Sunday, May 16, 2021

Maaf-maafkan

Lebaran sudah lewat beberapa hari yang lalu. Jalanan sudah mulai ramai, dipenuhi oleh orang-orang yang baru saja pulang liburan. Suasana Idulfitri perlahan menguap di udara, namun masih saja ketika bertemu teman pas nongkrong, ada yang langsung menyodorkan tangan saat baru datang dan berucap "minal aidin ya?".

Lah?

Terlepas dari arti "minal aidin wal faizin" yang sebenarnya adalah penggalan doa yang artinya sama sekali bukan permohonan maaf, bagi gue meminta maaf ketika sudah lewat dua hari dari Idulfitri sudah tidak relevan.

Bahkan menurut gue meminta maaf ketika Lebaran pun tidak relevan dari sananya.

Kita tidak ngomongin maaf yang "maaf, permisi ya." atau sejenisnya ya by the way. Itu beda lagi maafnya.

Bicara tentang minta maaf, memang untuk sebagian orang hal itu tidak mudah dilakukan, karena ego yang tinggi. Oleh karena itu momen Idulfitri menjadi hari simbolis untuk mengobral kalimat maaf di mana-mana. Jadinya, menurut kacamata gue, maafnya jadi terkesan murah. Diumbar di mana-mana, padahal seharusnya kita itu meminta maaf secara pribadi ke orang yang pernah kita sakiti karena kita berbuat salah yang kepadanya.

Maaf di hari Idulfitri di mata gue tidaklah beda dengan basa-basi "hei, HBD WYATB?" yang seringkali diucapkan oleh orang yang nggak benar-benar WYATB.

Lalu kalau ngomongin tentang minta maaf, tidak lupa juga pasti ada memaafkan di dalamnya. Ketika diguyur dengan ucapan mohon maaf di hari Lebaran, banyak orang pasti akan refleks mengiyakan. Mengiyakan untuk memaafkan, padahal muka masih kecut ketika melihat orang yang meminta maaf itu berada di satu ruangan.

Menurut gue minta maaf dan memaafkan itu sangat personal dan intim. Tidak bisa dipaksakan dengan hari raya yang datang setahun sekali. Kita punya 365 hari untuk melakukan itu dalam setahun, namun perkara kita siap untuk minta maaf dan memaafkan itu beda lagi ceritanya.

Gue akui untuk meminta maaf secara tulus itu jauh lebih mudah ketimbang memaafkan sepenuh hati. Keduanya memiliki efek menenangkan diri sendiri, namun proses memaafkan itu sangat spritual. Jauh lebih sulit. Banyak hal yang gue pribadi masih belum bisa maafkan. Gue masih tidak damai sepenuhnya, karena belum memaafkan diri sendiri dan beberapa hal lain.

Gue cukup tahu diri gue untuk mengidentifikasi apa saja yang masih belum bisa gue maafkan. Oleh karena itu gue tidak langsung bilang "iya" ketika ada seseorang yang minta maaf ke gue sedangkan gue masih belum bisa memaafkannya. Seringkali gue kasih jawaban menggantung dengan kalimat yang tidak menjawab, gue alihkan ke pembicaraan lain, atau mungkin tidak gue jawab. Lampu hijau dari gue adalah ketia bilang kata "iya", dan gue tahu kalau tidak bisa langsung mengiyakan.

Memaafkan dan minta maaf itu keramat.

Oleh karena itu tiap Idulfitri gue selalu geli ketika mendengar kalimat maaf di mana-mana. Ketidaksungguhannya terasa pekat sekali. Minta maaf di hari Lebaran seharusnya sudah bisa dianggap basa-basi yang basi, karena kita tahu mereka tidak sungguh-sungguh, dan kadang untuk beberapa orang, kita tahu kalau kita belum bisa memaafkannya.

Lagipula seperti yang gue bilang sebelumnya, meminta maaf dan memaafkan itu personal dan intim. Seharusnya dilakukan secara personal di waktu yang intim.

Tentunya intim yang gue maksud bukan intim yang vulgar ya, dasar cabul! 

No comments:

Post a Comment