Tuesday, May 25, 2021

Father and Son

Kemarin ketika sedang ada sesi karaoke di tempat kerja, teman gue menyanyikan lagu berjudul Father and Son yang aslinya lagunya dinyanyikan oleh Cat Stevens. Kurang lebih lagunya bercerita tentang hubungan antara seorang ayah dan anak lelakinya, sesuai judulnya.

Kemudian gue tertegun. Baru kali itu, padahal sebelumnya ketika mendengar lagunya gue biasa-biasa saja.

Lagu itu pertama gue dengar ketika menonton film Guardian of the Galaxy Vol. 2 di bioskop. Ketika menuju akhir film, lagu itu dimainkan di adegan yang sangat pas. Akibatnya dada ini sesak karena terisak.

Ketika lagu itu sedang dinyanyikan teman gue dan gue membaca lirik di layar, gue menyimaknya. Tiba-tiba gue teringat bokap gue yang kini sudah tua, dengan rambut putihnya yang makin terlihat banyak, dan badannya yang semakin terlihat kecil di mata gue.

Sosok gagahnya tidak lagi terlihat. Raganya semakin tua.

Gue dan bokap memiliki hubungan yang baik-baik saja. Tidak ada masalah di antara kami. Kami pun sering mengobrolkan hal-hal tak penting dan bercanda seputar itu. Namun gue tahu bahwa gue belum bisa berdamai dengan diri sendiri untuk sepenuhnya memaafkan dia, karena menurut gue dia tidak membesarkan dan mendengarkan gue dengan baik seiring gue beranjak dewasa. Banyak sekali what ifs yang ada di benak gue jika saja beliau menjadi sosok ayah yang ideal menurut ego gue.

Tetapi gue sadar kalau itu egois. Gue tidak bisa memaksakan dia untuk menjadi seorang ayah yang sempurna sesuai ideal gue. Dia memiliki rutenya sendiri dalam perjalanannya menjadi seorang ayah. Gue yakin dia sudah melakukan itu (menjadi seorang ayah) dengan maksimal menurutnya. Dalam perjalanannya, dia pasti banyak bingungnya dan kemudian tersesat ketika membesarkan anak-anaknya. Tidak tahu harus berbuat dan berucap apa ketika anaknya menemui permasalahan hidup yang berbeda-beda.

Karena pada dasarnya dia hanyalah seorang anak yang memiliki anak. Menjadi orang tua itu tidak ada buku panduan 100% tepat yang dia atau orang tua lain ikuti.

Bokap gue tak lagi muda. Posturnya tak lagi tegap dengan dada yang membusung tinggi. Rambut putihnya yang sering dia cat hitam mulai menipis. Kulit wajahnya tak lagi kencang sehingga membuat pipinya terlihat turun.

Pak Herman sudah menua.

Bangun tidur pagi tadi gue mendengar suaranya sedang di ruang makan. Dia sedang berbicara kepada adik gue yang paling kecil di meja makan. Gue yang belum sepenuhnya bangun, menghampirinya dan memeluknya dari belakang. "Pagi, Pa." Sapa gue seraya melingkari tangan ke badannya.

"Kamu nggak apa-apa?" Tanyanya heran sambil mengelus kepala gue yang berada di pundaknya.

Pelukan gue membuat gue makin sadar kalau tubuhnya yang dulu besar, kini terasa lebih kecil. Tangan gue mudah sekali mengelilingi badannya, berbeda ketika gue masih kecil.

"Nggak apa-apa, Pa." Ucap gue menjawab pertanyaannya. Diikuti dengan ucapan di dalam hati setelahnya, "Tetaplah di sini, Pa. Oji masih ingin banyak ngobrol."

No comments:

Post a Comment