Tuesday, June 17, 2014

Makam

Bagi beberapa orang, hanya dengan mendengarkan kata "pemakaman" saja sudah bisa membuat bergidik. Karena kata-kata lain yang otomatis terlintas di otak setelah mendengar kata pemakaman biasanya adalah: duka, sedih, berkabung, atau horor.

Pemakaman adalah tempat di mana orang-orang mengubur orang yang sudah meninggal. Rumah baru bagi orang yang sudah tak bernyawa meninggalkan kenangan bagi orang yang telah ditinggalkan. Di sana, jasad mati tersebut ditimbun oleh tanah di dalam lubang yang dalam. Dari tanah kembali ke tanah.

Banyak sekali prosesi pemakaman yang ada di dunia ini. Ada yang dikubur seperti yang biasa kita lihat, ada yang didiamkan seperti contohnya di Toraja sana, dan ada yang dibakar.

Dikubur itu adalah warisan dari nenek moyang. Jauh sebelum masehi, saat nenek moyang kita masih memakai pisau batu, belum begitu mengenal pakaian, dan belum tahu bagaimana berpose duck face. Aaah, masa-masa yang indah. Silakan di-Google untuk kelengkapan informasinya.

Dan dikubur itu caranya bercabang lagi, ada yang pakai kafan dan ada yang pakai peti. Tapi sudah lah informasi tentang kubur-menguburnya. Mari bicara bagaimana saat gue mati nanti.

Berhubung gue tinggal di negara yang mayoritas beragama Islam, dan keluarga gue pun Islam, dikafankan adalah cara yang seharusnya gue terima saat gue mati. Di dalam Islam, pengkafanan adalah salah satu proses dalam menguburkan mayat, setelah sebelumnya dimandikan dan disholatkan terlebih dahulu. Kemudian setelah itu semua, jasad yang sudah dikafankan akan dimasukkan ke liang lahat, dibuka ikatannya, dikumandangkan adzan, lalu ditutup dengan tanah.

Kalau mau dilihat lebih jauh, sebenarnya dikubur menggunakan kafan itu bukanlah ritual Islam. Jauh sebelumnya, sudah ada Yahudi yang memakai ritual tersebut. Dan kalau mau dilihat leeeebiiiiih jauh lagi, pengkafanan itu sudah ada semenjak jaman keemasan Babilonia, ribuan tahun sebelum masehi. Lalu kapan pengkafanan pertama itu ada? Gue juga nggak tahu. Informasi tentang pengkafanan sendiri kurang lengkap di Internet. Pertama kali gue mencari informasi tentang ini adalah saat gue SMA, terakhir kali adalah beberapa saat lalu sebelum menulis ini, dan apa yang mau gue cari tidak bertambah begitu banyak.

Kembali ke pemakaman. Menurut gue prosesi pemakaman itu tidak efisien dan terkesan boros. Okelah kalau itu adalah suatu adat/budaya/tradisi yang mesti diikuti, namun kalau sampai membebani sih mending tidak usah.

Kira-kira saat gue masih SMP, saat sesudah sholat tarawih di bulan puasa, komplek gue pernah mengusulkan untuk membeli tanah untuk dijadikan makam Blok A (komplek gue). Jadi ketika ada warga Blok A yang meninggal, tidak usah bingung mau dimakamkan di mana. Kenapa sampai ada usulan tersebut? Karena lahan pemakaman (katanya) semakin sedikit dan mahal.

Mengerti maksud gue?

Ya, sedikit dan mahal. Setahu gue, suatu makam akan ditimbun dengan makam baru kalau sudah lompat beberapa generasi atau sudah tidak ada yang mengurus. Tapi pertumbuhan manusia yang cepat membuat kita agak susah untuk mendapatkan lahan dengan menunggu beberapa generasi. Jadi kemungkinan akan ditimbun walaupun belum lompat beberapa generasi.

Dan biaya pengurusannya juga tidak murah. Gue nggak tahu pasti, tapi yang jelas biaya pemakaman itu tidak sedikit. Biaya tanah, biaya penguburan, biaya nisan, biaya pengurusan berkala (tahunan atau bulanan gue nggak tau), dan biaya lain yang gue belum tahu. Banyak. Dan pernahkah elo ke pemakaman umum dan melihat makam yang sudah sangat jelek dan kesepian? Diinjak-injak orang, dijadikan alas, tidak dihormati. Itu membuat gue tambah males.

Gue sendiri kalau mati lebih memilih dikremasi. Ini sudah gue pikirkan jauh sebelum gue jadi seperti sekarang. Pemikiran ini sudah cukup mantap ketika gue masih SMP. Gue tidak mau menyusahkan keluarga gue dengan segala biaya yang akan mereka tanggung setelah kematian gue. Gue tidak mau menyusahkan. Sudah mati kok gue masih nyusahin? Haha.

Yang ada di pikiran gue adalah: sebelum gue mati, gue akan meminta supaya semua organ gue yang layak donor untuk didonorkan, dan setahu gue kalau donor organ itu akan mendapat uang, uang itu bisa keluarga pakai untuk belanja, lalu setelahnya gue dikremasi. Kalau keluarga gue butuh sesuatu untuk dikenang, mereka punya kenangan di otak mereka masing-masing, itu jauh lebih berharga dari apa pun. Namun kalau mereka butuh simbol untuk mengenang gue (seperti makam), mereka bisa menyimpan abu gue.

Atau kasus ekstrim, setelah gue mendonorkan organ gue, jasad gue dipotong-potong, ditaroh ke ember, lalu dilempar ke hutan dijadikan makanan macan. Hahaha. Apa pun itu, ketika gue mati, gue tetap akan menjadi atom kecil, lalu menyatu dengan alam semesta yang luas ini. Bukankah itu terdengar keren?! Gue nggak sabar menunggu saat itu...

Seperti yang gue katakan tadi, menurut gue makam itu hanyalah simbol untuk orang yang ditinggalkan mengenang orang yang meninggalkan. Tapi ya mungkin ini hanya menurut gue saja, dan gue tahu kalau di tulisan ini banyak yang salah. Jadi, kenapa kalian nggak kasih komentar saja dan membenarkan apa yang salah di sini. =]

Monday, June 9, 2014

Hidup Gue = Drama Komedi

Kalau hidup gue adalah film, gue bisa memastikan kalau genre filmnya adalah komedi atau drama komedi. Karena semenjak gue SD gue bisa melihat kalau banyak drama dan komedi-komedi selingan di hidup gue yang menggelitik perut, seenggaknya perut gue sendiri.

Tapi tidak usah lah gue membahas kehidupan gue dari SD. Mari kita simak kejadian yang baru gue alami hari ini saja.

Hari ini agenda gue adalah pergi ke kampus untuk ambil legalisir ijazah, bertemu dengan klien karena ada kerjaan sambilan, ke rumah nenek gue untuk menjenguk dan silaturahmi di Pancoran, lalu ke stasiun Bekasi untuk menanyakan tiket karena gue ingin pergi ke Jogja di hari Kamis malam nanti. Kelihatannya padat? Ya, lumayan, tapi tidak sepadat biasanya. Biasanya gue hanya nonton film di notebook dengann sibuk, sambil makan cemilan dengan sibuk, mengupil dengan sibuk, atau membaca dengan sibuk. Sibuk banget.

Dimulai pagi hari tadi. Rencananya gue mau pergi ke kampus jam 8 pagi, tetapi gue sendiri baru bangun tidur jam setengah 10. Sebenarnya gue sudah bangun dari jam 7, tetapi nikmat kasur tidak bisa gue khianati, jadinya gue tidur lagi dan berharap bangun jam 8 sampai akhirnya bablas terbangun jam setengah 10. Gue langsung bersiap-siap.

Sisi positifnya bangun kesiangan adalah: macet yang gue lalui tidak separah kalau gue berangkat pagi. Perjalanan Bekasi ke Jakarta Selatan normalnya hanya memakan waktu sekitar 45 menit sampai 1 jam, namun macet di pagi hari membuatnya bertambah lama sedikit, kira-kira 2 jam sampai 2 setengah jam. Perjalanan Bekasi – Jakarta terasa seperti Bekasi – Bandung. Atau Kamar Gue – Kamar Mandi di hari libur. Lama.

Gue sampai kampus jam 11 lebih sedikit. Sebenarnya gue malas ke kampus, tetapi gue disuruh datang di hari Senin ini, karena legalisir ijazah gue baru bisa diambil hari ini. Ketika gue sampai di ruangan tata usaha untuk mengambil dokumen, Mbak Lia (orang kampus) bilang dengan muka tanpa dosa, “Yah, belum, Mar. Mbak Retno lagi sakit, jadi belum diurus. Elu sih kenapa dateng duluan sebelum gue telfon?” Dan tiba-tiba gue menjadi orang yang salah. Yang bener ajeeeee!? Saat itu gue jadi tahu 2 hal: 1. Gue mesti tunggu orang kampus nelfon dulu sebelum ambil dokumen yang dijanjikan, 2. Orang kampus pada ngehe.

Gue masih di kampus memanfaatkan wifi dewa di sana sampai jam 12, jam makan siang. Ketika sudah jam 12, gue berangkat pergi ke rumah makan Raja Begor di dekat Senopati untuk bertemu klien. Gue sampai setengah 1 lebih. Kami janjian jam 1, masih ada waktu lah untuk makan siang di sana.

Makanan sudah habis, gue sudah memesan minuman 2 kali, waktu menunjukkan jam 1 lewat 40. “Bangke! Lama amat!” teriak gue dalam hati. Tidak sabar, gue menghubungi dia. “Halo, nyet! Di mana lo, Jing?!” kata gue... oke, itu bohong. Gue hanya menyapanya biasa secara semi-formal. Ketika sudah ngobrol beberapa lama, gue dapat menyimpulkan kalau dia tidak akan datang. Karena dia bilang, “Sorry, Mar, gue nggak bisa dateng. Ada hal mendadak nih di sini. Brief-nya gue kirim ke email lo aja ya? Kalau ada yang kurang jelas bisa lo tanya lewat email.” Monyet...

Gue langsung pergi dari sana menuju Pancoran menjenguk nenek gue. Tidak lama gue di sana, hanya sekitar sejam. Menjenguk nenek gue, ngobrol sedikit dengan Pakde dan Bude gue, sedikit bercermin menikmati salah satu keindahan yang Tuhan telah ciptakan, lalu pulang ke Bekasi.

Saat sudah di Bekasi, gue langsung menuju stasiun Bekasi. Saat itu sudah jam 4 lebih ketika gue sampai di sana. Gue ke stasiun karena mau membeli tiket untuk ke Jogja di hari Kamis malam nanti. Gue ke Jogja mau mengurus kepindahan gue di sana, karena gue mau melanjutkan kuliah di sana, dan mencari kerja di sana (kemarin sudah 2 kali dipanggil oleh agensi iklan dan radio di sana, cuman gue nggak bisa datang karena gue disuruh datang esok paginya setelah gue dipanggil, sedangkan gue masih di Bekasi. Kan ngaco.)

Antrian di loket panjangnya nggak kalah dengan antrian subsidi bulanan di kampung-kampung. Panjang. Gue mengambil antrian paling belakang. 20 menitan berlalu, dan gue masih terjebak di tengah antrian. Gue menengok ke belakang, dan orang-orang tambah banyak. Buset.

Cuaca saat itu panas, membuat gue nggak betah dengan keringat yang menempel di badan gue. Belum cukup penderitaan yang gue alami, tiba-tiba perut gue melilit dan ingin kentut. Saat itu gue percaya kuasa Tuhan dan cobaan-cobaan ilahi. Gue keringet dingin menahan gejolak gas di perut gue. Gue gelisah. Dan saat itu juga gue dilema! Dilema mau keluar antrian kemudian kentut jauh dari antrian lalu kembali lagi ke belakang antrian, atau menahan kentut sampai gue selesai antri walaupun muka gue sudah pucat seperti penderita tifus yang berusaha untuk menyelesaikan triathlon. Akhirnya gue memilih untuk menahannya. Kalau gue kembali ke belakang antrian, mungkin gue baru bisa sampai loket pas bulan puasa.

Akhirnya gue sampai di loket. Gue bertanya apakah tiket ekonomi untuk ke Jogja di Kamis malam masih ada atau tidak. Dan ternyata sudah habis. Kemudian gue tanya lagi mbaknya, apakah tiket bisnisnya di Kamis malam juga sudah habis atau belum, dan ternyata belum. Kabar baik. Setelah mendapat kabar baik itu, gue memutuskan untuk membeli tiket bisnis keesokan harinya. Lalu gue pergi dari menjauh dari stasiun.

Beberapa puluh meter dari stasiun, perut gue mulai bertingkah lagi. Kali ini bukan kentut saja yang gue rasa ingin keluar, melainkan bersama teman-temannya. Gue mencari toilet umum di sekitar dengan gelisah, dan akhirnya ketemu.

Toilet umum yang gue temui benar-benar parah kondisinya. Tidak ada lampu untuk penerangan, dan demi apapun bentuk toiletnya aneh. Gue baru pertama kali melihat toilet berbentuk O yang lubangnya berada di ujung depan. Dan itu juga tidak jelas, toilet duduk atau jongkok. Tapi berhubung gue sudah sangat kebelet dan kepepet, kreativitas gue diuji saat itu. Gue duduk dan rasanya cukup nggak nyaman.

Mari kita lewati cerita tentang boker ini, karena tidak ada yang spesial. Tinjanya pun nggak bisa gue ceritain gimana bentuknya karena gelap. Apakah bentuknya panjang dengan ujung agak runcing?  Apakah berbentuk pendek tapi besar-besar dan terlihat berotot? Apakah ada biji cabai atau daun kangkung di dalamnya? Apakah warnanya sehat atau kehitaman? Gue nggak tahu. Gelap. Oh, kalau lo lagi makan, jangan dibaca ya... eh telat. Hahaha.

Singkat cerita, proses boker yang spiritual itu selesai. Gue akhiri ritualnya dengan menyiram toilet itu. Cuman gue nggak tahu apakah sudah tersiram bersih atau belum. Oleh karena itu gue mengambil HP gue (Samsung Galaxy S3) untuk menerangi toilet dan melihatnya. Lalu, Tuhan nampaknya masih ingin  melihat sedikit lelucon di drama komedi kehidupan gue ini, oleh karena itu HP-nya terpeleset dan jatuh ke dalam toilet. “Plak plak plak... plung.” Bunyinya masih teringat jelas. Bahkan gue masih ingat berapa kali HP gue salto di dalam toilet itu. 3 kali.

Reflek, gue mengambil HP gue itu, lalu menariknya dari dalam toilet. Sisi positifnya: toiletnya sudah bersih. Gue nggak bisa bayangkan kalau saat mengambil HP gue, ada tokai yang masih menempel. Sekali lagi, jangan sambil makan bacanya... eh telat lagi ya? Hehe.

Gue nggak tahu apa-apa tentang tekhnologi HP, namun gue secara naluriah mematikan HP gue dan mencabut baterainya. Karena aliran listrik mungkin bakal membuatnya konslet. Gue langsung ke rumah dengan terburu-buru untuk mencari solusinya di Google. Gue beranjak pulang menjauhi stasiun dengan tertawa sendiri. Gue tertawa dengan komedi yang gue alami. Haha.

Sekarang HP gue sudah gue tangani dengan apa yang Mbah Google bilang. Gue akan melihat hasilnya besok pagi. Ngomong-ngomong, kejadian hari ini merupakan kejadian paling lucu (yang tragis) semenjak gue lulus SMA. Gue kira tidak ada lagi hal bodoh di hidup gue, tapi alam semesta punya cara sendiri untuk menunjukkan kalau gue salah. Haha.

Dan daritadi gue tertawa sendiri mengingat kejadian hari ini. Bukan panik ataupun sedih, melainkan tertawa geli. Karena kalau panik dan sedih tidak akan ada gunanya, tetapi kalau tertawa, seenggaknya gue terhibur. Lagipula, menertawakan kesalahan sendiri itu lebih sehat. Oh, ada satu saran dari gue: kalau suka bermain HP di toilet, pastikan status siaga lo sudah dalam posisi aktif.

Gue selalu berpikir kalau belajar itu paling enak dari kesalahan orang lain, sekarang gue mau elu belajar dari kesalahan gue ini. Gimana? Enak toh? Haha.

Friday, June 6, 2014

Ngegembel di Jogja #3

Gue tahu gue adalah blogger durhaka, mau tulis cerita berseri tapi malah ditelantarkan begitu saja. Pasti ada tempat spesial di neraka untuk blogger macam gue. Oke, sesuai judul, cerita ngegembel gue di Jogja akan gue teruskan.

Setengah 10 di hari Rabu tanggal 26 Februari. Udara pagi Jogja ternyata nggak jauh beda dari Bekasi. Terik Mataharinya juga nggak kalah nyolot dari Bekasi. Gue berjalan menjauhi stasiun Lempuyangan tanpa arah yang jelas. "Yang penting jalan dulu aja deh yang lama, nanti nemu apa di jalan gampang." pikir gue, sampai gue menemukan bahwa tas gue terasa lebih berat daripada kemarin. Nggak  ada yang bertambah, gue bisa pastikan itu. Tas gue tambah berat di dosa kayaknya pas di kereta.

Karena terasa berat, saat sudah 300 meter dari stasiun Lempuyangan, gue berhenti sejenak untuk istirahat di tukang bubur. Tentunya gue akan diusir kalau hanya numpang istirahat, jadinya gue beli sekalian bubur ayamnya walaupun tidak lapar.

Sambil memakan bubur di hadapan gue, gue memperhatikan lingkungan sekitar. Benar-benar tidak jauh beda dengan Bekasi. Motor dan mobil lalu lalang, orang saling berbicara, dan ada anak laki-laki kecil telanjang tepat di sebelah yang terus memperhatikan gue sedang makan sendiri di meja. Ya, persis kayak Bekasi. Tampaknya itu adalah anak pemilik rumah toko di sekitar sana. Gue kasih senyum ke anak itu, namun tatapannya datar. Gue mulai terganggu. Gue jadi mau makan sate usus, jangan tanya kenapa.

Anak itu pun dipanggil ibunya. Ternyata benar, dia anak pemilik rumah sekitar. Gue dan abang buburnya tertawa kecil melihat anak itu pulang. Gue mengajak ngobrol abangnya dengan pembuka, "Mas rumahnya sekitar sini?" Gue langsung tahu kalau gue salah bertanya, dan gue kira dia akan menjawab "Maaf, Mas, saya sudah punya istri. Lagian kita baru kenal, pelan-pelan dulu ya kalau mau nanya tempat tinggal saya," sambil tersipu, tetapi untungnya dia tidak salah paham dan kami mengobrol ringan selama kurang-lebih setengah jam. Obrolan pertama dengan makhluk Jogja.

Saat gue melihat anak kecil telanjang tadi, gue jadi tahu kalau gue mau ke Malioboro (iya, emang nggak nyambung). Gue bertanya kepada tukang bubur itu ke mana arah ke Malioboro, dia memberitahu arah dengan tangan menunjuk liar. Dan gue pun beranjak, tentunya setelah membayar Rp. 6000 untuk bubur itu, yang harganya ternyata tidak lebih murah daripada Bekasi.

15 menit gue berjalan dan gue sudah merasakan capek lagi. Sialan lah barang bawaan gue. Gue duduk lagi, bermain HP di depan ruko yang sedang tutup. Saat gue sedang bermain HP, gue menyadari kalau ada tukang parkir yang daritadi memperhatikan gue. Saat gue mengangkat kepala, dia membuang muka, lalu melirik gue lagi saat gue kembali menunduk bermain HP. Persis kayak cerita roman anak SMA, hanya saja yang ini bikin gue geli.

Merasa risih, gue berdiri dan meninggalkan tempat itu dengan membawa tas yang beratnya mungkin lebih daripada bobot gue sendiri. Sebagai orang semi-buta arah yang teladan, tentunya gue langsung nyasar. Gue nggak tau mesti ke mana lagi, kayaknya gue salah belok. Gue bertanya arah lagi kepada orang yang gue temui, di mana Malioboro.

Gue bertanya kepada bapak-bapak yang sedang berjalan, dan dia memberi direksi dengan tangan yang juga menunjuk liar, sama seperti tukang bubur tadi. Gue heran, apa budaya di sini begitu ya? Kalau ingin memberitahu arah, tangan sebaiknya menunjuk liar, kalau perlu sekalian saja bersilat atau melakukan wotagei. Makin liar dan heboh tangannya, makin jelas penjelasannya ke si penanya.

Berkat si Bapak tadi, gue sampai di Malioboro. Gue berjalan pelan sambil menikmati lingkungan sekitar yang cukup bagus. Gue yang saat itu berpenampilan turis banget, beberapa kali mendapatkan lirikan dari orang lokal. Gue duduk di bangku yang sudah disediakan di sana karena capek.

Jam 11 siang di Jogja. Matahari sangat terik. Gue bisa melihat kulit orang memantulkan cahaya matahari dengan jelas. Namun udaranya tidak begitu panas. Tidak tahan dengan teriknya, gue pindah tempat ke mesjid Malioboro untuk istirahat. Mesjidnya tidak terlalu besar tetapi nyaman. Pohon-pohon besar berdiri kokoh di sekitarnya, membuat udara di mesjid menjadi sejuk. Gue ngantuk. Gue tidur sebentar, lalu adzan berkumandang.

Karena gue sedang beristirahat di mesjid, mau nggak mau gue harus ikut sholat. Dan setelah sholat, gue tidur lagi sampai jam 3 di saat adzan ashar berkumandang lagi. Sekali lagi, mau nggak mau gue harus ikut sholat. Dan setelah sholat selesai, gue nggak bisa tidur lagi. Gue nggak tahu mau apa lagi, tetapi gue tahu satu hal: gue pasti masuk neraka (ke mesjid buat numpang tidur doang. Haha).

Akhirnya gue menghubungi adik gue untuk menjemput gue di mesjid Malioboro, namun dia bilang dia lagi kuliah dan baru pulang sekitar 1 jam lagi. Gue bingung, gue berpikir sebentar, gue lapar. Oke, gue akan berjalan-jalan sebentar sambil mencari makan dengan membawa tas superberat itu.

Saat itu, mungkin gue dapat hukuman dari langit, karena saat gue baru berjalan beberapa menit, hujan deras mengguyur. Gue berlari mencari tempat berteduh dan berakhir di Indomaret. Saat itu juga banyak orang yang berteduh. Karena lapar, gue masuk ke Indomaret dan membeli roti dan Ultamilk strawberry. Lalu gue ke luar lagi untuk melihat langit yang sedang sibuk menangis.

Gue berdiri di tempat sebelum gue masuk Indomaret tadi. Sambil memakan makanan yang gue beli, gue mendengarkan lagu dan berdiri bersandar ke tembok. Lalu tidak lama kemudian ada kumpulan 4 orang wanita yang datang berlari untuk berteduh di depan Indomaret, dan mereka berdiri di dekat gue. Gue perhatikan mereka, semuanya cukup manis, tampaknya mereka orang lokal. Salah satu dari mereka mendapatkan gue sedang melihat mereka. Tanpa membuang muka, gue beri dia senyuman dan dia senyum balik. "Lampu hijau!" pikir gue, lalu gue mulai membuka obrolan dengan cara yang biasa gue pakai saat nge-hit.

Dari semua logat di Indonesia, menurut gue logat Jawa adalah logat yang paling seksi. Terdengar begitu sopan dan nge-bass (gue nggak tau gimana tulisannya). Mungkin karena saat kecil gue dibesarkan dengan lingkungan orang Jawa di keluarga dari nenek gue di Pancoran yang keturunan Jogja, jadi dari kecil gue sudah terbiasa mendengar logat Jawa dan itu membuatnya terdengar menenangkan di telinga gue. Gue suka. Dan itu bikin gue merasa nyaman ngobrol dengan mereka.

Obrolan kami berlangsung cukup lama, membahas hal-hal remeh tanpa menyinggung identitas (menanyakan nama, kuliah di mana, tinggal di mana, dan pertanyaan garing lainnya), dan kami sesekali tertawa. Jam 4 lewat. Hujan berhenti. Kami mengucapkan salam perpisahan. Gue pun meninggalkan Indomaret. Suasananya saat itu sangat bagus. Walaupun tidak ada pelangi, tetapi bau aspal dan pepohonan yang diselimuti air hujan cukup membuat gue semangat untuk menapakkan kaki sepanjang jalan Malioboro. Akhirnya gue berjalan-jalan.

Jam setengah 6 sore. Malioboro sudah jauh di belakang, sekarang gue berada di tempat yang gue tidak tahu namanya. Tas mulai terasa berat kembali. Kali ini gue menghubungi adik gue untuk menjemput gue. Gue memberitahu kalau gue sedang berada di depan gedung Telkom, dan dia meminta gue menunggu selama 15 menit. "Oke!" kata gue.

Sambil menunggu, gue duduk di samping jalan. Gue duduk sembari berpikir "Orang Jogja ternyata ramah-ramah. Jalanannya tidak sekotor Jakarta. Dan pengendara di jalan pada tertib, keren lah!" dan lalu ada arakan motor yang lewat dengan berisik. Klakson dibunyikan mencari perhatian, membawa bendera yang gue lupa tulisannya apa, dan mereka berteriak-teriak. Semuanya anak muda tanggung. Baru saja gue memuji, menaik-naikkan Jogja, lalu mereka sukses membuatnya turun lagi.

Haduh, sebenarnya gue lagi malas nulis kali ini. Jadi bisa dilihat sendiri kalau daritadi gue tidak berusaha melucu, dan hanya menceritakan apa yang gue alami saja. Gue akhiri saja ya?

Adik tiri gue datang, gue dibawa ke kosannya di dekat kampus UPN. Gue menumpang bermalam saat itu. Gue mengobrol sampai jam 9, lalu gue memutuskan untuk tidur. Walaupun waktu itu gue sudah banyak tidur, namun perjalanan yang cukup melelahkan (70% karena tas), berhasil menguras energi gue dan meminta badan gue untuk tidur lagi. Sambil berusaha tidur, gue memikirkan agenda besok, dan untuk besok gue sudah memutuskan mau ke mana. Ya, ngegembel akan gue mulai besoknya! Woooo!!!