Thursday, May 23, 2013

Lucu Itu Relatif

Udah lama banget blog ini nggak diisi dengan tulisan (yang diusahakan) lucu. Tulisan semacam itu terakhir kali mungkin yang gue tulis tahun lalu yang berjudul Ganti Provider Bikin Keder. Gue rasa sih ada banyak faktor yang menyebabkan gue nggak bisa (berusaha) menulis lucu lagi. Entah karena gue makin sibuk sama kegiatan sehari-hari gue, entah karena lingkungan, entah karena kompor di dapur dipindahin dekat kulkas makanya fengshui-nya jadi jelek. Entah.

Sebenarnya untuk membuat suatu hal menjadi lucu itu tidaklah gampang. Karena setiap orang mempunyai perspektif sendiri terhadap apa yang mereka anggap lucu. Orang-orang mempunyai selera humor yang berbeda. Itu disebabkan oleh apa yang orang-orang terima (lihat atau dengar) dari lingkungannya. Itulah yang membuat 'lucu' menjadi tidak universal.

Gue punya teman dari berbagai kalangan. Kalangan atas sampai kalangan bawah. Orang kota sampai orang daerah. Dan jika dibandingkan, apa yang mereka anggap lucu itu mempunyai perbedaan yang sangat jelas. Bisa saja lelucon yang kita anggap "basi" malah terdengar sangat lucu di telinga teman kita yang dari daerah berbeda. Dan sebaliknya, yang kita anggap lucu malah terdengar garing di telinganya. 

Gue: Dosen gue baru potong rambut kemarin. Sekarang kepalanya botak, kayak deodoran.
Dia: Hahahahaahaha! Deodoran! Hahahahaha!
Gue: Respon lo berlebihan, man. Oh iya, dia juga tadi kasih tes tiba-tiba, gue belom belajar pula. Kepala gue berasep tadi ngerjainnya.
Dia: Jiahahahahahaha! Saking kebanyakan mikir ye, jadi berasep! Hahahahahahahahahahahaha!
Gue: Ooo... keee... emangnya itu lucu?
Dia: Hahahahahahahahahahaha! Lucu banget kali!
Gue: ...

Ada juga yang suka lelucon semacam "Aaaah, dasar ujung knalpot!", "Yeeee, gedebong pisang!", atau "Yeee, pinggiran jamban!". Nah gue termasuk orang yang tidak menyukai lelucon seperti itu. Tetapi banyak orang yang gue kenal masih memakai lelucon ini. 

Pasti kalian pernah lah mendengar lelucon yang bertujuan merendahkan lawan bicara dengan mencocok-cocokan lawan bicara dengan hal yang yang tidak rasional ini. Dan menurut gue itu sama sekali nggak efektif. Maksud gue... ayolah, tujuan mengejek itu kan untuk membuat orang sakit hati. Tetapi kalau diejek seperti itu apa sakit hatinyaaaa? Maksudnya, apa lu bakal sakit hati begitu lu disamakan dengan gedebong pisang? Gedebong pisang kan berguna menyimpan air supaya buah pisang bisa tumbuh dan dimakan oleh manusia, dan bisa juga dijadikan rakit gedebongnya. See? Itu berguna! Lu dibilang kalau elu itu berguna apa bakal sakit hati? Selain itu kita itu manusia, bila disamakan dengan benda mati ya jelas kita nggak seharusnya marah, malah berduka atas otak si pengejek yang intelegensianya ketinggalan 20 tahun dari manusia normal. Gue justru bakal lebih sakit hati misalnya disamakan dengan orang yang melontarkan ejekan seperti itu. 

Dia Yeeee, sendal jepit!
Gue: *mengerutkan dahi* ha? Coba yang lebih baik lagi.
Dia: Dasar botol kecap!
Gue: Segitu aja?
Dia: Yeeee, gue!
Gue: Ha?! Apa lu bilang?! Lu bilang kalau gue itu elo?! MATI LOOO!!!

Biasanya sih gue cukup membalas dengan senyum sedikit saja untuk menghargai usaha mereka untuk membuat hal lucu. Tetapi dalam hati gue teriak dengan lepas "ANJIR JAYUS AMAT!". 

Ya memang, untuk membuat hal lucu untuk membuat semua orang tertawa itu tidak mudah, dikarenakan apa yang orang anggap lucu itu relatif beda. Gue sendiri sering mendapat apreasiasi dan penolakan terhadap lelucon yang gue utarakan. Tetapi... tunggu, tunggu. Maksud dari postingan ini itu apaan sih? Anjir nggak jelas sendiri gue! Yaudah lah, gue rasa ini akan menjadi makin rancu kalau gue teruskan. Mendingan gue sudahi saja tulisan gue yang satu ini. Intinya... ya nggak ada intinya sih. Ya pokoke gitu lah. Postingan (yang diusahakan) lucunya lain kali aja lah ya. Haha.

Monday, May 13, 2013

Sedikit

Gue sering banget liat orang-orang menentang pejagalan yang terjadi di Timur Tengah sana. Bahkan nggak sedikit juga orang-orang yang mau mengantarkan nyawa berjihad ke sana. Siapa sih yang tidak mau membantu orang yang kesusahan atau menderita? Gue sendiri sangat mau! Kecuali orang yang mempunyai hati batu yang sudah terbungkus oleh logam.

Tidak sedikit juga teman di sekitar gue yang begitu. Mereka update tentang kondisi di TimTeng sana setiap hari. Mereka tahu siapa saja yang menjadi korban di sana, di mana saja daerah yang baru terkena bom, dan mereka tahu nama-nama orang yang telah ditinggalkan oleh orang tercintanya. Lalu dengan keras mereka berteriak mengutuk "Israel jahanam!"

Bukannya tidak bagus mengetahui keadaan saudara seiman kita di sana. Itu bagus. Namun, bagaimana dengan orang-orang yang berada di dekat  kita yang juga sedang terkena bencana atau perlakuan buruk karena tidak "sama"?

Kita lupa mengutuk kebiadaban kita sendiri karena terlalu sibuk dengan urusan Timur Tengah. Kita lupa dengan yang dilakukan negara sendiri. Menutup mata atas kekacauan yang terjadi di sekitar menjadi sebuah langkah yang diambil.

Di saat kita dengan murka meneriakan cacian kepada Israel, mata kita tidak melihat keluarga yang hidup di jalanan depan rumah, mereka sedang merintih kelaparan. Di saat kita mengutuk mereka dengan nama Tuhan, satu bayi sedang menangis kepanasan sedang digendong ibunya yang bingung bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk membeli susu untuk buah hatinya. Mereka menunggu bantuan yang tak kunjung datang dari kita, orang yang dekat dengan mereka.

Kita kacau.

Segala sesuatu yang berbau Israel, Zionist, Yahudi, kita caci dan urus sampai ada satu hal yang terlewatkan oleh orang Indonesia sendiri. Kita lupa kalau di Indonesia manusia sering memperanjing yang lain dengan meneriakan lafaz Tuhan. Lalu kalau pembinatangan manusia di Indonesia tidak dipedulikan, siapa elo untuk bicara kemanusiaan di TimTeng?

Gue tidak bilang kalau gue mendukung Israel. Gue jelas menentangnya. Begitu juga jutaan Yahudi lainnya yang turut menentang dan mendukung Palestina.

Bagaimana reaksimu ketika melihat kalau banyak orang Israel yang menentang penguasa negaranya? Dan bagaimana reaksimu ketika melihat TKI kita baru pulang dari Arab dengan keadaan hamil diperkosa, memar disiksa, bahkan tanpa nyawa? Kita menutup mulut rapat-rapat ketika itu semua terjadi. Bahkan ketidakadilan yang dirasa para TKI yang terancam hukuman pancung di Arab tidak menjadi sesuatu yang "WAH!", ketimbang apa yang terjadi di TimTeng.

Apa yang terjadi? Apa karena lebih mudah mengutuk Amerika, Eropa, dan Israel, ketimbang mengutuki saudara seiman daerah rasul berasal? Apa bedanya kita dengan Hitler? Hitler yang selalu meletakkan ras sebagai dasar dalam memandang dunia?

Gue pernah lihat satu kalimat, "Kalau kamu masih menjadikan agama sebagai titik sentral, jangan bicara soal kemanusiaan."

Gue nggak mau lu berpikiran kayak gue, gue cuman mau lu membuka mata dan berpikir sendiri.

Semoga Palestina lekas membaik.




Wednesday, May 8, 2013

Dia

"Mmmh... kurang enak nih ini." Keluh seorang wanita berkacamata setelah selesai menyuapkan 1 sendok tiramisu ke mulutnya. "Terus sampai di mana tadi?" tanya si wanita.

Seorang pria berbaju abu-abu yang berada di depannya menghentikan hisapan rokoknya. Asap berhembus bersamaan dengan nafas yang dia buang lewat mulutnya. Bibirnya tersenyum kecil. Kemudian dia mengambil nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya.

"Ya, aku rasa aku jatuh cinta sama dia. Sudah lama banget aku nggak ngerasa kayak gini. Seperti sudah bertahun-tahun aku merasa hampa, dan sekarang dia seperti mengisi kekosongan yang ada di dalam diriku." Dia menunggu reaksi wanita yang terlihat serius mendengarkan. Wanita itu tersenyum kecil.

"Kutahu aku cinta sama dia ketika dia memintaku melihatnya ketika dia sedang latihan bicara." lanjutnya.

"Oh ya?" tanya si wanita.

Pria itu memutar matanya ke atas, berpikir sebentar. "Ya, aku yakin itu adalah momennya. Dia menatap diriku tajam sambil berbicara. Suaranya pelan namun tegas. Tetapi diriku tak ingat apa yang dikatakannya. Karena," pria itu berhenti sejenak, "aku sudah terlanjur hanyut dalam tatapannya."

Wanita itu tertawa kecil dan meminum kopinya karena tampaknya sepiring tiramisu di depannya sudah sepi.   Si pria juga tertawa sambil memicingkan matanya selagi dia mengambil hisapan panjang dari rokoknya. Tidak ada pengunjung yang merasa terganggu. Hanya heran melihat pria itu, namun tidak lama mereka kembali tak acuh.

"Emang kamu suka apanya?" tanya si wanita kembali dengan sedikit antusias dan senyum yang sumringah.

"Maksudmu apa yang kusuka darinya?" tanya si pria. Wanita itu mengangguk kecil sambil menaikan alisnya sedikit.

Sambil tersenyum pria itu berkata, "Aku bisa membuat buku dari menjawab pertanyaanmu, karena begitu banyak hal yang kusuka darinya. Aku suka tatapannya, begitu dalam seakan dia melihat langsung ke jiwaku. Aku suka dengan suaranya, tidak begitu bagus tapi begitu menenangkan. Gayanya berjalan, caranya protes ketika tidak setuju, dan," pria itu melebarkan senyumnya, "gelak tawanya yang aneh. Itu membuatku tersenyum ketika mendengarnya."

Wanita di depannya melipat tangan di meja dan menopang dagu dengan tangan kanannya , bibirnya manyun sambil mendengarkan.

Pria itu melanjutkan ceritanya, "Aku juga suka alisnya yang suka naik dengan sendirinya ketika dia bertanya-tanya atau tersenyum, dan turun dengan otomatis ketika dia sedang kecewa atau cemberut. Dan juga rambut lurusnya, begitu halus sehingga indera perasaku tidak bisa melupakannya."

Pria itu termenung sejenak, "Tapi bukan itu semua yang membuatku jatuh cinta kepadanya. Aku bahkan tidak tahu apa sebabnya."

Dia berhenti sebentar sementara si wanita bertanya, "Yang bener?"

"Yah, aku yakin aku memang cinta dia, tapi aku juga yakin kalau aku tidak bisa menjelaskan kenapa. Kadang untuk mencintai seseorang kita tidak perlu tahu alasannya. Cukup mencintainya. Agak tolol memang. Tapi bisa saja itu adalah alasan yang terbaik. Aku mencintainya karena aku cinta dia."

Pria itu mengambil satu hisapan terakhir dari rokoknya. Menghembuskannya. Dan mematikannya. Dengan sedikit tertawa dia berkata, "Sok romantis memang kelihatannya. Ya tapi bagaimana lagi? Itu yang aku rasakan saat ini. Lagu-lagu cinta yang kemarin terdengar bodoh sekarang mulai menjadi masuk akal bagiku."

Dia berhenti sejenak, menunduk, kemudian tersenyum lebar sambil berkata, "Semua karena dia..."

"Permisi, Pak, ini bill-nya." Seorang pelayan tiba-tiba muncul dan menaruh selembar kertas di meja pria itu. "Apa ada yang lainnya, Pak?"

Dia menggeleng sedikit. Mengeluarkan dompetnya,  menaruh sejumlah uang, dan memberikannya kepada si pelayan.

"Terima kasih, ya." Ujar pria itu. Lalu sang pria lanjut mengetik sambil berbicara kepada laptop yang menyala di hadapannya.

Di sebrang meja pria itu sekumpulan wanita melirik dengan tatapan heran kepada si pria yang daritadi sedang mengetik sambil bergumam sendiri. Beberapa saat, satu wanita berkacamata di meja itu lalu melanjutkan pembicaraannya dengan temannya. "Jadi, habis dari sini kita ke toko yang kamu bilang tadi ya."





Cerita ini terinspirasi "dan..." ujungpena.blogspot.com.

Thursday, May 2, 2013

Cerita Malam Hujan

Kemarin malam banyak bagian dari kota Bekasi yang mati lampu. Kenapa gue bisa tahu? Ya karena tempat gue mati lampu dan Twitter adalah media sosial yang cocok untuk melihat orang-orang berkoar-koar tentang sesuatu. Keadaan mati lampu diperburuk oleh cuaca hujan yang semi-deras nan awet. Dan, oh iya, gue lagi nggak di rumah! Gue lagi kumpul sama teman-teman gue. Tapi satu-persatu teman gue pulang. Akhirnya nggak lama kemudian gue pulang hujan-hujanan.

Saat sampai di rumah, gue mati gaya. Mau baca, lilin nggak ada. Mau main PS, langsung sadar kalau listrik padam. Akhirnya gue putuskan untuk keluar jalan-jalan menerobos hujan memakai motor.

Beberapa kali gue berputar balik karena banyak jalan yang sudah terkena banjir. Setelah setengah jam, gue berhenti sebentar di perumahan Pondok Hijau, untuk mengambil jas hujan di bagasi, karena malam itu dinginnya menusuk tulang dan gue hanya memakai sweater di saat hujan. Ya, pintar memang. 

Begitu gue ambil jas hujannya, dan gue baru gue pakai setengah badan, tiba-tiba ada bapak-bapak yang memakai jas hujan sedang berjalan dan berhenti di depan gue.

"Mas, bisa ikut?" tanya si bapak sambil tersenyum dan mengelap mukanya yang basah karena air hujan,

Gue terdiam dan memasang tampang heran. "Wah, mau ke mana emangnya, pak?" Gue berhenti memakai jas hujan sebentar dan coba fokus kepada bapak itu.

"Ke Rawa Lumbu 2, mas." jawab si bapak sambil tersenyum.

Gue agak lama menjawabnya, karena gue khawatir bapak itu adalah perampok atau bajing luncat atau yang sejenisnya. Belum lagi gue sering mendengarkan cerita teman-teman gue tentang temannya yang jadi korban perampokan di jalan. Dan ditambah waktu saat itu sudah hampir tengah malam plus hujan lumayan deras. Itu membuat gue makin punya alasan untuk menolak permintaan bapak itu. Gue memaksa otak untuk berpikir cepat.

"Oh, yaudah, pak. Tapi bapak yang ngendarain ya?" adalah jawaban gue. Karena saat itu gue berpikir kalau dalam keadaan dibonceng resikonya akan berkurang, karena kalau benar itu adalah perampokan, si bapak tidak bisa nodong gue pakai senjata, dan juga kalau si bapak macem-macem gue bisa menjatuhkannya dari belakang.

Sambil bilang "yaudah" si bapak raut mukanya seperti agak kecewa. Gue makin parno! Kenapa begitu? Apa dia kecewa karena baru menyadari kalau dia tidak bisa menodong dari belakang? Pokoknya kemungkinan terburuk sudah gue pikirkan dan gue persiapkan juga antisipasinya. Lalu beberapa saat kemudian gue kepikiran tapi bisa saja dia berekspresi begitu karena dia kecewa karena dia dianggap orang jahat oleh orang lain. Makanya saat itu gue cari alasan yang masuk akal kenapa dia harus di depan dan berujung kepada, "Soalnya saya gak tau tujuan bapak. Lagian dingin juga kalau di depan."

Singkat cerita, bapak itu akhirnya memboncengi gue dengan motor gue. Gue ajak ngobrol sebanyak mungkin untuk mencari informasi tentang bapak itu. Tidak lupa sambil Twitteran untuk memberitahu keadaan gue kepada siapapun yang baca.

"Bapak dari mana?" tanya gue. 

Dari situ gue mendapat informasi kalau dia baru pulang kerja. Dia turun naik bis di gerbang Tol Timur.

Rasa panik datang lagi begitu gue sadar dia memakai jas hujan besar untuk pengendara motor, sedangkan saat bertemu gue tadi dia berjalan kaki. "Kenapa nggak naik motor aja, pak?" tanya gue secara nggak langsung untuk mengorek informasinya.

"Uh... tadi saya motornya dititip di penitipan motor, mas." jawab si bapak dengan logat Jawa yang kental.

NAH! Gue makin curiga! Itu dia bawa motor, tapi kok malah jalan kaki? Terus ada jeda sebelum menjawab pula! "Terus motor bapak ke mana? Kok nggak dipakai?" tanya gue tegas, tidak dengan nada basa-basi lagi.

"Motor saya ditaruh di rumah saudara, mas," gue bingung, "mau dipake buat kerja sama saudara saya." lanjutnya. Lah gue makin bingung.

"Terus bapak kok pulang kerjanya malem banget? Kerja di mana emangnya, pak?" tanya gue masih mengorek informasi.

"Saya kerja di APALAHNAMANYAGUELUPA (yang gue inget tentang keramik, dan dia sebagai pengepaknya), saya udah pulang dari jam 9 tadi, " bapak itu terdiam sejenak sambil mengelap air hujan di wajahnya, "tadi lama nganterin motornya, mas." lanjut si bapak dengan ramah.

Sekarang giliran si bapak yang bertanya. Pertanyaan pertama tentu saja ke mana tujuan gue. Gue bilang aja gue lagi jalan-jalan, dan kebetulan ada teman yang memanggil gue ke suatu daerah yang namanya Rawa Lumbu Utara. Si bapak tertawa mendengar kebohongan gue. Sebenarnya gue hanya sekedar jalan-jalan. Ya dari situ gue sudah lumayan merasa aman, sampai si bapak bilang, "Rawa Lumbu Utara mana, mas?"

Gue kembali panik! Bagi gue nggak wajar bagi orang yang tinggal di Rawa Lumbu tetapi tidak tahu di mana itu Rawa Lumbu Utara. Gue berusaha ambil fotonya tapi kamera HP gue kurang bagus menangkap gambar di saat gelap. Ya akhirnya gue cuman pasrah sambil membayangkan kemungkinan terburuk dan bertanya-tanya ringan.

"Nama bapak siapa, pak?" 

"Purwandi, mas." 

Dan gue terus berbasa-basi demi membuat diri gue sendiri nggak parno. 

Begitu sudah sampai di jembatan 0 Rawa Lumbu, si bapak bertanya, "mas mau lurus?"

"udah lewat malah, pak. Haha." tawa gue garing.

Si bapak menepikan motor sambil berkata, "Wah, udah lewat? Maaf ya, mas. Saya di sini aja deh." dan dia menghentikan motor di depan tempat tukang buah di jembatan 0, kemudian turun.

Dari situ gue udah merasa lega selega-leganya orang lega. Bukan saja dia menghentikan motornya sebelum sampai di tujuan dia, dia bahkan juga meminta maaf. Gue pun merasa nggak enak kepada dirinya karena memikirkan hal-hal yang buruk tentang dia. "Udah, pak, lanjut aja. Tanggung ini." ucap gue.

"Wah, nggak, mas. Saya di sini aja." terlihat jelas kalau si bapak merasa tidak enak. Tetapi justru gue yang merasa lebih tidak enak, makanya gue masih bersikeras menawarkan tumpangan. Si bapak pun mengiyakan dan kembali mengendarai motor gue menuju dalam Rawa Lumbu. Tetapi di Rawa Lumbu jembatan 1 sudah banjir. Si bapak pun kembali turun sambil bilang kalau di depan banjir, oleh karena itu dia turun di sana saja. Padahal banjir itu masih bisa ditembus, tetapi karena perasaan tidak enak saja dia lebih memilih turun dan gue mengiyakan. Lalu si bapak pun berterimakasih, kami berjabat tangan, dan gue berputar arah.

Gue memang sering melakukan hal-hal gila, tetapi menerima permintaan bapak itu adalah hal yang lebih gila lagi. Alasan dasar gue menerima permintaannya ya tentu karena rasa kasian melihat orang jalan di tengah hujan dengan tujuan yang jauh, tetapi bukannya nggak mungkin alasan itu malah membuat gue terkena musibah. Itu seperti berjudi, dan nasib gue adalah taruhannya. Untung saja berakhir baik, lah kalau kecemasan gue sebelumnya itu nyata? Yaaaa, tapi ya guenya saja yang terlalu paranoid. Seharusnya gue tau, nggak banyak orang berlogat Jawa di Jakarta dan sekitarnya yang jahat. Haha.

Gue teruskan jalan-jalan gue, kemudian gue melihat beberapa daerah listriknya sudah menyala. Gue pun memutuskan untuk pulang dengan berharap listrik di daerah gue juga sudah menyala. Dan gue putar arah balik, lalu pulang dengan membawa pengalaman baru dan celana dalam basah.