Dan juga karena anak kos tetangga sudah mulai rese, menyetel lagu Ada Band - Manusia Bodoh keras-keras.