Tuesday, October 4, 2022

Hrtbrk

Gue mengetik ini dengan kondisi penglihatan agak berbayang dan kepala berat karena baru saja bercengkrama dengan teman-teman sambil ditemani air Tuhan di suatu tempat di Jakarta.

Jadi, baru saja gue sampai di kediaman di daerah Pancoran setelah mendengarkan seorang teman berkeluh-kesah. Dia bercerita kalau dia habis seharian menguras air mata karena adanya suatu gesekan di hubungan dia dengan pasangannya. Gue paham betul kalau dia butuh mengobrol tentang hal itu, oleh karena itu gue menyediakan telinga untuk mendengarkan.

Satu hal yang gue pelajari dari pengalaman pribadi dan juga dari pengalaman orang lain, patah hati adalah satu hal yang sangat menyakitkan. Lukanya tidak terlihat, tetapi nyerinya bisa merembet ke fisik dan psikis. Seseorang bisa saja melakukan tindakan impulsif yang cenderung bodoh karena hal ini.

Bagi yang mendengarkan cerita si korban patah hati mungkin akan dengan mudahnya bilang bahwa masih ada banyak ikan di lautan, tetapi mereka yang nirempati itu lupa bahwa si korban lautnya baru saja kering. Pada saat itu dia hanya ingin satu ikan yang spesifik, bukan ikan lain. Paling tidak sampai luka di hatinya kering dan sembuh.

Patah hati itu sangat personal dan tidak mengenal usia atau kedewasaan emosional. Nggak ada solusi mutlak untuk mengobatinya. Namun, hal terpenting yang mesti si korban tahu adalah untuk tidak menjadi bom waktu untuk diri sendiri dengan melakukan tindakan yang destruktif untuk dirinya.

Patah hati karena kehilangan bisa mengantarkan satu individu untuk menemukan dirinya sendiri, tapi bisa juga malah membuat dirinya malah makin hilang. Semua tergantung seberapa jauh dia mengenal dirinya.

Mengenal diri sendiri adalah keharusan.

Dimulai dari gelas pertama dan diakhiri di entah gelas keberapa. Terakhir sih gue masih lihat matanya berkaca-kaca, tapi semoga saja setelah bercerita bebannya agak berkurang walaupun gue yakin nggak seberapa. Karena  lagi-lagi patah hati itu sangat personal, cuman si empunya hati yang bisa paham rasanya.