Friday, January 13, 2023

54321

5 bulan lalu dia terombang-ambing. Hilang arah, bingung harus merasa apa, entah. Hidung kirinya tersumbat, membuat nafas yang diambil hanya setengah. Tentu merasa sesak lah.

4 bulan lalu angin lembab di cuaca mendung ia terpa. Dia suka rasanya, karena dia akrab dengan suasananya. Tidak panas, tidak hujan. Di tengah-tengah. Dia hirup dalam-dalam udaranya sampai dia tersadar kalau nafasnya sudah terasa enak pada saat itu, bahkan mungkin lebih lega.

3 minggu lalu tawanya masih menggelegar seakan tidak ada masalah apa pun di hidupnya. Tentu itu hanya caranya menyembunyikan beban yang sebenarnya ada. Dia rasa tak apalah sesekali saja, tapi "sesekali"-nya itu sudah tak terhitung dan menggunung. Ketika sadar, kembali dia membatin "ya sudahlah. Sesekali saja." memang kebiasaan buruk tampaknya.

2 kali dia rasa harus bergegas agar lepas padahal. Dua kali pula dia mendeklarasikannya. Tapi lepas bagaimana dia pun tak tahu. Kebiasaan buruk, pola yang buruk, tampaknya sudah menjadi candu karena terbiasa. Sampai pada akhirnya...

1 jam lalu dia mendapatkan pemicunya. Pecutan keras untuknya berpikir keras kalau memang dia harus lepas agar bebas. Hal yang mendorongnya untuk melakukan kebaikan untuk dirinya, tapi dia sendiri tidak bangga dengannya. Pagi buta adalah saat yang membuatnya bergidik. Bimbang bukan kepalang. Tidak bisa tertidur padahal sebelumnya mata sudah mengajaknya untuk melindur. Perlahan hitam pekat di luar jendela berubah menjadi hitam terang. Dia takut akan pagi, tapi mentari sudah siap masuk dalam hitungan detik. Seraya cahaya matahari menyala, dia kembali membatin, "ya sudahlah..." dan...

5... 4... 3... 2... 1.

Selesai.

Tuesday, January 3, 2023

Mo(m)nolog

Baru saja ada seseorang yang jauh di sana meminta gue mengirimkan voice note berisi gue membaca tulisan gue yang ini untuk dijadikannya pengantar tidur. Tiba-tiba gue teringat beberapa hari lalu ketika ibu gue ulang tahun.

Selamat ulang tahun, Ma!

Pada hari ulang tahunnya yang jatuh di tanggal 27 Desember kemarin, gue menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Ritual tahunan yang akhirnya bisa gue lakukan beberapa tahun belakangan, karena gue sudah tidak lagi di Jogja terhitung semenjak 2020.

Di kunjungan ulang tahun yang ketiga ini sedikit berbeda, gue bercerita banyak hal kepada dirinya. Berbincang satu arah di depan makamnya. Makam kecil yang ditandai dengan batu marmer sederhana di pemakaman daerah Jakarta.

Gue selalu menganggap kalau berbicara kepada makam layaknya film drama itu adalah hal yang konyol. Biasanya di film-film hal itu dilakukan oleh karakter utamanya untuk memberikan efek dramatis, atau hanya sekadar untuk memberitahu penonton kalau ada sesuatu yang sudah, sedang, atau akan terjadi di film tersebut. Konyol sekali pokoknya! Namun, setelah melakukannya sendiri, ternyata tidak sekonyol itu.

Apa yang membuat gue melakukan itu? Ya alasannya sama dengan alasan kenapa gue melakukan banyak hal: karena ingin saja. Gue rasa pada saat itu gue hanya sedang ingin bercerita tentang banyak hal di kehidupan gue tanpa ada umpan balik. Cuman ingin didengarkan.

Gue bercerita tentang bagaimana kehidupan gue sekarang, kabar keluarga, pertemanan baru gue, masalah asmara, dan hal lainnya. Juga tidak lupa gue meminta maaf kalau gue sekarang mungkin tidak akan membuat dirinya bangga andai saja dia masih hidup, haha.

Gue juga bercerita bagaimana gue sering berandai-andai bagaimana jadinya hidup gue kalau misalnya dia tidak pergi secepat itu. Karena jujur saja hidup yang gue jalani dari dulu tak ada arahan dari orang tua, dan gue tahu bahwa dia adalah orang yang mampu mengarahkan anaknya, memberikan saran dan arahan dengan bijak karena dia adalah orang yang bijak... Setidaknya itu apa yang orang-orang katakan.

Gue banyak bicara di makam, tetapi juga banyak terdiamnya. Bukan merenung atau apa, hanya bengong menikmati kesendirian bersama dirinya. Berkhayal kalau dia ada di samping gue ketika gue bercerita, dan memeluk gue sambil berkata "semua akan baik-baik saja, Zi. Kamu kan anaknya mama.", tentunya khayalan tetaplah menjadi khayalan, haha. Jadinya gue hanya bisa membayangkan kalau angin sepoi-sepoi yang berhembus saat itu adalah pelukannya, karena rasanya nyaman.

Tanggal 27 Desember kemarin cukup lama gue duduk di samping makamnya. Duduk bercerita diselingi bengong sambil merokok, lalu tanpa terasa sudah 4 batang rokok gue habiskan dan waktu memberitahu kalau gue sudah di sana sejam lebih. 

Gue membersihkan sedikit dedaunan dan bunga kering di makamnya, kemudian menebar kembang baru di atasnya, lalu menyiraminya dengan air mawar, setelah itu gue pamit untuk pulang. Seperjalanan pulang, entah kenapa gue merasa hati ini agak ringan. "Ini yang orang rasakan ketika pergi terapi kali ya?" pikir gue, hahaha.

Sekali lagi selamat ulang tahun, Ma! 

Terima kasih sudah mendengarkan...