Monday, November 19, 2018

Eulogi

Kemarin sang partner meminta gue untuk menulis eulogi untuknya. Dia bilang untuk tugas dari dosennya, dia harus mendapatkan minimal empat eulogi dari orang yang dia kenal. Gue langsung terbayang novel roman picisan The Fault in Our Stars karya John Green, yang kebetulan merupakan salah satu penulis favorit partner gue.

Teringat satu bagian di dalam cerita buku itu di mana salah satu tokoh utamanya yang bernama Augustus Waters, meminta tokoh utama lainnya yang merupakan kekasihnya yang bernama Hazel Grace, untuk menulis eulogi untuknya, karena Augustus Waters ingin "menghadiri" pemakamannya. Let's say itu adalah "pra pemakan". Di bagian tersebut Hazel Grace membacakan eulogi untuk pemakaman Augustus Waters yang masih hidup saat itu. 

Oh, gue belum menjelaskan apa itu eulogi. Jadi, eulogi adalah sebuah pidato atau penulisan pujian terhadap seseorang yang sudah meninggal. Eulogi diberikan sebagai bagian dari upacara pemakaman. Isinya biasanya merupakan kenangan si pengantar eulogi akan orang yang sudah meninggal, biografi orang yang meninggal tersebut, atau perpaduan dari keduanya. Bagaimana orang itu ketika masih hidup, apa saja peninggalannya, dan lainnya. 

Ya, dan partner gue meminta gue untuk menulis itu semua untuknya!

Gue (sepertinya masih?) suka menulis. Biasanya kata-kata akan dengan mudah tertuang ke dalam suatu tulisan yang gue kerjakan. Namun, ketika diminta untuk menulis salam perpisahan untuknya, jari ini kok ya berat?

Otak gue nggak bisa memikirkan kalimat apa saja yang cocok untuk dirangkai karena terhalang dengan bayangan kalau dia sudah pergi. Rasa takut bercampur sedih juga berperan dalam writer's block dadakan yang gue alami kemarin, padahal orangnya masih hidup dan sedang berada di rumahnya yang terletak 13 kilometer dari kediaman gue sekarang. Mungkin dia sedang haha-hihi bermain dengan Gibo dan Pumbaa, anjing-anjing jantan di rumahnya yang selalu menggonggong ketika bertemu gue.

"Yaelah kok susah amat?!" seru gue dalam hati ketika menulisnya.

Banyak bingung kemudian, euloginya pun akhirnya selesai setelah gue potong sana-sini agar tidak terlalu panjang dan terkesan bertele-tele.

Menulis eulogi untuknya mengingatkan gue akan beberapa hal, salah satunya adalah perpisahan. Gue diingatkan bahwa gue dan dia suatu saat akan berpisah.

Meninggalkan dan ditinggalkan.

Itu adalah hal yang sudah absolut hukumnya dalam suatu hubungan. Tak terkecuali hubungan kami. Entah karena apa, suatu hari nanti kami pasti akan mengisi salah satu dari kedua peran tersebut.

Gue sangat yakin kalau untuk sekarang ini, jelas gue masih belum siap untuk itu. Gue masih membutuhkannya untuk belajar banyak hal darinya. Gue masih membutuhkan dia untuk berbagi kebahagiaan.

Simply, gue masih butuh dia.

Dari hal ini gue juga diingatkan untuk jangan lupa menggenggam tangannya lebih erat ketika kami berjalan bersama, memeluknya lebih kencang ketika akan berpisah, dan lebih menikmati setiap detik ketika kami bersama.

To love her harder.

Gue nggak tahu kapan akan datangnya waktu untuk kami berpisah, yang jelas sekarang gue cuman bisa berharap suatu hari nanti gue bisa berkata "ubanku sama ubanmu masih lebih berkilau ubanku!" ke orang yang sama dengan orang yang tidak segan untuk kentut di depan gue dan menyalahkan Baron, anjing betina yang gue dan partner gue rawat saat ini.