Saturday, July 22, 2023

Mesin Waktu

Beberapa waktu lalu gue keliling daerah Tebet. Niat awalnya adalah untuk mencari liquid rokok elektrik karena pada saat itu punya gue sedang menuju habis. Setelah menemukan tokonya dan membeli dua botol, tanpa ba-bi-bu gue langsung bergegas pulang ke kediaman gue di Menteng Dalam. Belum sempat keluar dari daerah Tebet, di perjalanan tiba-tiba ingatan masa lalu muncul di dalam kepala gue dan gue berucap dalam hati "Ini adalah jalan pulang gue pas TK dulu.".

Sebagai informasi pelengkap, gue dulu mengenyam bangku taman kanak-kanak di daerah Menteng Dalam, di satu sekolah bernama TK Melur--yang di mana sekarang sudah menjadi rumah dinas salah satu BUMN perbankan. Namun, rumah gue berada di Bekasi, yang membuat gue dan bokap setiap hari bolak-balik Jakarta - Bekasi. Bokap untuk bekerja di TVRI dan RRI, sedangkan gue untuk bermain di taman kanak-kanak dan kemudian menunggu bokap pulang untuk menjemput gue di rumah nenek.

Jadi... ya, saat itu gue melewati jalan yang sering gue lalui ketika gue masih TK. Ingatan gue kemudian mengantarkan gue untuk mengingat kembali satu objek spesifik yang berasosiasi dengan jalanan itu, jalanan yang gue sering lewati saat gue TK, yaitu: bubur ayam.

"Masih ada nggak ya?" pikir gue saat itu. Karena sudah lama sekali kan, sekitar 27 tahun gue tidak pernah kembali ke sana. Saat menyapu jalanan dengan mata, ternyata ketemu!

Bubur Ayam Sukabumi Tebet 1 namanya. Letaknya di sebelah Sop Ayam Klaten Pak Miin, dekat dengan McDonald's Tebet. Sudah ada banyak perubahan, tetapi yang membuat gue yakin kalau itu tempatnya adalah denah dalam ruangan di tempat makan bubur itu. Masih ada kesamaan dengan apa yang ada di dalam ingatan gue yang berbayang.

Ada perasaan aneh yang nyaman di dalam diri gue.

Gue memesan satu bubur ayam biasa, karena ingin menyamakan dengan apa yang gue makan saat kecil. Saat makanan datang beserta jus alpukat yang gue pesan, gue langsung mengambil suapan pertama, dan... BOOM! Nostalgia.

Gue teringat saat di mana ketika sore-sore sang ayah mengajak ke sana untuk mengunyah. Gue ingat bubur yang gue makan saat gue kecil itu memakai saos sambal, karena tidak dibolehkan memakai bubuk lada atau sambal, takut terlalu pedas untuk anak lima tahun yang nakal. Gue sekilas melihat ada bayangan bokap gue di sebrang meja, memakai kemeja biru sedang menyantap buburnya dengan lahap.

Serasa habis menggunakan mesin waktu, gue seketika kembali ke masa lalu. Keren sekali!

Otak kita diciptakan untuk mengingat, bukan untuk melupakan. Indera yang kita punya adalah instrumen yang membantu otak untuk membantu mengingat. Menurut gue pribadi indera pengecap dan indera penciuman adalah dua yang terbaik dalam konteks ini. Dan yang berperan dalam perjalanan masa lalu gue kemarin adalah indera pengecap.

Indera penglihatan bagaimana? Ya juga sama. Seperti beberapa jam lalu contohnya, gue baru saja melihat beberapa video atau foto lama yang berada di dalam ponsel gue. Gue jadi teringat bagaimana gue dan sekeliling gue pada saat gambar itu diambil. Bahkan gue ingat perasaan bahagia yang gue rasakan ketika momen itu diabadikan.

Wisata masa lalu dengan mesin waktu sederhana.

Tapi yang sudah ya sudah, masa lalu tidak bisa diulang mau bagaimana pun bahagianya saat lalu. Tidak baik terlalu sering kembali ke masa lampau lewat jalur ingatan. Kita harus ingat bahwa kita menua setiap detiknya dan masa depan selalu menunggu, yang sudah pasti kita lakukan adalah menjalaninya saja.

Lalu bagaimana rasa buburnya? Kebetulan rasa yang tercampur nostalgia saat itu cukup enak.

Friday, January 13, 2023

54321

5 bulan lalu dia terombang-ambing. Hilang arah, bingung harus merasa apa, entah. Hidung kirinya tersumbat, membuat nafas yang diambil hanya setengah. Tentu merasa sesak lah.

4 bulan lalu angin lembab di cuaca mendung ia terpa. Dia suka rasanya, karena dia akrab dengan suasananya. Tidak panas, tidak hujan. Di tengah-tengah. Dia hirup dalam-dalam udaranya sampai dia tersadar kalau nafasnya sudah terasa enak pada saat itu, bahkan mungkin lebih lega.

3 minggu lalu tawanya masih menggelegar seakan tidak ada masalah apa pun di hidupnya. Tentu itu hanya caranya menyembunyikan beban yang sebenarnya ada. Dia rasa tak apalah sesekali saja, tapi "sesekali"-nya itu sudah tak terhitung dan menggunung. Ketika sadar, kembali dia membatin "ya sudahlah. Sesekali saja." memang kebiasaan buruk tampaknya.

2 kali dia rasa harus bergegas agar lepas padahal. Dua kali pula dia mendeklarasikannya. Tapi lepas bagaimana dia pun tak tahu. Kebiasaan buruk, pola yang buruk, tampaknya sudah menjadi candu karena terbiasa. Sampai pada akhirnya...

1 jam lalu dia mendapatkan pemicunya. Pecutan keras untuknya berpikir keras kalau memang dia harus lepas agar bebas. Hal yang mendorongnya untuk melakukan kebaikan untuk dirinya, tapi dia sendiri tidak bangga dengannya. Pagi buta adalah saat yang membuatnya bergidik. Bimbang bukan kepalang. Tidak bisa tertidur padahal sebelumnya mata sudah mengajaknya untuk melindur. Perlahan hitam pekat di luar jendela berubah menjadi hitam terang. Dia takut akan pagi, tapi mentari sudah siap masuk dalam hitungan detik. Seraya cahaya matahari menyala, dia kembali membatin, "ya sudahlah..." dan...

5... 4... 3... 2... 1.

Selesai.

Tuesday, January 3, 2023

Mo(m)nolog

Baru saja ada seseorang yang jauh di sana meminta gue mengirimkan voice note berisi gue membaca tulisan gue yang ini untuk dijadikannya pengantar tidur. Tiba-tiba gue teringat beberapa hari lalu ketika ibu gue ulang tahun.

Selamat ulang tahun, Ma!

Pada hari ulang tahunnya yang jatuh di tanggal 27 Desember kemarin, gue menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Ritual tahunan yang akhirnya bisa gue lakukan beberapa tahun belakangan, karena gue sudah tidak lagi di Jogja terhitung semenjak 2020.

Di kunjungan ulang tahun yang ketiga ini sedikit berbeda, gue bercerita banyak hal kepada dirinya. Berbincang satu arah di depan makamnya. Makam kecil yang ditandai dengan batu marmer sederhana di pemakaman daerah Jakarta.

Gue selalu menganggap kalau berbicara kepada makam layaknya film drama itu adalah hal yang konyol. Biasanya di film-film hal itu dilakukan oleh karakter utamanya untuk memberikan efek dramatis, atau hanya sekadar untuk memberitahu penonton kalau ada sesuatu yang sudah, sedang, atau akan terjadi di film tersebut. Konyol sekali pokoknya! Namun, setelah melakukannya sendiri, ternyata tidak sekonyol itu.

Apa yang membuat gue melakukan itu? Ya alasannya sama dengan alasan kenapa gue melakukan banyak hal: karena ingin saja. Gue rasa pada saat itu gue hanya sedang ingin bercerita tentang banyak hal di kehidupan gue tanpa ada umpan balik. Cuman ingin didengarkan.

Gue bercerita tentang bagaimana kehidupan gue sekarang, kabar keluarga, pertemanan baru gue, masalah asmara, dan hal lainnya. Juga tidak lupa gue meminta maaf kalau gue sekarang mungkin tidak akan membuat dirinya bangga andai saja dia masih hidup, haha.

Gue juga bercerita bagaimana gue sering berandai-andai bagaimana jadinya hidup gue kalau misalnya dia tidak pergi secepat itu. Karena jujur saja hidup yang gue jalani dari dulu tak ada arahan dari orang tua, dan gue tahu bahwa dia adalah orang yang mampu mengarahkan anaknya, memberikan saran dan arahan dengan bijak karena dia adalah orang yang bijak... Setidaknya itu apa yang orang-orang katakan.

Gue banyak bicara di makam, tetapi juga banyak terdiamnya. Bukan merenung atau apa, hanya bengong menikmati kesendirian bersama dirinya. Berkhayal kalau dia ada di samping gue ketika gue bercerita, dan memeluk gue sambil berkata "semua akan baik-baik saja, Zi. Kamu kan anaknya mama.", tentunya khayalan tetaplah menjadi khayalan, haha. Jadinya gue hanya bisa membayangkan kalau angin sepoi-sepoi yang berhembus saat itu adalah pelukannya, karena rasanya nyaman.

Tanggal 27 Desember kemarin cukup lama gue duduk di samping makamnya. Duduk bercerita diselingi bengong sambil merokok, lalu tanpa terasa sudah 4 batang rokok gue habiskan dan waktu memberitahu kalau gue sudah di sana sejam lebih. 

Gue membersihkan sedikit dedaunan dan bunga kering di makamnya, kemudian menebar kembang baru di atasnya, lalu menyiraminya dengan air mawar, setelah itu gue pamit untuk pulang. Seperjalanan pulang, entah kenapa gue merasa hati ini agak ringan. "Ini yang orang rasakan ketika pergi terapi kali ya?" pikir gue, hahaha.

Sekali lagi selamat ulang tahun, Ma! 

Terima kasih sudah mendengarkan...

Monday, December 12, 2022

Bar Ngebar

"Gue mau minta tolong sama kalian ya, nanti tanggal 23 gue mau bikin event Natal, temanya Christmas Love Song," ucap teman gue yang pemilik bar di suatu daerah di selatan Jakarta kepada gue dan satu teman gue. Obrolan ini terjadi baru tadi sekitar jam 3 pagi ketika kami bertiga sedang duduk-duduk di parkiran sembari cari angin. Kami pun bertanya bantuan seperti apa yang dia butuhkan. Apakah perihal promosi, teknis acara, sumbang ide untuk daftar lagu? Dia pun melanjutkan, "gue mau banget di malam itu banyak yang make out." dan gue tertawa bersama teman gue yang satunya lagi, karena kami sadar kalau baru saja diminta tolong untuk memulai berciuman bersama pasangan agar pengunjung lainnya pun berani untuk melakukan hal yang sama di bar tersebut. Dimintai tolong agar menjadi instrumen untuk melakukan perbuatan berdosa. Astaghfirullah... Or should I say astaghfirulove.

Bar yang gue sebut tadi adalah salah satu dari sekian banyak cabang bar yang berada di bawah nama yang sama. Namun, yang paling gue sering datangi adalah yang itu. Tapi jangan salah, gue sering datang ke sana bukan karena gue alkoholik atau bagaimana, tetapi karena orang-orangnya.

Gue bukanlah orang yang tidak bisa bersenang-senang tanpa minuman. Gue punya banyak cara lain untuk membuat diri gue bisa menikmati diri sendiri. Lagipula gue tidak begitu menikmati rasa alkohol seperti yang pernah gue bilang di tulisan lama gue. Rasa susu strawberry tentu masih dan akan tetap menjadi nomor #1 di peringkat minuman terenak menurut gue. Jadi bisa dengan percaya diri gue bilang bahwa gue bukanlah alkoholik.

It's the people.

Pada awalnya gue sering datang sendiri ke sana. Tidak punya kenalan atau teman di bar itu, murni hanya datang sendiri karena ingin menyendiri di suatu tempat yang tidak asing dan asik. Namun lama kelamaan karena frekuensi datangnya tinggi dan gue juga ngobrol sana-sini, gue jadi kenal banyak teman baru dari sana dan dikenal oleh orang yang bahkan gue tidak tahu itu siapa. Entah sudah berapa kali gue disapa "Eey, Mar!" oleh pengunjung tapi hanya gue balas "eits, apa kabar?" karena gue nggak tahu orangnya atau namanya.

Sampai sekarang pun gue masih sering datang sendiri ke sana, karena gue tahu pasti ada saja orang yang gue kenal sedang berada di sana. Bahkan kalau gue ke bar sama di cabang lainnya, gue yakin bahwa pasti ada wajah yang gue kenal. Kalau bukan pengunjung lain, ya paling tidak pemilik atau pekerja bar itu lah.

Dari dulu sampai sekarang gue masih beranggapan bahwa rumah adalah tempat di mana lo bisa merasa nyaman dan aman. Tempat di mana lo akhirnya bisa merasakan bahagia ketika lo sedang dalam kondisi sebaliknya. Tempat di mana lo bisa yakin tidak akan merasa kesepian ketika berada di sana. Seringkali yang gue dapati rumah itu bukanlah berbentuk bangunan, melainkan berbentuk orang. Dengan definisi seperti itu, gue rasa sah saja kalau gue merasa bar tersebut sepertinya adalah rumah untuk gue.

Tidak salah dong kalau sering datang ke rumah? H3h3...

Monday, November 21, 2022

Seminggu

"Do you miss mami, Pa?" Tanya si kecil nomor dua, Kinar, ketika kami sedang di ruang tengah sambil duduk santai di atas sofa, menonton serial kartun malam yang biasanya dia tonton bersama mendiang istri saya. Kakaknya, Kinal, terlihat sudah terlelap sejak setengah jam lalu, bahkan ketika acaranya belum mulai.

Hari ketujuh. Seminggu sudah dia pergi meninggalkan kami. Selama itu juga sesak di dada ini masih ada karena merindukannya. Tentunya saya masih tidak siap kehilangan sosok seorang istri, begitu pula dengan anak-anak kami yang tidak siap kehilangan sosok seorang ibu. Tujuh hari tanpa mengecup keningnya. Seminggu tanpa memeluknya di pagi hari atau malam hari, walau sedang ngambek atau kesal. Yah, sebuah kebiasaan yang hilang.

Namanya banyak. Kalina, Lina, Linlin, Meimei, Alin, Mommy Kinar atau Mommy Kinal, Maam Lina, dan favorit saya: sayangku. Dia tidak suka dipanggil demikian, saya pun tahu itu, makanya saya sering memakai panggilan itu untuk menggodanya. "Panggil nama aja sih!" Katanya, tapi saya suka melihat mukanya yang juga tersipu ketika saya panggil demikian, haha.

Dia adalah orang yang sangat enerjik, ceria, dan mempunyai tawa yang menggelegar, saking kerasnya kalian bahkan bisa mendengarkannya dari ujung ruangan suara tertawanya yang biasanya keluar ketika saya sedang menceritakan lelucon yang sebenarnya receh. Oh iya, dia mudah sekali tertawa, dan ketika dia tertawa biasanya akan memukul atau menyubit saya karena gemas. Dia juga orang yang hangat, pintar, lebih suka memeluk ketimbang jabat tangan ketika bertemu kenalan. Dia adalah tipe yang kalau pergi ke suatu acara, akan membuat sekitar menjadi meriah dengan pembawaannya yang positif, celotehannya yang tajam, lucu, atau bahkan pedas. Padahal dia sendiri tidak suka makanan pedas.

Jalan-jalan dan makan enak adalah kegemarannya. "Lessgooo!" Begitu kata dia setiap kali melihat destinasi makanan yang baginya terlihat menarik di Instagram atau Twitter. Walau dia memiliki beberapa masalah kesehatan karena makanan tertentu, tapi dia tidak peduli. Living in that moment and not worrying much for the future. "Kapan lagi kan..." begitu kira-kira kalimat andalannya.

Dia menyayangi orang tuanya, orang tua saya, saudaranya, juga saudara-saudara saya dengan sepenuh hati. Ketika saya bilang sepenuh hati, maka benar-benar sepenuh hati. She would remember the birthdays, mengirim bunga atau hadiah, dan menyiapkan acara khusus untuk mereka walaupun dia sedang tidak begitu sehat pada saat itu. Tapi ya memang begitulah dia, keras kepala, keukeuh, dan memiliki hati yang amat besar walau badannya kecil. Tidak heran kalau banyak yang menyayanginya.

I miss her so much...

So much...

"Do you?" Tanya saya balik ke Kinar. Dia tertawa kecil dan menjawab iya. Saya pun menjelaskan kalau saya pun merindukan ibunya.

"What are you doing when you miss mami, papi?"

"Hmmm... Coba untuk tutup mata, terus kita bisa self-hug yang laaaamaaa. Kemudian bayangin kalau mami juga peluk kita dari surga." jawab saya dengan suara agak bergetar.

"Okay!" Jawab Kinar sambil mengangguk dan tersenyum, kemudian memalingkan kepalanya ke arah televisi untuk lanjut menonton.

Saya mengelus kepalanya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan saya mengusap mata supaya airnya tidak jatuh ke pipi.