Saturday, April 10, 2021

Tengah-tengah

Beberapa jam lalu PM telah berganti menjadi AM. Pikiran sudah mulai aktif membayangkan hal-hal liar nan imajinatif karena sedang senggang dan suasana sunyi. Ketika masih berkutat dengan iklan, saya suka waktu-waktu seperti ini. Ditambah dengan kafein dari minuman berenergi, maka ide cemerlang senantiasa suka menghampiri. Ritual ini saya mulai suka geluti ketika masih kuliah di Jakarta.

Namun untuk detik ini saya malah tidak suka kalau masih terjaga di jam segini.

Rawan.

Beberapa jam lagi di satu minggu lalu, saya mendapatkan panggilan telepon yang cukup mengguncang dunia saya. Panggilan telepon yang menjadi alasan saya terlihat seperti pecandu narkoba yang sedang tinggi-tingginya setiap hari.

"Wah, skip lo." Adalah kalimat yang frekuensinya di minggu ini lebih sering saya dengar di tempat kerja ketimbang minggu-minggu sebelumnya. Tentunya saya mengerti kalau itu dilontarkan dengan rasa sayang, oleh karena itu saya membalasnya dengan senyum dan panggilan sayang juga ke mereka. "Babi." Balas saya.

Jujur saja saya sangat-sangat rapuh di lima hari pertama. Tidak perlu saya ceritakan bagaimana ringkihnya saya pada saat itu, tapi yang jelas saya coba untuk manipulasi otak saya agar tidak berlarut-larut. Pernah belajar tentang dinamika romansa ternyata memang agak membantu di masa post-relationship begini.

Satu hal yang saya sangat ingat dari pelajaran itu adalah ada terapi untuk membantu meringankan beban di dada ketika berada dalam posisi saat ini, yaitu dengan menulis. Saya sangat ingat poin itu dibanding yang lain karena kebetulan menulis adalah kesukaan saya. Haha.

Menulislah saya tentang rasa dengan rutin. Hanya saja bukan di "rumah" ini, saya pikir kemarin harus pindah ke blog baru agar isinya fokus. Ternyata memang agak membantu. Saya merasa agak berbeda dengan saya yang lampau.

Saya merasa lebih baik.

Namun memang bajingan waktu yang sunyi ini. Raga yang beristirahat dikombinasikan dengan pikiran yang senggang membuat saya "bunuh diri", saya menjadi nekat membaca percakapan lama sampai beberapa bulan lalu. Gravitasi lubang hitam kemurungan berusaha menarik saya kembali ke dalamnya.

Saya coba memanipulasi otak lagi dan hampir gagal. Namun tidak begitu sukses juga. Tengah-tengah.

Ketika sedang menjadi masokis tadi, saya sadar ternyata saya memang orang yang memiliki intuisi bagus. Saya ternyata setengah cenayang karena bisa membaca masa depan. Banyak hal yang merupakan kekhawatiran saya di masa lalu yang ternyata menjadi kenyataan.

Kekhawatiran saya ternyata relevan.

"My ability to connect the dots is remarkable." Ucap saya dulu dengan bercanda, tapi... Wow... Keren juga saya.

Saya bangga...

Saya kesal...

Aaah, tiba-tiba saya kangen saya yang tadi siang, Omar yang sudah merasa lebih baik.

Monday, April 5, 2021

OK, Goodbye

Sekarang jam 3 pagi. Saya terbangun dari tidur yang dimulai jam 10 malam. Tidur yang terlalu awal mengingat kemarin adalah akhir pekan dan saya tidak melakukan aktivitas yang melelahkan. Tapi entah kenapa saya lelah. 

Batin saya lunglai. 

Ah saya tahu kenapa. Pasti karena hati saya baru saja hancur lebur. Perasaan sakit menggerayangi dada sebelah kiri 24 jam. Jantung berdebar kencang ditambah rasa berat, membuat nafas menjadi tersendat.

Perih sekali ternyata.

Selama ini saya selalu meremehkan ketika teman saya atau orang lain bilang bahwa putus itu menyakitkan. "Cari gebetan lain saja. Biar nggak galau." adalah solusi yang saya tawarkan kepada mereka, mengingat itu cukup ampuh bagi saya ketika saya masih bujang. Tapi tidak, tidak semudah itu ketika merasakan putus cinta secara pribadi atas sebuah komitmen yang sudah terjalin lama.

Saya merasakan semua lagu patah hati bajingan menjadi relevan, sangat tidak nafsu makan, tidur tidak nyenyak, dan berkhayal kalau ini semua bukan kenyataan. Saya menjadi bodoh dan tidak bisa berfungsi dengan baik. Bisa dengan percaya diri saya bilang kalau saya tidak suka saya yang versi sekarang.

Saya benci ini.

Jadi beberapa hari lalu saya dan partner saya berpisah. Perpisahan yang diawali dengan sebuah gladi resik perpisahan selama dua bulan. Kami menyebutnya break. Terjadi hal seperti itu karena saya menjadi insecure, sebab hubungan jarak jauh ini memaksa saya menjadi demikian. Pada akhirnya insekuritas saya pun menjadi relevan.

Di dalam simulasi pisah selama dua bulan itu saya menyibukkan diri agar saya bisa tidak fokus ke perasaan negatif. Tidak memaksakan diri mencari pelarian lain, hanya fokus menyibukkan raga ini agar energinya habis terkuras. Saya berharap ketika saya seperti itu, di penghujung simulasi saya bisa menyambut partner saya dan melihatnya dengan cahaya yang baru. Pun kebetulan saya ditawarkan kesibukan oleh semesta. "Wah pertanda baik sepertinya." Pikir saya.

"Eits, tunggu dulu." Balas sang takdir sambil kemudian mengangkat saya ke langit tertinggi dan lalu menghempaskan saya kembali ke tanah.

Dua hari lalu sebuah panggilan agung akhirnya terjadi. Kami berbicara cukup lama, yang kesimpulan dari pembicaraan itu adalah kami tidak lagi bisa bersama. Tidak ada lagi cocoklogi atas sebuah kebetulan dengan campur tangan kosmik, tidak ada lagi candaan receh antara kami, tidak ada lagi ghibah yang mengundang tawa, tidak ada lagi pembicaraan berat berisi pandangan yang dalam atas suatu hal, tidak ada lagi romantisasi angka keramat, tidak lagi lagu-lagu cinta yang merupakan tema hubungan kami menjadi menenangkan.

Sakit sekali.

Putusnya sendiri sebenarnya tidak sesakit itu, yang membuat ini sangat perih adalah alasan kenapa saya tidak lagi bisa menerimanya. Alasan yang memiliki faktor sama dengan awal mula penyebab kami mengalami keruntuhan fondasi di dalam hubungan ini dari awal sekali, sehingga kami memutuskan untuk break. Itu yang membuat ini menjadi sangat menyakitkan. Karena selain rasa kecewa, juga ada amarah di dalamnya. Saya mungkin akan sedikit lega bila saja yang saya rasakan hanya sakit, tapi kita tidak bisa mengatur apa yang kita rasakan bukan?

Ya, sakit sekali. Saya tidak suka ini.

Selama enam setengah tahun ini, tak lewat satu hari pun saya memikirkan dia. Tak ada hari yang bolong saya menyayanginya. Saya sempat yakin bahwa kami bisa tetap bersama sampai kami tua. Saya tahu bahwa hampir semua pasangan seperti itu, tapi saya merasa perasaan saya itu beda. Karena saya yang merasakannya. Yakin yang seyakin-yakinnya. Tapi apa boleh dikata, toh akhirnya berpisah juga.

Hubungan jarak jauh memang bangsat. Kamu lucu sekali, wahai alam semesta.

Kami menjalani hubungan selama enam setengah tahun. Banyak canda dan duka yang kami bagi berdua. Setengah dari saya adalah ungkapan yang paling pas atas dirinya. Namun sangat disayangkan kami tidak lagi bisa bersama.

We are not OK anymore.

I will miss us.

Selamat tinggal dan terima kasih.

Duh, sakit sekali. Saya tidak suka ini.