Sunday, September 27, 2020

Main Jauh

Beberapa hari lalu gue menonton sebuah video IGTV yang gue temukan di kolom explore akun Instagram gue. Video berdurasi hampir 10 menit berisi orang lagi berpidato menceritakan pengalaman dia yang telah membuka mata banyak orang. Orang yang berpidato itu namanya adalah Daryl Davis.

Daryl Davis adalah seorang musisi, aktivis, aktor, dan juga penulis. Isi video yang gue tonton itu menceritakan pengalaman dia mendekati sebuah organisasi di Amerika yang bernama Ku Klux Klan (KKK). Oh, gue belum bilang kalau dia adalah warga Amerika berkulit HITAM. Kulit hitam dan KKK tentu saja nggak berjodoh. Tapi Daryl Davis nggak mundur dan terus PDKT, karena dia berpikir "gimana loe bisa benci sama gue? Padahal lo nggak mengenal gue." Kata "gue" yang dimaksud adalah ras yang bukan kaukasian maksudnya.

Di video itu, Daryl Davis menceritakan pengalamannya saat mencoba mendekati ketua KKK pada saat itu, Roger Kelly. Roger Kelly pada akhirnya bersahabat dengan Daryl Davis dan sadar kalau rasnya tidak lebih superior daripada golongan lain yang dia benci selama ini. Roger Kelly pun memutuskan keluar dari KKK dengan meneriakkan kalimat terakhirnya di KKK, "Gue lebih hormat sama dia (Daryl Davis), ketimbang sama lo pada orang kulit putih (KKK)." Ketika ditanya berapa orang yang sudah keluar dari KKK karena dia, Davis menjawab 60 orang secara langsung, secara tidak langsung ratusan.

Yang dilakukan Daryl Davis adalah merangkul Roger Kelly dan anggota KKK lainnya untuk tahu/mengenal lebih jauh apa yang dia benci sebelumnya. Membuka matanya lewat obrolan diskusi juga bertukar pandangan dan tawa. Hanya lewat ngobrol, dia mengubah keyakinan dan hidup orang lain.

Hanya dengan mengenal lebih jauh, hidup seseorang bisa berubah.

Gue dulu takut sama anjing. Ketika berinteraksi pertama kali dengan anjing golden retriever pasangan gue yang bernama Cici (RIP) di rumahnya, tangan gue gemetar sebelum mendarat di badannya. Ketika sudah memegangnya, gue terlihat canggung sekali karena terlihat seperti robot ketika mengelusnya. Karena apa? Karena gue belum kenal anjing, makanya gue takut. Setelah gue mengenal anjing, gue jadi suka. Bahkan gue mengadopsi anjing teman gue yang dia telantarkan dan merawatnya sampai nafas terakhirnya.

Ketika SMA, gue jijik dengan golongan LGBTQ. Nggak jarang gue memakai kata "homo" sebagai ejekan karena gue menganggap hal itu adalah rendah. Ketika masuk kuliah, gue mengenal beberapa gay/lesbian dan juga berteman dengan mereka. Gue merasa bahwa mereka sama saja. Sama-sama manusia. Bahkan, banyak di antara mereka cenderung orang paling asli dalam bersikap, nggak pura-pura. Jadinya asik banget dijadikan teman. Pasangan gue kebetulan mempunyai ketertarikan dalam isu ini, jadi dia aktif di salah satu komunitas bertema LGBTQ di Jogja dan gue beberapa kali datang ke sana untuk ikut kegiatan kumpul mereka. Gue jadi mengenal lebih jauh dan tahu lebih banyak apa saja yang sudah mereka alami terkait orientasi seksual mereka. Gue yang sudah mengenal mereka pun nggak jijik lagi dan melihat pemakaian kata "homo" sebagai cacian tidak pantas. Kenapa? Ya karena mereka sama saja. Sama-sama manusia, bedanya hanya dapat perlakuan diskriminatif saja oleh lingkungan

Banyak contoh serupa lainnya yang diakibatkan ketidaktahuan, tapi intinya cuman satu: lo harus kenal dulu dengan hal asing atau golongan yang beda dengan elo (beda ras/orientasi seksual/keyakinan/pandangan hidup/status sosial/dan lain-lain) sebelum lo bisa bilang kalau lo benci dengan hal/golongan tersebut.

Daryl Davis bilang di akhir video IGTV itu kalau ketidaktahuan menciptakan ketakutan. Ketakutan akan menciptakan kebencian. Pada akhirnya kalau kebencian itu tidak dikontrol akan menciptakan kehancuran.

Jadi, kenalilah banyak hal/orang. 

Main yang jauh, bos!

Monday, September 7, 2020

Kangen Jogja

Beberapa waktu yang lalu tiba-tiba gue dihampiri rasa rindu akan Jogja yang luar biasa. Well, sudah ketebak tulisan ini akan menjadi klise sejadi-jadinya. Haha. Tapi akan gue usahakan tidak.

Oh iya, karena tulisan ini mengenai rasa rindu dengan Jogja, gue harus memberi keterangan kalau gue sudah pindah ke Bekasi lagi dari Maret kemarin, jadi kurang lebih sekitar satu semester gue meninggalkan Jogja.

Ya, seperti yang gue bilang di paragraf pertama, gue kangen Jogja. Kangen suasananya, langitnya yang lebih biru ketimbang Jakarta atau Bekasi, pantainya, dan tentu saja orang-orangnya.

Terutama kangen orang-orangnya.

Ramai-ramai berkumpul ngobrol ngalor-ngidul di warkop (atau di Jogja disebutnya burjo) berjam-jam sampai pagi dengan teman-teman yang obrolannya saru. Obrolan nirguna seputar orang lain, lingkungan sekitar, sampai selangkangan. Gue sendiri takjub dengan kemampuan mereka di hal itu kalau mengingat obrolan kami dulu yang dimulai dengan politik Jogja tapi kemudian berujung pengalaman ranjang teman kami dengan janda. Apa pun topik awalnya, semua bisa berujung ke hal saru kalau ngobrol dengan mereka, tentunya dalam atmosfer candaan.

Tetangga sebelah kontrakan yang terdiri dari kakek-kakek chatty sampai bapak dan ibu RT yang dikaruniai anak kecil psikopat. Desa kecil di ujung jalan Affandi daerah Gejayan yang kesehariannya terkesan santai namun kebutuhan sehari-hari tercukupi. Berbeda dengan kota besar yang hectic namun ada saja keluhan kalau merasa kurang dalam hal materil. Desa itu pun dikepalai oleh dukuh yang sangat santai. Kami sering bertemu dan ngobrol tentang hidup.

Sapaan "bro" dari mas-mas warung makan langganan di daerah Deresan yang dikenalkan dulu sekali oleh teman gue yang berasal dari NTT, Erick, yang merupakan contoh nyata mahasiswa abadi. "Penyetan terenak di sekitar sini, Mar." ucapnya dulu yang gue percayai karena dia orang lama di sana, tapi memang enak sampai gue bersama teman-teman berlangganan dan menyebutnya "Penyetan Erick" bahkan sampai jauh setelah Ericknya sendiri sudah pulang ke NTT.

Rumah di desa Kasihan Bantul beserta orang-orang di dalamnya. Rumah yang sesekali gue hampiri untuk mendatangi pasangan gue, Karola, demi menghilangkan dahaga batin karena rindu atau sekadar butuh pemandangan yang menyejukkan mata. Biasanya ketika menginjakkan kaki di depan pintu rumahnya, gue langsung disambut oleh gonggongan anjing-anjingnya bersamaan dengan keramahan ibunya beserta kedua neneknya, lalu disuguhkan hidangan kecil juga obrolan ringan penuh wisdom dari ibunya yang bijaksana dan berwawasan luas. Ada hal yang lucu menurut gue, jadi karena gue memiliki akar keluarga di Jogja dan Jogja itu sempit, ternyata keluarga gue dan keluarga pasangan gue saling kenal. Hal ini baru gue ketahui setelah kami berpasangan. Jadilah sesekali obrolannya tentang keluarga.

Hal-hal seperti itu membuat gue merasa sangat berat untuk meninggalkan Jogja Maret kemarin. Tapi ya alam semesta seakan memaksa untuk balik ke Bekasi dulu.

Gue pernah memutuskan untuk tidak akan permanen hidup di Bekasi atau Jakarta, tapi akhirnya malah kembali ke Bekasi dan bolak-balik Jakarta. Tapi apakah akan permanen? Gue sangat berharap nggak.