Thursday, February 20, 2014

Siapa?

Beberapa waktu yang lalu, gue—mungkin kali ini gue akan menggunakan kata “saya” saja—mendapat pertanyaan iseng, “siapa sih kamu?”

Tentunya yang bertanya sudah tahu siapa saya, karena dia adalah orang yang saya kenal. Dan sebenarnya tidak perlu saya jawab, karena toh dia tidak benar-benar menginginkan jawaban, alias itu adalah pertanyaan retorik. Namun, saya sempat terdiam mencermati pertanyaan itu yang kemudian saya jawab dengan bercanda, “aku adalah masa depan kamu.” Dan kami tertawa geli.

Setelah sampai di rumah dan berbaring di atas tempat tidur, saya teringat pertanyaan tadi. Dan kemudian saya bertanya kepada diri saya sendiri, “siapa ya gue?” sambil menatap kosong ke arah langit-langit.

Saya adalah campuran dari wanita keturunan Jogja dan lelaki keturunan Palembang. Keluarga dari ibu saya mungkin bisa dibilang ningrat, karena pernah disinggung dalam forum keluarga bahwa keluarga dari ibu saya masih keturunan raja. Sedangkan keluarga dari ayah saya adalah orang miskin, ayah saya adalah keturunan petani di kampung, beliau pindah ke Jakarta untuk disekolahkan saudaranya karena ibu dari ayah saya tidak sanggup dengan biayanya sedangkan ayahnya sudah meninggal, namun karena kerja keras dan kemauan yang besar, ayah saya bisa sukses seperti sekarang. Tapi itu semua tidak penting, karena toh saya tidak berniat membahas tentang ayah saya.

Saya tidak menyukai olahraga yang mayoritas laki-laki suka, seperti: sepak bola, bola basket, atau tinju. Tidak, saya tidak suka. Saya lebih menyukai olahraga ekstrim. Saya pernah beberapa kali menggeluti beberapa olahraga ekstrim, seperti BMX saat saya masih SMA, dan parkour sampai sekarang (walaupun tujuan awal saya gabung parkour sudah belok menjadi ikut kumpulnya saja sekarang). Meskipun saya bilang saya tidak suka sepak bola, sebenarnya saya punya 2 jagoan dalam sepak bola: Chelsea dan Barcelona. Tapi itu hanya karena mereka adalah tim yang enak dimainkan saat bermain video game. Saya tetap tidak mengerti sepak bola. Tetapi begitu saya mendengar kalau tim itu menang di pertandingan semalam, saya ikut senang.

Keluarga dari ibu saya sering berkata “keluarga kita itu punya darah seni. Pasti itu. Antara musik, gambar, atau nulis, atau lainnya.” Dan saya tidak bisa membantah itu juga, karena memang saudara-saudara dari keluarga ibu saya demikian. Saya sendiri tertarik pada dunia seni. Walaupun belum begitu ahli, saya menyukai seni di ketiga bidang itu.

Kalau ditanya "apa yang paling saya senangi untuk dikonsumsi?" saya akan menjawab dengan tegas "susu stroberi!" bukan minuman keras atau hal-hal memabukkan lainnya. Bahkan nyatanya, saya belum pernah mabuk atau teler. Pernah saya coba bir atau sejenisnya, tetapi tetap susu stroberi lah yang menjadi pilihan saya. Bagi saya itu adalah minuman yang langsung diracik oleh dewa di khayangan sana.

Pada dasarnya saya adalah orang yang pendiam, tidak suka berbicara dengan orang lain, dan itu membuat saya agak gagap dan grogi ketika berbicara dengan orang baru. Namun sekarang justru sebaliknya, karena saya menemukan bahwa orang itu menarik. Saya sangat suka berbicara kepada orang, apalagi orang asing, khususnya kalangan menengah ke bawah, seperti: penjual makanan di pinggir jalan, pemulung, pengamen, dan lain-lain. Percayalah, banyak sekali cerita yang bisa kau dapat dari mereka. Saya sempat kaget ketika berbicara kepada seorang pemulung di Bekasi bernama Pak Supri yang ternyata dia memiliki penyakit ginjal, penghasilannya selama seminggu tidak sampai cukup untuk biaya obat dan makan keluarganya, tidurnya pun di tangga sebuah pasar dan cuman beberapa jam. Dia sering sekali kesusahan dalam kesehariannya. Dan tebak siapa yang membantu dia? Preman pasar! Preman pasar itu sering memberi makan kepada Pak Supri, keluarganya, dan orang kesusahan lainnya di sana. Bila mereka diusik, preman pasar lah yang ada di balik punggung mereka. Jadi, tidak sepenuhnya preman itu adalah “preman”.

Kemampuan berbahasa saya cukup bagus. Saya menguasai bahasa ibu dan dan bahasa asing yang saat ini hanya bahasa Inggris saja (beberapa kali saya coba belajar bahasa Jepang, namun nampaknya teman saya yang juga sekaligus guru malah kewalahan menjawab pertanyaan bertubi-tubi dari saya). Tetapi karena kecintaan saya pada bahasa ibu, saya sangat jarang berbahasa Inggris. Hanya berbahasa Inggris ketika diajak berbicara bahasa Inggris saja. Selebihnya saya lebih suka menggunakan bahasa Indonesia.

Saya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Oleh karena itu saya sering berusaha untuk ikut kegiatan sosial seperti menjadi relawan kalau sempat.

Saya suka belajar, bukan menghafal. Saya suka tahu hal baru dengan mencari tahu, oleh karena itu saya agak menyukai sains dan hal-hal yang masih asing menurut saya. Belajar seperti di sekolah? Saya justru malas. Itu lebih pantas disebut menghafal demi sebuah nilai semu.

Saya menyukai anak kecil dan orang yang sudah tua. Mereka mempunyai senyum yang sangat spesial. Senyuman hangat yang membuat hati ikut tersenyum karena merasa nyaman, dan jiwa menjadi tenang. Senyum seperti itu hanya dimiliki oleh mereka.

Saya akan mengubah ekspresi saya menjadi sinis ketika ada seseorang yang menjadikan “autis”, “downsyndrome” atau penyakit mental lain sebagai bahan candaan. Itu sama sekali tidak lucu dan tidak sensitif. Banyak artikel tentang ini yang membuat kau malu jika kau suka menjadikan “autis, dll” sebagai candaan. Saya sendiri mempunyai kerabat yang downsyndrome dan autis. Saya melihat betapa hebat perjuangan orang tuanya dalam membesarkan mereka. Betapa mereka sangat sabar dalam menghadapi anak dan omongan tidak sedap dari kenalannya. Saya yang dulu saat masih kecil suka menjadikan “autis, dll” sebagai candaan, menjadi malu sendiri.

Agama saya? Tidak usah lah dipertanyakan Tuhan apa  yang saya sembah dan bagaimana saya menyembahnya. Berbuat baik terhadap sesama dan tidak melakukan hal yang merugikan untuk orang dan diri sendiri toh termasuk salah satu beribadah kepadaNya. Lebih baik ‘kan daripada meneriakan namaNya sambil membakar rumah ibadah, atau meneriakan namaNya selagi mengkafirkan orang lain? Ibadah yang baik itu yang tidak mengganggu orang lain.

Saya tidak begitu idealis. Ide baru yang menurut saya lebih baik akan saya ambil. Bisa dibilang pikiran saya agak terbuka. Tetapi tentunya saya akan sangat menyukainya bila ide baru tersebut saya dapatkan setelah debat yang bagus. Oh, dan saya suka debat, ngomong-ngomong.

Saya bisa dengan aman bilang kalau saya adalah orang yang mempunyai etika bagus. Namun di beberapa lingkungan saya bisa menjadi sebaliknya. Ya, hanya untuk menyesuaikan diri saja.

Saya... saya... hmmm...

Saya rasa tidak bisa semua saya sebutkan semua di sini, akan terlalu panjang dan saya sendiri pun akan malas membacanya.

Oh, saya juga menyukai obrolan ngalor-ngidul yang bagus. Saya bisa terjebak di dalamnya selama berjam-jam. Jadi, siapa saya? Mari kita bicara.

Friday, February 7, 2014

Halte




Malam. Sepi. Seorang pemuda jalan perlahan menuju halte yang terletak di pinggir jalan raya. Rokoknya yang terlihat hanya cukup untuk beberapa kali hisap lagi, dia buang ke tempat sampah yang ada di sebelah bangku halte. Kemudian dia duduk dan memainkan telefon genggamnya.

“seharusnya kau matikan dulu sebelum kau buang, Dik,” suara bersumber dari sebelahnya. Pemuda itu menengok ke kanan dan melihat seorang lelaki berumur sekitar 30an duduk di halte yang sama. “bisa terjadi kebakaran, lho.” Lanjutnya. Dia membalas ucapan lelaki itu dengan senyum dan kemudian kembali ke telfon genggamnya.

Tidak ada siapapun di halte itu. Hanya mereka berdua.
 
5 menit. Mereka tak saling bicara. Dia sibuk dengan telefon genggamnya, dan lelaki itu hanya duduk santai menatap jalanan yang dilewati oleh beberapa mobil yang berlalu-lalang. Hal yang wajar dilihat ketika dua orang yang aling tidak mengenal bertemu. Hening.

“Mau dengar sedikit cerita?” lelaki itu memecah kesunyian. Si pemuda menengok. “Di sebrang jalan ini, di tempat yang sama, di bawah lampu yang sama, dan di waktu yang sama setiap tahunnya, mereka selalu bertemu di sini.” Pemuda itu bergeming mendengarkan.

Terlihat lelaki itu agak tersenyum di dalam tatapan kosongnya ke depan. Tampak jelas di wajahnya kalau dia ingin sekali berbagi cerita itu. “ya tidak sering memang. Mereka hanya bertemu setahun sekali. Tidak seperti kalian yang bila tidak bertemu seminggu saja akan blingsatan seperti cacing kepanasan.” Lelaki itu berhenti sebentar demi menengok si pemuda apakah dia memperhatikan atau tidak. “Yaa, tetapi pertemuan yang jarang dilakukan justru yang lebih berarti daripada yang kerap dilakukan, bukan?” lanjut lelaki itu sambil kembali menatap kosong ke depan.

Pemuda itu mengubah fokusnya ke cerita lelaki itu. Telefon genggam yang sedari tadi ia pegang mulai tidak diacuhkannya. Lelaki itu masih  menatap kosong ke arah sebrang jalan. Mulutnya tertutup, sedang memberi jeda akan cerita yang tiba-tiba ia lontarkan.

“Yang laki-laki saya tidak begitu tahu dengan pasti. Namanya Bram, atau Anton, atau Budi, saya pun tak tahu. Tidak penting. Apakah dia pekerja kantoran, jaga warung, atau pengangguran, sayajuga tak tahu. Sekali lagi: tidak penting.”

Pemuda itu menyenderkan badannya ke belakang dan tetap mendengarkan cerita dari orang asing yang baru ia temui tadi.

“Yang penting adalah si perempuan.” Lanjutnya. “Namanya—ah kali ini biarkanlah saya memakai istilah 'tidak penting' semata-mata karena saya tidak ingin berbagi kenangan akan indahnya nama perempuan ini dengan kamu.” Lelaki itu tersenyum.

“Cukup kamu ketahui saja bahwa kami berasal dari kampung yang sama, bahwa kami memiliki tanggal lahir yang sama—meskipun terpaut 10 tahun—dan bahwa saya cukup mengenalnya dengan akrab. Hehe.” Lelaki itu tertawa kecil. Tawa hangat yang biasa orang keluarkan ketika sedang mengenang sesuatu yang manis.

“Cukup akrab sehingga saya tahu bahwa ia punya tahi lalat yang ia sangat benci di bawah payudara kirinya.” Lanjutnya. “Tahi lalat itu ia anggap kurang sedap dipandang, namun ia takut meminta dokter untuk mengangkat tahi lalat itu karena ia berbakat keloid dan ia khawatir keloid yang akan terjadi bila operasi kecil itu dilaksanakan akan terlihat lebih buruk daripada tahi lalat itu sendiri.”

Si pemuda yang sedang asyik mendengarkan tetiba mengeluarkan raut muka bingung. Lelaki itu yang melihatnya kemudian berkata, “Dari mana saya bisa tahu sedetil itu? Mudah saja: kami menikah. Gaya Sitti Nurbaya. Hehe. Hehehe. Hehehehe.” Jelasnya.

Anggukan kecil diberikan pemuda itu untuk menanggapi lelaki yang kemudian kembali menatap kosong ke depan.

“Dan kami berbahagia. Well, paling tidak salah satu dari kami berbahagia. Hehehe.”

“Sampai si bangsat itu datang dan mencoba merenggutnya dari saya. Dia—tunggu. Tunggu sebentar. Sudah waktunyakah?” ceritanya terpotong. Lelaki itu melihat dua sosok yang ada di sebrang jalan. Pemuda itu pun spontan berganti fokus ke arah di mana lelaki itu memandang.

“Ah, ya. Mereka memang tepat waktu. Prosesnya selalu sama, si perempuan tampak dikagetkan sesuatu yang tiba-tiba muncul di belakang si laki-laki, yang kemudian menoleh, berteriak tanpa suara, lalu menghilang. Kemudian si perempuan tampak bertengkar dengan seseorang, meronta, terbanting, lalu diam dan perlahan menghilang pula.” Ujar lelaki itu yang seperti sedang menarasikan kejadian di sebrang jalan yang persis seperti yang dia utarakan.

“Dan mereka akan muncul lagi tahun depan di tanggal yang sama, tempat yang sama dan waktu yang sama.” Lelaki itu menjelaskan. Pemuda itu masih memperhatikan. Dia melihat berubahnya raut wajah lelaki itu menjadi agak sedih.

“Dan pemandangan yang sama akan tampak lagi di hadapan saya. Sudah empatbelas tahun saya selalu melihat peristiwa itu berulang lagi, lagi dan lagi.” Ucap lelaki itu.

“Entah apa yang memaksa saya untuk kembali lagi ke sini empat belas tahun yang lalu. Entah apa yang membuat saya lantas memilih persembunyian ini untuk mengawasi tempat kedua sejoli keparat itu meregang nyawa. Yang jelas, saat pertama kali saya melihat mereka saya merasakan sakit yang amat sangat di dada ini. Kemudian semuanya gelap. Mungkin ini hukuman bagi saya yang telah menghabisi nyawa mereka limabelas tahun yang lalu?” lelaki itu terdiam sebentar, “Entahlah, yang pasti saya berharap belulang saya ditemukan lebih dahulu dari belulang mereka.”

Lalu, seraya sosok lelaki itu menghilang, lelaki itu berkata, “Saya lelah…” dan kemudian dia menghilang.

Pemuda itu tersenyum kecil. Bukan senyum yang biasa, melainkan senyum simpati setelah mendengarkan cerita tadi.

Lalu, sambil mengeluarkan telefon genggam dari sakunya, pemuda itu berucap, “Makasih ceritanya, Mas. Semoga kau tenang setelah curhat tadi.”







Thanks to J. Faiz. :D