Monday, November 21, 2022

Seminggu

"Do you miss mami, Pa?" Tanya si kecil nomor dua, Kinar, ketika kami sedang di ruang tengah sambil duduk santai di atas sofa, menonton serial kartun malam yang biasanya dia tonton bersama mendiang istri saya. Kakaknya, Kinal, terlihat sudah terlelap sejak setengah jam lalu, bahkan ketika acaranya belum mulai.

Hari ketujuh. Seminggu sudah dia pergi meninggalkan kami. Selama itu juga sesak di dada ini masih ada karena merindukannya. Tentunya saya masih tidak siap kehilangan sosok seorang istri, begitu pula dengan anak-anak kami yang tidak siap kehilangan sosok seorang ibu. Tujuh hari tanpa mengecup keningnya. Seminggu tanpa memeluknya di pagi hari atau malam hari, walau sedang ngambek atau kesal. Yah, sebuah kebiasaan yang hilang.

Namanya banyak. Kalina, Lina, Linlin, Meimei, Alin, Mommy Kinar atau Mommy Kinal, Maam Lina, dan favorit saya: sayangku. Dia tidak suka dipanggil demikian, saya pun tahu itu, makanya saya sering memakai panggilan itu untuk menggodanya. "Panggil nama aja sih!" Katanya, tapi saya suka melihat mukanya yang juga tersipu ketika saya panggil demikian, haha.

Dia adalah orang yang sangat enerjik, ceria, dan mempunyai tawa yang menggelegar, saking kerasnya kalian bahkan bisa mendengarkannya dari ujung ruangan suara tertawanya yang biasanya keluar ketika saya sedang menceritakan lelucon yang sebenarnya receh. Oh iya, dia mudah sekali tertawa, dan ketika dia tertawa biasanya akan memukul atau menyubit saya karena gemas. Dia juga orang yang hangat, pintar, lebih suka memeluk ketimbang jabat tangan ketika bertemu kenalan. Dia adalah tipe yang kalau pergi ke suatu acara, akan membuat sekitar menjadi meriah dengan pembawaannya yang positif, celotehannya yang tajam, lucu, atau bahkan pedas. Padahal dia sendiri tidak suka makanan pedas.

Jalan-jalan dan makan enak adalah kegemarannya. "Lessgooo!" Begitu kata dia setiap kali melihat destinasi makanan yang baginya terlihat menarik di Instagram atau Twitter. Walau dia memiliki beberapa masalah kesehatan karena makanan tertentu, tapi dia tidak peduli. Living in that moment and not worrying much for the future. "Kapan lagi kan..." begitu kira-kira kalimat andalannya.

Dia menyayangi orang tuanya, orang tua saya, saudaranya, juga saudara-saudara saya dengan sepenuh hati. Ketika saya bilang sepenuh hati, maka benar-benar sepenuh hati. She would remember the birthdays, mengirim bunga atau hadiah, dan menyiapkan acara khusus untuk mereka walaupun dia sedang tidak begitu sehat pada saat itu. Tapi ya memang begitulah dia, keras kepala, keukeuh, dan memiliki hati yang amat besar walau badannya kecil. Tidak heran kalau banyak yang menyayanginya.

I miss her so much...

So much...

"Do you?" Tanya saya balik ke Kinar. Dia tertawa kecil dan menjawab iya. Saya pun menjelaskan kalau saya pun merindukan ibunya.

"What are you doing when you miss mami, papi?"

"Hmmm... Coba untuk tutup mata, terus kita bisa self-hug yang laaaamaaa. Kemudian bayangin kalau mami juga peluk kita dari surga." jawab saya dengan suara agak bergetar.

"Okay!" Jawab Kinar sambil mengangguk dan tersenyum, kemudian memalingkan kepalanya ke arah televisi untuk lanjut menonton.

Saya mengelus kepalanya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan saya mengusap mata supaya airnya tidak jatuh ke pipi.

Tuesday, November 15, 2022

Hari Lahir

Pagi tadi... Ya atau kemarin pagi, berhubung sekarang sudah lebih dari tengah malam ketika gue menulis ini. Gue mengobrol dengan bokap gue di ruang makan ketika dia baru saja selesai memasak mie instan dan mau menyantapnya.

"Pa, mau nanya dong!" seru gue ketika dia sedang mengaduk mie instannya di dalam mangkuk biru hadiah dari deterjen.

"Nanya apa?" Tanyanya kebingungan. Gue dapat pahami, karena anaknya yang sudah jarang banget bertemu dengannya tiba-tiba di pagi hari langsung berkata seperti itu.

Sadar akan raut wajahnya yang kebingungan, tentunya gue tidak langsung bertanya. "Harus jahil dulu nih." pikir gue. Jadi kesempatan untuk membuat bokap gue semakin kebingungan pastinya langsung gue pakai.

"Jadi... Gini, Pa," gue berbicara dengan nada rendah, tempo bicara yang pelan, dan wajah yang agak serius. Tentunya bokap terlihat makin khawatir, itu membuat gue nggak tahan untuk merusak momennya dengan mengeluarkan senyuman. Tersenyumlah gue dan melanjutkan kalimat dengan nada normal, "ceritain dong pas Oji lahir itu gimana."

Selama 31 tahun hidup, gue nggak pernah mendengar cerita apa pun dari beliau mengenai hal ini. Informasi tentang kelahiran yang gue tahu hanya satu, yaitu gue lahir di hari Kamis. Itu juga gue cari tahu sendiri dengan menyetel tanggal gawai ke tanggal gue lahir. Jam berapa gue lahir, di mana lokasinya, proses persalinan gue dulu, dan hal lainnya sama sekali tidak ada yang gue tahu.

Singkat cerita kami ngobrol tentang hari itu. Ternyata gue lahir di pagi yang cerah di satu rumah sakit di Jatinegara. Gue dilahirkan dengan proses normal dan waktunya tidak lama. Ibu gue pun ketika mengandung dan melahirkan gue sedang tidak sakit, kangker yang beliau derita sedang mati suri alias sudah tidak terdeteksi lagi, intinya beliau sehat. Dan lucunya gue mendapatkan predikat bayi favorit saat itu dari para dokter dan para perawat, yang setelahnya bokap dan nyokap gue mendapatkan bingkisan dari rumah sakit. Baru lahir sudah dapat prestasi, tapi ketika besar justru tidak, huh! Hahaha.

Kami ngobrol selama 2 jam lebih. Obrolan tentunya tentang banyak kenangan yang ia punya ketika gue baru lahir sampai ketika ibu gue meninggal. Mendengarkan cerita sang bokap, kepala gue otomatis menerjemahkan ucapan-ucapannya menjadi sebuah film pendek yang ditayangkan di depan jidat gue. Seru sekali! Film seorang Omar Firdauzy, yang disutradarai oleh Omar Firdauzy, yang gambarnya diambil dan disunting oleh Omar Firdauzy, namun naskahnya ditulis oleh Pak Herman Zuhdi.

Ada satu perasaan nyaman ketika beliau bercerita tentang itu semua. Rasa hangat melihat sang ayah bercerita dengan wajah berseri yang dihiasi ceria dan haru, karena dia tampaknya juga menikmati nostalgianya. Sisi sang bokap yang belum pernah gue lihat sebelumnya.

Interaksi kami di pagi hari tadi membuat gue punya satu kesimpulan, kalau kami ternyata akan selalu merindukan sosok yang sama entah bagaimana situasinya. Memang dirimu itu adalah orang yang mustahil untuk tidak dirindu, Ma. :)

Thursday, November 10, 2022

Mendung



Gue paling suka ketika langit sedang gelap karena mendung.

Tahu kan maksudnya? Cuaca yang tidak panas tapi juga tidak hujan. Langit yang tampak gelap karena matahari ditutupi awan. Dan hembusan angin lembut yang sukarela menghantam badan.

Tentunya mendung juga kadang menyebalkan kalau misalnya terjadi ketika sedang banyak cucian. Bau-bau apek dan menganggu dari baju, bukanlah aroma favorit nomor satu.

Tapi ya di luar itu, mendung adalah cuaca yang paling gue suka karena syahdu. Apalagi kalau diiringi hembusan angin yang sepoi... Beuh! Sempurna! Nggak tahu ya, menurut gue romantis saja.

Beda cerita kalau yang mendung adalah suasana hati. Antonim dari kata "suka" sih yang biasanya terjadi. Rasanya ingin sekali awan-awan gelap itu cepat pergi, supaya jiwa raga ini bisa kembali berfungsi. Ketika itu semua dirasakan, biasanya gue cuman bisa pasrah menikmati keadaan. Sambil berharap supaya mendungnya tidak lama bertahan...

... Dan juga tidak disertai hujan.