Friday, January 29, 2021

Dekat dengan Covid

Dalam beberapa bulan belakangan gue sudah empat kali dekat dengan covid. Percayalah, sensasi cemas setelah dekat dengan covid itu nggak nyaman.

Tentunya hanya dekat saja, kena covid sendiri untungnya belum pernah. Entahlah, mungkin i̶m̶a̶n̶ imun gue kuat atau hanya sekadar beruntung.

Pengalaman terakhir dekat dengan covid adalah ketika gue bertemu dengan teman gue pas gue sedang di Cakung. Gue satu ruangan dengan dia sambil menunggu informasi dari klien karena gue ada tugas menghampiri vendor dan si klien tersebut. Teman gue memakai masker karena dia batuk-batuk terus dan mengaku bahwa badannya tidak enak pasca menangani virtual event beberapa hari sebelumnya. Gue tahu bahwa ketika menangani event itu bisa sangat melelahkan dan membuat daya tahan tubuh turun karena terlalu capek setelahnya, oleh karena itu ketimbang bilang "Sepertinya kecapekan doang, man." Sebagai teman yang baik gue bilang ke dia "jir, kena covid itu mah!" Sambil tertawa-tawa.

Dan besoknya dia swab antigen dan beneran covid.

Setiap kali tahu kalau gue baru dekat dengan covid, gue selalu cemas. Khawatir akan menulari keluarga di rumah. Gue biasanya akan mengurung diri di kamar untuk menghindari anggota keluarga yang serumah dengan gue. Kalau keluar kamar pun gue selalu bermasker dan senantiasa menghindari mereka layaknya najis.

Keluarga gue pun sangat supportif ketika gue mengurung diri di kamar. Terutama bokap gue yang setelah gue bilangin berkali-kali kalau gue adalah ODP dan mau isolasi di kamar selama beberapa hari, tetapi dia dengan senantiasa bilang "Di kamar melulu kamu."

"Oji lagi isolasi mandiri, Pa. Kemarin baru berinteraksi dengan orang yang positif covid. Takut nularin keluarga. Makanya dari kemarin di kamar dan kalau keluar kamar pun pakai masker di rumah. Paling nggak 3 hari dulu isolasinya sebelum swab test lagi di RS." Jelas gue.

"Oooh, gitu. Yaudah, nanti jangan lupa ke mesjid ya untuk solat Jumat." Balasnya. 

"Lah...?" Gue merespon dengan malas. Kadang bapak gue suka membuat gue heran.

Gue ingat pertama kali mengalami kejadian itu (dekat dengan covid) ketika ada virtual event 17 Agustus di kantor Pertamina. Setelah meeting, salah satu orang Pertamina bilang kalau di ruangan meeting itu tadi ada beberapa orang Pertamina lainnya yang beberapa hari lalu kontak dengan orang yang positif covid di lantai lain, baru dikasih tau ke peserta meeting ketika meeting sudah selesai supaya meeting lancar dan tidak ada yang panik. Dan dia salah. Satu ruangan mukanya langsung panik termasuk gue. Gue langsung menelepon orang rumah, memberitahu kalau gue baru berinteraksi dengan ODP dan nggak bisa pulang sampai hasil PCR ODP yang berinteraksi dengan kami dinyatakan negatif semua. Ternyata Pertamina saat itu memang sedang dalam status karantina karena sudah banyak yang kena. Diadakan event di sana karena memang petingginya yang meminta.

Kantor memang tempat paling bagus kalau orang-orang ingin mengadopsi covid untuk dibawa pulang. Kluster paling sering ditemui memang perkantoran. Oleh karena itu pagi tadi gue cemas ketika berkunjung ke kantor Microsoft Indonesia untuk mengantarkan invoice. Belum lagi prokes yang digalakkan di sana tidak begitu ketat DAN ada banyak orang. Dan tebak teman gue tadi terkena covid setelah menangani virtual event siapa? Yak, benar Microsoft.

Well, gue sendiri tidak berlama-lama di sana. Soalnya setelah menghubungkan titik-titik yang terpencar tadi, sudah jelas kalau di sana adalah ladang penyakit. Gue nggak mau mengambil resiko. ¯\_(ツ)_/¯

Ya semoga saja kali ini gue selamat lagi dari cengkeraman covid. Jadi totalnya lima kali dekat dengannya. Haha.

Wednesday, January 20, 2021

Pulang?

Tepat dua minggu lalu gue kembali ke Bekasi dari kunjungan gue ke Jogja selama setengah bulan lebih sedikit lamanya. Rencana awal sepertinya hanya sampai tanggal 2 atau 3 Januari, tetapi setelah dipikir-pikir gue mau berlama-lama juga dengan sang partner, lalu setelah gue tanya ke dia akhirnya malah sampai tanggal 6 dari tanggal 21 Desember. Haha.

Gue ke Jogja selain karena ingin menemani dia untuk menghabiskan malam Natal dan tahun baru, juga untuk menghadiri pernikahan kakaknya yang jatuh pada tanggal 29.

Karena sedang berada di situasi pandemi ini, gue tidak mau membawa virus ke rumahnya di daerah selatan Jogja sana. Jadi gue melakukan test swab dulu secepatnya sebelum bertemu dengan keluarganya. Biar aman. Oleh karena itu di tiga hari pertama gue menetap di utara Jogja, sekalian bertemu dengan teman-teman gue (gue berani karena gue yakin kami semua negatif) dan napak tilas mengelilingi di daerah utara sekaligus reuni dengan kuliner yang biasa gue santap ketika gue masih tinggal di Jogja.

Banyak sekali perubahan yang terasa ketika gue mengamati Jogja lebih jauh kali ini. Agustus lalu gue juga ke Jogja, tapi tidak selama dan sejauh ini muter-muternya, sehingga pada saat itu gue tidak bisa mengamati banyak hal di banyak sudut kota Jogja dan sekitarnya. Kali ini mata gue bisa melihat pandemi brengsek ini berhasil mengubah banyak hal di Jogja. Banyak sekali tempat jualan yang tutup adalah salah satunya.

Tapi di sisi lain, secara keseluruhan Jogjanya pun sudah terasa berbeda dengan Jogja yang dulu gue rasakan. Sisi magisnya sudah nggak terasa lagi. Entah karena pandemi sehingga yang gue dengar dari para orang Jogja hanya yang jelek-jelek saja dan secara tidak sadar membuat otak gue menolak keistimewaan Jogja, atau karena gue sudah terbiasa tidak di Jogja.

Pada saat itu gue masih denial. Sampai ketika gue sudah seminggu lebih di Jogja (sudah swab dll), gue tetap mendapatkan perasaan yang sama ketika gue muter-muter sendirian mengelilingi bagian utara dan selatan Jogja. Romantisnya Jogja yang sering orang lebih-lebihkan itu sudah tidak lagi terasa, bahkan setelah gue mendengarkan lagu Pulang dari Float yang diulang-ulang saat menelusuri Jalan Malioboro yang sudah agak lega. Rasa "pulang" itu tidak ada. Padahal dulu lagu itu waktu gue dengarkan ketika gue baru sampai Jogja atau pergi dari Jogja memiliki sihir kuat yang selalu berhasil membuat hati terenyuh. Jogja sudah berubah.

Tiba akhirnya di tanggal 6 Januari, di mana saatnya gue harus pergi meninggalkan Jogja beserta orang di dalamnya. Gue selalu bilang "balik" ketika mau pergi ke Bekasi, kota padat yang hectic ini. Dan bilang "pulang" ketika gue mau ke Jogja. Itu semua diucapkan secara tidak sadar selama bertahun-tahun. Namun... Kunjungan gue ke Jogja kemarin tidak terasa seperti "pulang". Ada rasa seperti tidak diinginkan lagi oleh Jogja.

Ketika gue pergi meninggalkan Jogja kemarin, baru pertama kali itu gue merasa lega. Bahkan beberapa hari sebelumnya gue menunggu hari itu tiba. Apakah Jogja bukan lagi rumah untuk batin gue ini? Semoga saja tidak, karena tentu gue masih merasa Bekasi tidak bisa mengisi peran itu. Gila kali haha. 

Semoga saja perubahan ini hanya karena efek pandemi yang (semoga) sesaat.