Tuesday, April 29, 2014

...

Seorang lelaki terdiam di kamarnya. Ini jam setengah 3 pagi di hari Selasa, jadi dia tahu kalau dia akan kacau kalau tidak segera tidur. Tapi ya mau gimana lagi? Dia belum mengantuk, karena sebelumnya sibuk mengobrol omong kosong berjam-jam dengan teman asingnya di Sri Lanka sana.

Dia sekarang sudah tidak bersama laptopnya. Dia berbaring di atas tempat tidur sambil menatap langit-langit. Masih tidak bisa tidur. Di sebelahnya ada meja yang menyajikan beberapa buku. Dia berpikiran untuk membaca agar bisa cepat tertidur, namun buku Life of Pi, Oksimoron, dan BaM sudah berkali-kali ia tamatkan.

"Ah, sial!" gerutunya lalu dia menyalakan laptopnya kembali. Dia membuka Facebook dan menemukan tidak ada yang online. Dia membuka Twitter dan melihat beberapa ocehan yang lucu membuat dia gatal untuk membalasnya, namun tidak bisa karena ada beberapa hal yang membuat dia tidak bisa bicara di Twitter untuk beberapa waktu. Lalu akhirnya dia membuka halaman milik beberapa orang kenalannya, khususnya orang-orang yang dia suka.

Dia membaca apa saja yang mereka pos bahkan sampai yang sudah dipos tahun lalu. Dia tersenyum melihat bagaimana  dia sangat hebat dalam membaca orang dan juga karena dia melihat bagaimana seseorang bisa diketahui kepribadiannya hanya dari apa yang mereka tulis. Dia baru sadar kalau dia sangat peka. Ada yang lucu, ada yang beraura negatif, ada yang masih bersikap kekanak-kanakan, dan lainnya. Namun senyumnya tambah lebar lagi, ketika sadar kalau orang yang dia suka ternyata pintar semua.

Dia jadi makin yakin kalau apa yang membuat dia tertarik kepada seseorang bukanlah keindahan fisik, melainkan kepribadian dan kepintaran orang tersebut. Kalau dipikir-pikir, sebelum-sebelumnya juga dia tidak mempunyai catatan suka kepada orang yang hanya cantik fisik saja sih. Dia jadi teringat temannya yang pernah dia suka dulu. Orang yang tidak cantik dan tidak feminim, namun pintar. Tapi tetap saja dia gagal mendekatinya. Dia tertawa atas sifat pecundangnya.

Jam 3 lewat. Dia masih terjaga. Laptopnya masih menyala, namun tak ia gunakan. Dia melamun memikirkan bagaimana uniknya orang-orang. Dia teringat suatu kalimat yang berkata kalau setiap jiwa itu mempunyai warna. "Ada orang yang mempunyai warna terang, ada yang gelap, ada yang berwarna-warni, dan ketika kau menemukan orang yang berwarna-warni, hidupmu tak lagi sama."

Dia masih melamun memberi warna kepada beberapa orang yang dia kenal. Kemudian berhenti ketika dia hendak memberi warna kepada dirinya sendiri. Dia tidak yakin mau memberikan dirinya warna-warni. Atau lebih tepatnya tidak berani. Itu pendapat subyektif yang hanya bisa diberikan orang, siapa dia berani mengadili dirinya sendiri? Kemudian dia tertawa lagi karena ketololannya. Kok ya ada orang yang bimbang karena omong kosong yang diada-ada sendiri? Begitu pikirnya.

"Tak apa deh bimbang oleh pemikiran yang dikarang sendiri sekali-kali, asal jangan terlalu sering, bisa bego nanti." pikirnya lagi kemudian dia hendak mematikan laptopnya. Tetapi tidak jadi, karena tiba-tiba dia teringat akan halamannya sendiri yang belum diisi beberapa waktu ini. Halaman yang dia punya sebenarnya adalah halaman humor, tetapi sudah lama sekali tidak ada humor-humornya.

Dan untuk sekali lagi dia tidak memasukkan humor ke dalam halamannya, karena ia lebih memilih untuk menulis apa yang barusan ia alami, yaitu tentang bagaimana dia mengobservasi orang dan dirinya sendiri. "Biar orang lah yang memberi pendapat warna apa gue ini..." pikirnya, seraya menulis di halamannya sendiri. Dan yang dia tulis adalah:

"Seorang lelaki terdiam di kamarnya. Ini jam setengah 3 pagi di hari Selasa, jadi dia tahu kalau dia akan kacau kalau tidak segera tidur. Tapi ya mau gimana lagi? Dia belum mengantuk, karena sebelumnya sibuk mengobrol omong kosong berjam-jam dengan..."

Friday, April 25, 2014

Komik Strip: Teman Lama

Haduh, sudah lama banget gue nggak post komik di sini.

Tapi gue punya alasan kenapa gue nggak post komik lagi. Bahkan gue punya 5 alasan. Dan alasan gue sudah nggak post komik strip lagi adalah:

1. Gue males cari gambarnya.
2. Gue males cari idenya.
3. Gue males bikinnya.
4. Gue males jadi manusia.
5. Semua materi dan beberapa hasil sudah jadi ada di komputer gue, tapi komputer gue rusak 2 tahun lalu.

Oke, sebenarnya itu cuman 2. Bahkan rasa malas tidak pantas dibilang sebagai alasan, jadi bisa dibilang alasannya cuman 1. Tapi bodo amat.

Sebagai permintaan maaf kepada diri sendiri karena banyak berkelit, gue akan (usahakan) bikin komik strip lagi. Nih yang baru.



Klik gambar untuk memperbesar

Sunday, April 20, 2014

Ngegembel di Jogja #2: Nafasmu Membunuhku

Hari keberangkatan pun tiba. Gue pergi ke Jogja hanya dengan membawa beberapa barang di dalam tas gue. Tasnya pun bukan tas ransel resmi seorang backpacker, melainkan tas ransel pelajar, jadi otomatis barang yang gue bawa tidak banyak. Gue hanya membawa 2 kaos polos, 2 flannel, 2 kemeja, 2 jeans, dan 1 blazer. Sedikit? Tunggu dulu, itu baru pakaiannya, barang-barang lainnya adalah: 1 notebook, 1 buku sketsa dan perangkat alat tulis, 3 buku (Life of Pi, 1 komik Kungfu Komang, dan Bertanya atau Mati), parfum, sikat gigi, dan sebuah ukulele. Kalau ditanya berat atau tidak, sudah pasti sangat berat. Tadinya mau bawa barbel 6 kilo sekalian, supaya bisa olahraga pas di sana, tetapi tidak jadi karena itu ide tolol. Dan dengan membawa semua barang itu gue pun berangkat ke Jogja.

Gue ke Jogja tanggal 25 Februari kemarin menggunakan kereta malam di jam 10. “Kalau berangkatnya malem, bisa sekalian tidur, jadi perjalanannya gak berasa.” Kata Aziz, adik tiri gue. Sayangnya, dia lupa menambahkan “... kalau penumpang di sebelah tidurnya tidak menganga dan nafasnya bau.” Karena kalau penumpang di sebelah gue demikian, ya perjalanan justru akan terasa sangat lama. Dan dari perbandingan 1:1000000, gue cukup beruntung untuk menjadi “1”-nya itu.

Bangku kereta itu ada dua jenis, yang bisa diduduki 4 orang dan yang bisa diduduki 6 orang. Gue kebagian duduk di bangku yang bisa ditempati 4 orang (2 bangku berhadapan) dengan kode D, artinya gue tidak duduk di dekat jendela. Di depan gue ada seorang mas-mas, di sebelah mas-mas tadi ada seorang mahasiswi, dan di sebelah gue ada seorang bapak-bapak. “Ah, semua kayaknya normal. Bakal lancar nih.” Pikir gue, sebelum akhirnya bapak-bapak sebelah gue mulai ngomong, “Dek, mau apa di Jogja? Kok bawa gitar?” dan gue reflek mendengus.

Dari semua aroma di muka bumi yang gue sukai, percayalah, bau jigong tidak termasuk di dalamnya. Oleh karena itu gue langsung reflek mendengus. Tidak sopan memang, tapi tubuh gue mempunyai reflek untuk mempertahankan diri seperti binatang kalau nyawanya terancam, seperti mendengus tadi supaya aroma naganya tidak masuk terlalu jauh ke otak gue. Akhirnya pertanyaan bapak-bapak tadi gue jawab seperlunya saja untuk mencegah adanya pembicaraan panjang di antara kami. Karena gue masih mau hidup lebih lama. Nggak lucu kalau gue di kereta mati karena keracunan gas metan.

Beberapa jam berlalu, penumpang di gerbong gue hampir semuanya sudah tidur, termasuk bapak-bapak di sebelah gue. Kok gue bisa tahu kalau dia tidur? Padahal gue nggak menengok lho. Ya karena apa lagi? Haha. Dan nampaknya bau mulutnya hanya lari ke gue, karena gue lihat orang-orang di depan gue nggak merasa terganggu bahkan sudah nyenyak tidur. Gue jadi teringat masa lalu ketika teman gue yang bernama Fany bilang kalau bau-bauan aneh pasti selalu menghampiri gue.”Tapi tunggu! Kenapa gue jadi inget jaman dulu? Jangan-jangan ini yang orang bilang kalau sebelum mati, seseorang akan mengalami flashback ingatannya.” Pikir gue sambil panik. Jangan-jangan kedua orang di depan gue itu sebenarnya bukan tidur nyaman, mereka juga mencium bau naga itu, namun mereka tidak kuat dan sudah mati. Bagaimana kalau semua orang di gerbong yang sebenarnya tidur itu juga menciumnya namun sudah mati? Otak gue membayangkan kalau gerbong itu seperti ruangan eksekusi pidana mati dengan gas beracun.

Lagi-lagi merasa terancam, gue pindah ke luar gerbong. Gue melihat ada beberapa orang di luar gerbong, bahkan ada yang tidur juga. “Kok bisa-bisanya ya tidur di luar gerbong, padahal sudah ada bangku di dalam?” pikir gue, lalu gue duduk dan ketiduran. Ternyata cukup nyaman juga! Walaupun agak bau pesing karena dekat dengan toilet, setidaknya itu lebih wangi daripada di dalam. Selain itu gue bisa melihat keluar jendela, tetapi sangat gelap di luar sana dan akhirnya gue memutuskan tidur di luar gerbong yang cukup nyaman itu.

Pagi tiba, rupanya masih belum sampai karena sempat berhenti lama pada malam (atau pagi) harinya. Gue mendarat di stasiun Lempuyangan sekitar jam 9 (seharusnya jam 7). Ketika gue kembali ke tempat duduk gue, bapak-bapak tadi sudah tidak ada. Mungkin sudah turun di stasiun sebelumnya. Dan mas-mas beserta mahasiswi tadi juga tampaknya masih hidup, berarti memang tidak separah itu gas beracunnya.

Gue bersiap mengambil tas dan ukulele,  berjalanan keluar gerbong, dan berdiri sambil menengok jendela kayak adegan-adegan film Indonesia, bedanya gue nggak senyum-senyum dan ngomong sendiri di kepala saat angin menghantam muka gue.

Dan akhirnya sampai di stasiun Lempuyangan. Gue turun,menghirup udara Jogja pertama kali setelah 15 tahun lebih (terakhir kali sebelum gue TK bersama alm. ibu gue), dan ternyata tidak ada bedanya dengan Bekasi karena masih satu negara. Gue mengambil langkah kecil keluar stasiun, dan begitu sudah diluar stasiun gue berpikir, “now what?

Bersambung...

Saturday, April 12, 2014

Tips: Mempelajari Tekhnik Scream 101

Kemarin gue dan salah satu teman gue terjebak di sebuah pembicaraan tentang vokal metal. Dan kalau membicarakan tentang vokal metal, tentunya hal paling dekat yang bisa diasosiasikan adalah nyanyian teriak atau yang biasa orang-orang bilang scream.

Lha, salah gambar...

Nggak perlu waktu lama untuk gue sadar ke mana teman gue mau mengarahkan pembicaraannya. Kami berbicara tentang cara scream dan bagaimana bunyinya, lalu dia bertanya, “Lu masuk band temen gue aja, Ji! Masih baru sih, tapi udah punya lagu.” Sudah gue duga.

Gue dulu adalah vokalis band metal. Lucunya, gue adalah vokalis freelance. Jadi gue nggak terikat sama suatu band, tetapi gue sering dipanggil untuk mengisi posisi vokalis. Gue “disewa” untuk latihan mereka, atau misal ada konser di tempat lain sebagai pembantu atau pengganti. Dan gue melakukan itu semua dengan sukarela. Jadi kalau dibayar ya syukur, nggak ya juga oke.

Kalau tidak salah band yang sempat gue temani ada sekitar 4 band. 2 di antaranya adalah band teman gue, dan sisanya adalah band dari temannya teman gue. Sempat gue ditawari jadi personil tetap, tapi gue menolaknya karena beberapa alasan.

Seperti dulu saat di studio musik teman gue ada sebuah band yang inisialnya FTV. Setelah mereka selesai dan mau pulang, gue masuk untuk cek mik dengan teriak-teriak. Mereka mendengarnya dan salah satu personilnya masuk ke dalam lagi untuk menawarkan gue menjadi vokalis baru mereka. Dengan rendah hati gue tolak, alasannya karena musik mereka punya lirik yang jelek (tapi mereka sekarang terakhir gue cek sudah punya ribuan fans di Facebook). Dan saat kemarin teman gue menawarkan untuk jadi vokalis band temannya, gue juga menolaknya karena nama bandnya aneh. Haha.

Bebas kalian mau bilang gue terlalu sombong atau apalah, tapi alasan gue nggak pernah bikin/masuk sebuah band karena standar gue tentang band yang mau gue gawangi tinggi. Tentu supaya bisa dibanggakan. Kalau nama bandnya sendiri saja sudah aneh karena bahasa Inggris yang maksa atau liriknya terlalu “band Indonesia”, mending nggak usah. Malah malu nanti.

Teman  : Wih! Gue denger lu jadi vokalis band metal yang terkenal ya? Nama bandnya apa?
Gue       : ah, nggak usah tau deh mendingan. Malu gue. Hehe.
Teman  : ayolah, orang band terkenal kok malu-malu. Emangnya namanya apaan? Kali aja gue pernah denger.
Gue       : The Red Dahlia Twenty Nine My Age.
Teman  : o.... kay...

Oke, mari kembali ke judul. Seperti yang judul bilang, tulisan ini akan memberi tahu sedikit tips dasar untuk nyanyi teriak.

"Biji gue sakit celananya terlalu ketaaaat, gyaaaaaargh!"

Sebelumnya ada 2 teknik teriakan yang gue tahu: Inhale Scream dan Exhale Scream.

Sesuai namanya, inhale adalah yang ditarik (nafasnya) dan exhale adalah yang dikeluarkan. Masing-masing punya penggemarnya tersendiri. Gue sendiri bisa keduanya. Gue pakai inhale scream saat jaman gue masih SMA sampai lulus SMA. Terdengar bagus dan brutal memang tipe teriakan ini. Untuk growl, pig squeal terdengar halus dengan teriakan tipe ini. Dan biasanya tipe ini adalah teknik pertama yang vokalis band metal bisa, karena memang sangat mudah.

Cara melakukan inhale scream adalah dengan menarik udara lewat mulut lalu diproses di tenggorokan. Pernah menirukan suara mendengkur? Kurang lebih seperti itu, tetapi tidak melibatkan hidung di dalamnya. Jadi suara yang dihasilkan adalah melalui kerja sama udara yang ditarik lewat mulut, diproses di tenggorokan, lalu berakhir di dada. Untuk pengaturan suara tinggi-rendahnya bisa diatur lebar mulut yang dibuka dan udara yang ditarik. Dan untuk pig squeal-nya tinggal bagaimana kalian memainkan tenggorokan. Simpel dan mudah. 

Untuk beberapa tahun gue memakai jenis teriakan ini, dan gue sempat bangga bisa teriak selama 26 detik pakai satu nafas dengan tipe ini. Namun lama-lama gue sadar kalau jenis inhale scream ini tidak begitu sadis, dan beberapa vokalis metal di luar sana malah bilang kalau ini berbahaya. “Jangan teriak dengan cara ditarik, itu bakal nyakitin diri lu sendiri.” Kata Ed Hermida, vokalis All Shall Perish yang sekarang sudah menjadi vokalis Suicide Silence, saat gue tanya apakah dia pakai exhale atau inhale. Maksud dia “nyakitin diri lu sendiri” adalah inhale scream itu katanya nggak baik untuk suara atau tenggorokan. Banyak orang di YouTube yang bilang begitu. Walaupun gue agak nggak percaya tapi akhirnya gue meninggalkan cara itu dan gue belajar teknik exhale scream.

Banyak vokalis metal Indonesia amatir yang mengeluh kalau exhaling itu susah, oleh karena itu banyak yang tetap pakai inhale scream. Dan akhirnya mereka terdengar seperti sampah, karena terdengar maksa dan tidak nyaring. Gue pun awalnya mengalami kesusahan belajar teknik exhale scream ini. Gue belajar berbulan-bulan lewat tutorial yang disediakan YouTube. Sampai akhirnya gue menemukan tutorial yang benar-benar membantu yang dibuat oleh Edward James Belk.

Tutorial-nya menurut gue sangat membantu, dan orangnya juga sangat ramah. Dia bersedia gue tanya-tanya lewat Facebook dan dengan senang hati menjelaskannya walaupun gue tidak add dia sebagai teman. Dan akhirnya, gue menguasai teknik ini.

Teknik exhale scream ini jauuuuh lebih sadis ketimbang teknik inhale dalam semua bidang. Suara lebih nyaring dan terdengar lebih bagus. Lebih gampang, dan dapat dikombinasikan dengan nyanyian biasa (ketika nyanyi dengan suara asli, bisa disambung dengan teriakan. Teknik inhaling jelas nggak bisa ini). Dan rahasia dari jenis teriakan ini adalah nafas dari perut.

Ya, pada dasarnya nafas dari perut adalah kunci dari teriakan jenis ini. Exhale scream adalah kerja sama antara tenggorokan, dan perut. Jadi suara yang dihasilkan berasal dari tenggorokan, lalu dibantu nafas dari perut. Ingat, dari perut! Bukan nafas dari paru-paru. Kalau memakai nafas paru-paru, suara yang dihasilkan malah seperti orang tercekik. Gampangnya begini, kalian coba tirukan suara monster yang biasa kalian keluarkan ketika menggoda anak kecil, lalu suara monster itu dibantu dengan hembusan nafas dari perut yang dikeluarkan lewat mulut. Atau teriak ketakutan tetapi dibantu udara dari perut. Itu saja mungkin sudah membantu. Untuk tinggi-rendahnya suara, kalian bisa mengatur lebar mulut dan kekuatan nafas kalian. Cara exhale scream sendiri bisa terbagi lagi, tapi coba dulu untuk mengolah suara seperti tadi untuk pengalaman pertama. Hehe.

Tiap orang memiliki karakter teriak yang berbeda. Gue sendiri awalnya punya karakter teriak yang sama dengan Oliver Sykes di 2 album awal BMTH, dan vokalis Alesana. Bisa dibilang karakter teriakan gue standar. Agak sedih memang, karena gue sangat ingin punya karakter teriak seperti Mitch Lucker atau Ed Hermida tadi. Tapi ternyata susah. Dan lebih susah lagi itu teriakan band Jepang. Gue sempat berlatih mencari celah bagaimana untuk bisa teriak seperti Ruki (vokalis The Gazette), tapi tidak bisa dimiripkan, hanya mendekati. Ya, sekali lagi, karakter teriakan orang berbeda-beda.

Dan jika kalian mengalami sakit di tenggorokan setelah mencoba exhaling, berarti kalian masih salah. Ada yang minum dulu sebelum teriak, dengan tujuan mengurangi rasa sakit atau supaya lebih bagus suaranya. Ya, menurut gue itu nggak begitu berpengaruh sih. Ada juga yang bilang kalau mau terdengar bagus, teriaknya sambil mendongak ke atas. Sekali lagi, itu nggak berpengaruh. Konyol iya. Kan nggak lucu kalau habis konser atau latihan lehernya mesti diurut karena salah urat. :p

Mungkin itu saja yang bisa gue kasih tahu. Sebenarnya masih banyak yang mau ditulis, cuman ya akan sangat panjang dan konsentrasi membaca kalian untuk sebuah artikel tidaklah lama, takutnya malah tidak terbaca.

Mau pakai teknik inhale scream atau exhale scream itu terserah kalian. Gue pribadi sekarang lebih menyukai exhale scream. Bahkan sekarang band metal yang memakai teknik inhale scream adalah band cupu di mata gue, alias jelek (dulu gue suka Chelsea Grin, tapi tidak lagi setelah gue bisa exhale scream). Sekali lagi, bebas kalian mau pakai yang mana. Gue? Gue sih sekarang lebih suka bernyanyi jazz ketimbang metal. Jadi nggak perlu repot mengajak gue masuk band metal kalian. Kecuali nama bandnya masuk akal dan tidak seperti The Red Dahlia Twenty Nine My Age. :p

Wednesday, April 9, 2014

Roman Semu

Saat itu malam sangat cerah. Tak berawan, sehingga sinar bulan terasa sangat terang menyinari matanya. Tunggu, apa sebaliknya? Matanya yang menyinari rembulan. Ah, aku sudah lupa akan detail macam itu. Yang kuingat pada malam itu hanya hal-hal yang "wah" saja.

Hal-hal "wah" apa yang kumaksud kata kamu? Tentu saja hal-hal yang membuat otakku malas untuk melupakannya. Seperti bagaimana wajahnya bersinar terang. Lalu ditambahkan senyuman kecil yang membuat jantungku berdegup sangat kencang. Kecil memang senyumnya saat itu, namun tidak jarang sesuatu yang kecil mempunyai efek yang luar biasa.

Dan juga rambutnya yang saat itu terlihat bergelombang. Sedikit tidak teratur sih, dan itu membuatnya tak indah. Namun rasa kagumku membuatnya memiliki rambut terindah yang pernah kulihat.

Lalu kulitnya yang halus. Sentuhan kecilnya membuat tubuhku bergidik sedikit, namun getaran luar biasa terjadi di organ lain. Organ lain itu tentu bukan kemaluanku, melainkan jantungku, yang terpaksa melakukan kerja lebih keras dua kali lipat pada malam itu.

Lalu satu lagi hal "wah" yang kuingat, suaranya saat mengucapkan "I love you". Begitu pelan, namun begitu nyaring. Bingung? Aku pun demikian. Aku tidak mengerti apa maksud dari kalimat tadi, namun itulah yang kurasa saat itu.

Kutatap matanya dalam-dalam, dan aku tenggelam di pupilnya. Aku tenggelam di dalam tatapannya. Dan kubalas perlahan di telinganya dengan nada mengejek, "Gak usah sok Inggris. Ngomong-ngomong, aku juga cinta kamu kok."

Aku tertawa  kecil, sedangkan dia cemberut sambil memukul gemas diriku. Haha! Kejadian yang aneh, tetapi pantas, wong aku pun aneh. Heheh.

Kutatap lagi dirinya... Ah bangsat! Malam itu bekerja sama dengan dirinya. Membuat dia sangat terlihat cantik. Dia berkonspirasi dengan malam.

Lalu dia menatap balik diriku. Mata kami bertemu, mereka saling berbicara. Tatapannya mengatakan, "aku sangat lapar akan bibirmu."

Waktu hanya salah satu faktor untuk kepalaku bergerak dengan sendirinya. Dia tak menghentikan, justru bekerjasama.

Dan akhirnya...

... kami berciuman.

Waktu serasa berhenti. Aku pun berharap untuk sang waktu berhenti. Tidak perlu sebentar, lama saja! Agar aku bisa menikmati saat di mana diriku merasakan indahnya alam semesta melalui bibirnya sampai aku bosan.

Tanganku kulingkarkan ke tubuhnya. Lalu kusadar... bahwa aku hanya merangkul udara.

Lho...?

Ada apa?

Mana dia?

Ah, tidak perlu waktu lama sampai aku mengetahui sesuatu. Rupanya otakku mengerjai diriku.

Tidak ada Melody bersama diriku saat itu. Aku sendiri... berhalusinasi.

Kecewa? Iya.

Yaaa, mungkin itu suatu pertanda kalau aku mesti berhenti menjadi wota dan cari pacar.

Hehehe.




P.S: Cerita fiksi ini nggak bermaksud menghina kalangan tertentu lho. :p

Wednesday, April 2, 2014

Ngegembel di Jogja #1

Sekitar sebulan lalu gue ke Jogja, kota yang aura seninya sangat kuat, kota di mana orang-orangnya super ramah, kota dengan bahasa dan logat yang seksi, dan kota di mana semua jajanan hampir lebih murah daripada di Jakarta walaupun gue agak kecewa harga pulsa di sana sama saja.

Gue ke Jogja untuk backpacking... ya mungkin lebih rendah derajatnya daripada seorang backpacker sih, cocoknya dibilang ngegembel. Ya, ngegembel. Dan rencana untuk ngegembel ini sudah ada jauh berbulan-bulan sebelumnya. Destinasi awal gue untuk ngegembel sebenarnya adalah Bali, tetapi teman gue bilang ke gue kalau misalnya kita bermalam di jalan raya Bali, polisi akan menangkap kita. Itu sudah cukup alasan bagi gue untuk memikirkan ulang rencana ngegembel gue ke Bali. Selain itu, terakhir gue ke Bali, harga untuk hidup di sana nggak jauh beda dari Jakarta, bahkan lebih mahal. Oleh karena itu, gue pilih Jogja saja untuk permulaan ngegembel ini.

Kenapa gue bilang ngegembel? Karena gue sudah berniat dari awal untuk menjalani kehidupan kayak gembel di sana paling tidak sehari saja. Tidak menginap di hotel, tidak menyewa kendaraan, pokoknya biaya yang gue keluarkan di sana hanya untuk konsumsi saja. Bahkan gue bawa sebuah ukulele bersama gue untuk gue mainkan kalau gue bosan atau untuk mengamen.

Mendengar penjelasan gue tentang ngegembel itu, beberapa teman gue tertawa dan beberapa juga mau ikut gue (tapi akhirnya ya hanya gue sendiri saja yang pergi). "Cuman elo, Mar, yang ngegembel aja direncanain. Haha!" kata seorang teman. Iya juga sih, kayaknya cuman gue yang begitu. Tapi bisa saja tidak. Mungkin saja gembel di pinggir jalan itu sebenarnya juga direncanain.

Gembel: Mas, minta uangnya, Mas.
Gue: Nih, Pak. *kasih  lembaran dua ribu* Nanya dong, Pak. Bapak jadi gembel kayak gini direncanain nggak sih? Maksudnya bapak emang punya niat ngegembel gini.
Gembel: Lho, mas kok tau? Iya, saya emang jadi gembel berencana. Pekerjaan saya sebelumnya sih ahli fisika di Portugal.

Gue rencananya mau berangkat ke Jogja tanggal 24 Februari di hari Senin. Dan tentunya sebagai orang yang penuh rencana, gue membeli tiket berangkat ke Jogja pastinya jauuuuuuuuh sebelum hari H. Ya, gue ke stasiun untuk membeli tiket adalah sehari sebelumnya.

Minggu tanggal 23 itu bertepatan dengan festival Jepang yang mau gue datangi bersama teman gue Isabella. Dan paginya gue latihan bersama Parkour Bekasi di GOR Bekasi sampai siang. Jadinya ke festival Jepang itu dari siang ke sore. Artinya gue nggak bisa memesan tiket pas pagi hari atau siangnya. Dan benar saja, tiket untuk tanggal 24 sudah habis. Dan cukup membuat gue heran, emang segitu banyaknya ya orang mau ke Jogja? Akhirnya gue membeli tiket berangkat di tanggal 25 Februari hari Selasa.

Setelah tiket gue pegang, gue agak kurang yakin dengan niat gue sebelumnya. Konflik batin pun terjadi di dalam benak gue. Pertanyaan-pertanyaan diri sendiri kayak tokoh sinetron juga gue alami. "Apa gue bisa?", "Buat apa sih beginian?", "Bukannya enakan di rumah aja bareng temen-temen?" atau "Konflik batin itu apa sih?". Tapi masa bodo lah! Jadi muda itu cuman sekali, sayang banget kalau nggak ngelakuin hal-hal aneh untuk bisa diceritakan ke anak cucu kelak. Hajar teruuuuuuuusss! Tunggu aku, Jogjaaaa!

Bersambung...