Friday, February 5, 2021

Break

Beberapa hari yang lalu gue dan pasangan gue di dalam telepon memutuskan untuk rehat sejenak selama dua bulan dalam hubungan ini, atau dalam istilah lebih trendinya: break.

Keputusan itu dibuat karena memang komunikasi kami selama LDR ini kurang baik. Jangankan komunikasi intim, komunikasi biasa saja kurang berjalan baik, sehingga kami merasa lelah. Tentunya untuk urusan begini akan selalu "pihak lain" yang disalahkan, yang maksudnya adalah masing-masing orang di dalam hubungan tersebut akan sama-sama menganggap dirinya protagonis dan orang yang satunya adalah tokoh antagonis. Dalam hal ini--karena dari pandangan gue--gue menganggap guenya yang protagonis. Gue sudah berusaha supaya komunikasi yang buruk antara kami tidak berlarut-larut, gue sudah bilang kalau gue keberatan kalau ABC, dan lainnya. Tapi "pihak lain" tidak bekerjasama dengan baik. Gue merasa seperti gue menari tango sendiri di mana selalu butuh dua orang untuk ber-tango. Bias sih pasti, karena gue hanya bisa mengambil kesimpulan dari kacamata gue sebagai orang pertama.

Tentunya hal itu dirasakan juga oleh partner gue. Dia bilang kalau dia tidak merasa mendapatkan attention dan affection yang dia butuhkan sehingga dia lelah sendiri, sayangnya kesimpulan itu datanya kebanyakan dia ambil dari masa buruk kami, yaitu ketika komunikasi kami sudah mulai memburuk. Ketika di telepon pun gue gatal mau membela diri dan menunjuk jari, tapi gue tau itu hanya hal sia-sia karena malah akan memperburuk suasana. Walaupun kadang terpeleset, tapi untungnya gue nggak berakhir sangat defensif dan menunjuk dengan semua jari yang gue punya.

Telepon yang kami lakukan kemarin dibuat ketika gue dan dia sedang berada di dalam konflik. Gue tidak merespon teks yang dia kirim dalam waktu yang lama karena gue butuh menenangkan diri dahulu. Gue nggak mau ada ucapan atau keputusan bodoh yang tercetus karena gue dalam kondisi yang kurang baik. Dalam fase itu gue berusaha menyari kesibukan atau apa pun yang bisa membuat fokus gue teralihkan ke hal lain. Gue juga nggak cerita ke siapa pun tentang konflik kami atau perasaan gue sebagai individu yang sedang menjalankan hubungan jarak jauh ini, soalnya sepengalaman gue biasanya itu akan membuat gue tambah bias dalam mengambil keputusan, karena input dari teman gue (yang tentunya akan berada di pihak gue karena teman) akan membuat partner gue menjadi semakin antagonis di kepala dan membuat gue jadi berpikiran macam-macam, ya walaupun sebenarnya tujuan mereka baik ingin membuat gue merasa lebih baik. Gue sadar kalau gue harus bisa berpikir sejernih mungkin ketika ada di dalam fase itu, jadi akhirnya memilih untuk tetap disimpan sendiri dan mengalihkan fokus ke hal lain dulu.

Konflik antara kami belakangan itu terjadi juga karena  komunikasi yang buruk sehingga gue--yang gue rasa cukup percaya diri--merasa tidak percaya diri. Insekuritas itu membuat kadar toleransi gue untuk pasangan berubah dan secara nggak sadar gue mengharapkan hal yang lebih pula. Itu terjadi selama berbulan-bulan, dan ditutup dengan ketika gue ke Jogja kemarin. Lalu dipuncaki oleh kejadian seminggu belakangan.

Seperti yang pernah gue bilang di sini, gue memutuskan ke Jogja kemarin dalam waktu yang lama dengan harapan bisa menghabiskan waktu yang lama juga dengan pasangan gue, bahkan gue menambah waktu gue di sana. Tapi pada kenyataannya gue lebih banyak menghabiskan waktu sendirian, kemudian dengan teman gue, lalu dalam posisi terakhir baru dengan pasangan gue. Beberapa hal sudah gue lakukan untuk membuat dia bisa/mau lebih lama menghabiskan waktu berdua saja, tapi selalu ada penolakan dengan alasan ABC sampai waktu gue pergi. Tentunya resep kekecewaan adalah ekspektasi yang tidak tercapai, apalagi bisa dibilang salah satu love language dominan gue adalah quality time, dan tidak mendapatkan waktu berkualitas berdua saja seperti yang gue harapkan sudah pasti membuat gue kecewa. Gue kembali ke Bekasi dengan membawa perasaan nggak enak. Membatin pilu bagaimana usaha gue untuk bisa ke Jogja yang nggak bisa dibilang mudah itu justru tidak berbuah manis dan tambahan merasa tidak dihargai.

Tambah tinggi timbunan rasa kecewa di benak gue ketika gue mendapatkan fakta bahwa dia kemudian malah melakukan bersama orang lain apa yang gue harapkan dia lakukan bersama gue pas gue di Jogja. Alasan ABC yang dia berikan ke gue untuk tidak menghabiskan waktu bersama gue ketika itu tetiba menjadi kotoran banteng di mata gue. Dan dimulailah konflik antara kami tadi. Rasa kecewa yang menggunung tiba-tiba meledak. Tidak ingin gegabah, gue memutuskan untuk tidak berhubungan sampai gue bisa berpikiran jernih dan terjadilah penutupan berbentuk panggilan telepon agung beberapa hari lalu yang berisi obrolan berat yang sudah lama tidak kami lakukan.

Ketika telepon kemarin, atmosfernya bisa dibilang sehat. Tidak ada urat, nada tinggi, dan murni diskusi hati ke hati dengan sedikit selipan tawa karena candaan kami. Gue ingat di dalam telepon  ada satu obrolan kami tentang pandangan soal LDR ini. Ketika gue bilang LDR ini memang hal yang butuh usaha ekstra, dia berpendapat LDR ini membuat dia lebih bebas. Gue langsung memotong kalau gue tidak pernah membatasi dia untuk melakukan apa pun dan bahkan seingat gue, gue selalu mendukung. Tapi ternyata dia berpendapat berbeda, dia merasa kalau ada kewajiban di dalam hubungan ini yang membuat mobilitasnya terbatas pas gue di Jogja. LDR ini is a good thing menurutnya, tapi pada akhirnya kami sependapat untuk tidak sependapat. Termasuk masalah attention dan affection tadi. Gue juga merasa tidak mendapatkan hal itu sayangnya. Tapi sekali lagi kesimpulan itu terbuat karena ini adalah POV gue, di dalam pandangannya tentu gue adalah tokoh antagonisnya.

Satu hal lain yang kami setujui adalah bahwa kami sama-sama tidak memberi hal yang tepat dan kami tidak mendapatkan yang kami harapkan dari masing-masing. Rehat tanpa aturan ini pun terjadi untuk melihat bagaimana efeknya buat kami, apakah menjadikan kami yang lebih baik atau lebih buruk. Walaupun gue sudah meraba-raba akan berakhir di mana, gue tetap penasaran bagaimana akhirnya di penghujung break nanti, karena manusia itu dinamis, kadang nggak bisa diprediksi bahkan kalau gue seorang ahli nujum atau cenayang sekalipun.

Ya, di sinilah kami sekarang. Rehat tanpa aturan selama dua bulan ke depan yang bisa dibilang cukup lama. Dua bulan tanpa komunikasi rutin dan update tentang masing-masing. Disayangkan saja pertemuan terakhir kami pas gue ke Jogja kemarin tidak meninggalkan kesan yang baik untuk gue dan mungkin untuknya. Tapi lagi-lagi kalau pun demikian, gebrakan yang belum kami lakukan sebelumnya ini tidak akan terjadi. Entah akan berakhir positif untuk hubungan kami atau sebaliknya, yang sudah ya sudah. Haha.

No comments:

Post a Comment