Saturday, December 27, 2014

Surat Kecil

Sudah lama sekali ya? Haha. Sudah lama juga aku merindukanmu...

Ya, aku yakin bukan aku saja yang merindukanmu. Aku yakin banyak orang pun. Mereka kangen dirimu. Karena, hey, kau orang  yang hebat! Setidaknya itu kata mereka, orang yang menghabiskan waktu lebih lama denganmu ketimbang diriku.

Yang aku lihat dulu, kau adalah sosok yang galak. Beuh! Galak banget! Suka nyubit kalau aku nakal. Dan aku sering banget kau cubit, karena aku memang sangat nakal dulu. Haha.

Masih ada adegan yang teringat di kepalaku, ketika dulu aku nakal, kau membentakku dan mau memukulku dengan senjata pamungkasmu, selimut kecil warna putih dengan garis hijau (atau sebaliknya). Tapi sebelum kau mengambil selimut itu, aku berlari dan mengambilnya duluan. Lalu kau melotot, membentakku, dan mengancam akan memukulku dengan sapu lidi kecil. “Yaudah, aku pakai ini,” aku menantang duel sambil mengangkat selimut kecil itu. Kau tertawa, tidak jadi marah.

Ada adegan lain yang masih kuingat tentang kegalakanmu dulu. Ketika di mobil aku dimarahi olehmu, lalu kau mencubitku dan membuatku duduk di belakang sendiri. Aku masih agak ingat rasa cubitan itu. Suakit tenan! Kau selalu mencubit kecil, yang mana itu adalah senjata tangan kosong yang keji.

Kau galak. Kau suka mencubit. Aku takut padamu. Namun tidak sampai beberapa jam, kau berhasil membuatku suka bermanja-manja kepadamu.

Aku merasa nyaman ketika di pelukanmu. Sudah seharusnya.

Aku merasa aman di tanganmu. Sudah seharusnya.

Aku mencintaimu. Sudah seharusnya.

Sekarang sudah puluhan tahun aku tidak melihatmu. Tapi kurasa kau bisa melihatku selama ini. Curang!

Bisakah kau melihatku sekarang?

Aku harap aku tidak membuatmu malu.

Mungkin kau juga bisa melihatku berusaha menjadi seperti dirimu. Menjadi orang baik. Tapi harap maklum, aku hanya bisa menjadi orang baik yang suka bermalas-malasan. Haha.

Ah, kau tidak tahu betapa aku sangat ingin bicara denganmu di beberapa waktu. Aku ingin bercerita banyak!

Aku ingin curhat tentang masalah cinta ketika aku masih SMA dulu. Tapi kita tidak bisa berdialog.

Ketika lulus SMA, aku ingin meminta saran tentang kuliah. Tapi tak bisa.

Aku ingin mengeluh tentang pekerjaan, tapi lagi-lagi tak bisa.

Tak bisa. Banyak momen di mana aku tidak bisa meminta saranmu. Saran seorang wanita hebat yang bijak, seperti apa yang dikatakan mereka.

 Ah, aku kadang iri sama mereka. Bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersamamu. Aku ingin bisa curhat denganmu dan mendapatkan nasihat darimu.

Aku ingin bisa ngobrol tentang banyak hal denganmu selama ini. Seperti mereka. Tapi tak bisa.

Selama ini, aku iri.

Iri.

Aku merindukanmu.

Sudah lama sekali ya? Sudah lama juga aku merindukanmu... mencintaimu.

Selamat ulang tahun, Ma.


Apa yang sekarang kau lakukan di alam sana? Kalau Oji masih sama kayak biasa. Masih kangen mama.

Tuesday, July 22, 2014

Yak!



Pemuda itu sedang duduk di sebuah ruangan yang hanya berisikan satu meja kayu dan satu kursi kayu. Lantainya pun terbuat dari kayu. Sudah berdencit di sana-sini, menunjukkan bahwa lantai kayu itu sudah tua. Tembok bata yang hanya berhias dua jendela yang menghadap ke arah pegunungan dan satu pintu yang juga terbuat dari kayu, mengelilingi pemuda itu. Di atas meja terdapat sebuah kotak penyimpanan.

“Lo menang deh kayaknya,” ucapnya kepada kotak metal dingin di depannya. “Jadi, mari kita lakukan, kawan.” Dia membuka kotak itu dan mengeluarkan isinya: sebuah gelas, sebotol wine, sebungkus rokok, dan sebuah pistol. Itu semua untuk ritual bunuh dirinya.

Wajahnya tidak tampak depresi seperti orang yang akan bunuh diri. Biasa saja. Bahkan dia sempat senyum sambil mengeluarkan botol wine. “Ini kan perayaan transformasi gue jadi atom dan menyatu sama alam semesta, harusnya gue beli sampanye saja waktu itu.” Pikirnya sambil mengeluarkan botol tadi, dan dia bahkan sempat tertawa ketika dia melihat pelurunya terisi penuh padahal dia hanya butuh satu. Satu tembakan di kepala, dan semua selesai. Kembali lagi, dia tidak terlihat murung. Mungkin dia sudah terlatih menekan emosi negatifnya, jadi dia tetap tidak bisa berekspresi muram, walaupun dia hanya sendiri. Dia terlihat ceria. Namun ada yang bilang orang paling ceria yang kamu temukan biasanya adalah orang yang paling depresi. Mungkin itu benar.


Wine dituangkan ke gelas, dan dia pun menyalakan rokoknya. Tarikan dalam, lalu hembusan ringan, diikuti bibirnya yang menyisip gelas berisi wine. Diulang. Damai.

Ritual itu memang sudah dia siapkan sejak lama ketika dia sudah merasa kalau suatu hari dia tidak kuat. Hidup kadang bisa berat dari berbagai hal, bukan hanya segi finansial saja, namun dengan tahu kita harus hidup saja bisa menjadi beban. Oleh karena itu pemuda itu menyiapkan itu semua dari beberapa tahun lalu, untuk saat di mana dia sudah tidak mampu melawan hidup.

Sebuah pistol untuk membantunya, karena dia pikir itu adalah cara paling mudah walaupun kotor. Sebungkus rokok guna membantunya berpikir secara dalam untuk terakhir kalinya. Dan sebotol wine sebagai minuman terakhir, walaupun dia belum pernah meminumnya, tapi dia sering melihat bagaimana minuman itu didewakan oleh orang-orang. Dia ingin meminum dewa sebelum bertemu dengan dewa. Semua ritual kematiannya dibuat seromantis mungkin, karena dia suka mengistimewakan hal-hal yang sepele, bahkan untuk kematiannya yang sebenarnya tidak akan dia rasakan keistimewaannya. Karena dia akan mati.

Wine sudah habis. Rokoknya hanya dia hisap 2 batang. Jemarinya menghampiri tempat di mana sebuah revolver besi yang dingin berada. Tangannya mengangkat pistolnya. Ringan, pikirnya. Namun saat menarik pelatuk, pisol itu menjadi berat. Tangannya gemetar namun tetap mantap untuk bisa mengarahkan ujungnya ke atas telinga. Wajahnya tersenyum melihat refleksi bayangannya yang terlihat sedang berpose konyol di kaca jendela. Sambil tersenyum, dia mengangkat tangan kirinya ke depan, lalu mengacungkan jari tengah ke arah bayangannya. Sambil berkata “Yak!” dia memicu pelatuknya agar pistolnya meletus. Dan...

Gue terbangun dari mimpi gue hari ini. Dari semua mimpi gue, mungkin mimpi ini yang paling oke. Sayangnya gue kurang bisa mengemasnya dalam cerita yang bagus. Tapi tetap saja ini mimpi yang keren, dan siapa tahu ini juga termasuk ramalan...:p

Tuesday, June 17, 2014

Makam

Bagi beberapa orang, hanya dengan mendengarkan kata "pemakaman" saja sudah bisa membuat bergidik. Karena kata-kata lain yang otomatis terlintas di otak setelah mendengar kata pemakaman biasanya adalah: duka, sedih, berkabung, atau horor.

Pemakaman adalah tempat di mana orang-orang mengubur orang yang sudah meninggal. Rumah baru bagi orang yang sudah tak bernyawa meninggalkan kenangan bagi orang yang telah ditinggalkan. Di sana, jasad mati tersebut ditimbun oleh tanah di dalam lubang yang dalam. Dari tanah kembali ke tanah.

Banyak sekali prosesi pemakaman yang ada di dunia ini. Ada yang dikubur seperti yang biasa kita lihat, ada yang didiamkan seperti contohnya di Toraja sana, dan ada yang dibakar.

Dikubur itu adalah warisan dari nenek moyang. Jauh sebelum masehi, saat nenek moyang kita masih memakai pisau batu, belum begitu mengenal pakaian, dan belum tahu bagaimana berpose duck face. Aaah, masa-masa yang indah. Silakan di-Google untuk kelengkapan informasinya.

Dan dikubur itu caranya bercabang lagi, ada yang pakai kafan dan ada yang pakai peti. Tapi sudah lah informasi tentang kubur-menguburnya. Mari bicara bagaimana saat gue mati nanti.

Berhubung gue tinggal di negara yang mayoritas beragama Islam, dan keluarga gue pun Islam, dikafankan adalah cara yang seharusnya gue terima saat gue mati. Di dalam Islam, pengkafanan adalah salah satu proses dalam menguburkan mayat, setelah sebelumnya dimandikan dan disholatkan terlebih dahulu. Kemudian setelah itu semua, jasad yang sudah dikafankan akan dimasukkan ke liang lahat, dibuka ikatannya, dikumandangkan adzan, lalu ditutup dengan tanah.

Kalau mau dilihat lebih jauh, sebenarnya dikubur menggunakan kafan itu bukanlah ritual Islam. Jauh sebelumnya, sudah ada Yahudi yang memakai ritual tersebut. Dan kalau mau dilihat leeeebiiiiih jauh lagi, pengkafanan itu sudah ada semenjak jaman keemasan Babilonia, ribuan tahun sebelum masehi. Lalu kapan pengkafanan pertama itu ada? Gue juga nggak tahu. Informasi tentang pengkafanan sendiri kurang lengkap di Internet. Pertama kali gue mencari informasi tentang ini adalah saat gue SMA, terakhir kali adalah beberapa saat lalu sebelum menulis ini, dan apa yang mau gue cari tidak bertambah begitu banyak.

Kembali ke pemakaman. Menurut gue prosesi pemakaman itu tidak efisien dan terkesan boros. Okelah kalau itu adalah suatu adat/budaya/tradisi yang mesti diikuti, namun kalau sampai membebani sih mending tidak usah.

Kira-kira saat gue masih SMP, saat sesudah sholat tarawih di bulan puasa, komplek gue pernah mengusulkan untuk membeli tanah untuk dijadikan makam Blok A (komplek gue). Jadi ketika ada warga Blok A yang meninggal, tidak usah bingung mau dimakamkan di mana. Kenapa sampai ada usulan tersebut? Karena lahan pemakaman (katanya) semakin sedikit dan mahal.

Mengerti maksud gue?

Ya, sedikit dan mahal. Setahu gue, suatu makam akan ditimbun dengan makam baru kalau sudah lompat beberapa generasi atau sudah tidak ada yang mengurus. Tapi pertumbuhan manusia yang cepat membuat kita agak susah untuk mendapatkan lahan dengan menunggu beberapa generasi. Jadi kemungkinan akan ditimbun walaupun belum lompat beberapa generasi.

Dan biaya pengurusannya juga tidak murah. Gue nggak tahu pasti, tapi yang jelas biaya pemakaman itu tidak sedikit. Biaya tanah, biaya penguburan, biaya nisan, biaya pengurusan berkala (tahunan atau bulanan gue nggak tau), dan biaya lain yang gue belum tahu. Banyak. Dan pernahkah elo ke pemakaman umum dan melihat makam yang sudah sangat jelek dan kesepian? Diinjak-injak orang, dijadikan alas, tidak dihormati. Itu membuat gue tambah males.

Gue sendiri kalau mati lebih memilih dikremasi. Ini sudah gue pikirkan jauh sebelum gue jadi seperti sekarang. Pemikiran ini sudah cukup mantap ketika gue masih SMP. Gue tidak mau menyusahkan keluarga gue dengan segala biaya yang akan mereka tanggung setelah kematian gue. Gue tidak mau menyusahkan. Sudah mati kok gue masih nyusahin? Haha.

Yang ada di pikiran gue adalah: sebelum gue mati, gue akan meminta supaya semua organ gue yang layak donor untuk didonorkan, dan setahu gue kalau donor organ itu akan mendapat uang, uang itu bisa keluarga pakai untuk belanja, lalu setelahnya gue dikremasi. Kalau keluarga gue butuh sesuatu untuk dikenang, mereka punya kenangan di otak mereka masing-masing, itu jauh lebih berharga dari apa pun. Namun kalau mereka butuh simbol untuk mengenang gue (seperti makam), mereka bisa menyimpan abu gue.

Atau kasus ekstrim, setelah gue mendonorkan organ gue, jasad gue dipotong-potong, ditaroh ke ember, lalu dilempar ke hutan dijadikan makanan macan. Hahaha. Apa pun itu, ketika gue mati, gue tetap akan menjadi atom kecil, lalu menyatu dengan alam semesta yang luas ini. Bukankah itu terdengar keren?! Gue nggak sabar menunggu saat itu...

Seperti yang gue katakan tadi, menurut gue makam itu hanyalah simbol untuk orang yang ditinggalkan mengenang orang yang meninggalkan. Tapi ya mungkin ini hanya menurut gue saja, dan gue tahu kalau di tulisan ini banyak yang salah. Jadi, kenapa kalian nggak kasih komentar saja dan membenarkan apa yang salah di sini. =]

Monday, June 9, 2014

Hidup Gue = Drama Komedi

Kalau hidup gue adalah film, gue bisa memastikan kalau genre filmnya adalah komedi atau drama komedi. Karena semenjak gue SD gue bisa melihat kalau banyak drama dan komedi-komedi selingan di hidup gue yang menggelitik perut, seenggaknya perut gue sendiri.

Tapi tidak usah lah gue membahas kehidupan gue dari SD. Mari kita simak kejadian yang baru gue alami hari ini saja.

Hari ini agenda gue adalah pergi ke kampus untuk ambil legalisir ijazah, bertemu dengan klien karena ada kerjaan sambilan, ke rumah nenek gue untuk menjenguk dan silaturahmi di Pancoran, lalu ke stasiun Bekasi untuk menanyakan tiket karena gue ingin pergi ke Jogja di hari Kamis malam nanti. Kelihatannya padat? Ya, lumayan, tapi tidak sepadat biasanya. Biasanya gue hanya nonton film di notebook dengann sibuk, sambil makan cemilan dengan sibuk, mengupil dengan sibuk, atau membaca dengan sibuk. Sibuk banget.

Dimulai pagi hari tadi. Rencananya gue mau pergi ke kampus jam 8 pagi, tetapi gue sendiri baru bangun tidur jam setengah 10. Sebenarnya gue sudah bangun dari jam 7, tetapi nikmat kasur tidak bisa gue khianati, jadinya gue tidur lagi dan berharap bangun jam 8 sampai akhirnya bablas terbangun jam setengah 10. Gue langsung bersiap-siap.

Sisi positifnya bangun kesiangan adalah: macet yang gue lalui tidak separah kalau gue berangkat pagi. Perjalanan Bekasi ke Jakarta Selatan normalnya hanya memakan waktu sekitar 45 menit sampai 1 jam, namun macet di pagi hari membuatnya bertambah lama sedikit, kira-kira 2 jam sampai 2 setengah jam. Perjalanan Bekasi – Jakarta terasa seperti Bekasi – Bandung. Atau Kamar Gue – Kamar Mandi di hari libur. Lama.

Gue sampai kampus jam 11 lebih sedikit. Sebenarnya gue malas ke kampus, tetapi gue disuruh datang di hari Senin ini, karena legalisir ijazah gue baru bisa diambil hari ini. Ketika gue sampai di ruangan tata usaha untuk mengambil dokumen, Mbak Lia (orang kampus) bilang dengan muka tanpa dosa, “Yah, belum, Mar. Mbak Retno lagi sakit, jadi belum diurus. Elu sih kenapa dateng duluan sebelum gue telfon?” Dan tiba-tiba gue menjadi orang yang salah. Yang bener ajeeeee!? Saat itu gue jadi tahu 2 hal: 1. Gue mesti tunggu orang kampus nelfon dulu sebelum ambil dokumen yang dijanjikan, 2. Orang kampus pada ngehe.

Gue masih di kampus memanfaatkan wifi dewa di sana sampai jam 12, jam makan siang. Ketika sudah jam 12, gue berangkat pergi ke rumah makan Raja Begor di dekat Senopati untuk bertemu klien. Gue sampai setengah 1 lebih. Kami janjian jam 1, masih ada waktu lah untuk makan siang di sana.

Makanan sudah habis, gue sudah memesan minuman 2 kali, waktu menunjukkan jam 1 lewat 40. “Bangke! Lama amat!” teriak gue dalam hati. Tidak sabar, gue menghubungi dia. “Halo, nyet! Di mana lo, Jing?!” kata gue... oke, itu bohong. Gue hanya menyapanya biasa secara semi-formal. Ketika sudah ngobrol beberapa lama, gue dapat menyimpulkan kalau dia tidak akan datang. Karena dia bilang, “Sorry, Mar, gue nggak bisa dateng. Ada hal mendadak nih di sini. Brief-nya gue kirim ke email lo aja ya? Kalau ada yang kurang jelas bisa lo tanya lewat email.” Monyet...

Gue langsung pergi dari sana menuju Pancoran menjenguk nenek gue. Tidak lama gue di sana, hanya sekitar sejam. Menjenguk nenek gue, ngobrol sedikit dengan Pakde dan Bude gue, sedikit bercermin menikmati salah satu keindahan yang Tuhan telah ciptakan, lalu pulang ke Bekasi.

Saat sudah di Bekasi, gue langsung menuju stasiun Bekasi. Saat itu sudah jam 4 lebih ketika gue sampai di sana. Gue ke stasiun karena mau membeli tiket untuk ke Jogja di hari Kamis malam nanti. Gue ke Jogja mau mengurus kepindahan gue di sana, karena gue mau melanjutkan kuliah di sana, dan mencari kerja di sana (kemarin sudah 2 kali dipanggil oleh agensi iklan dan radio di sana, cuman gue nggak bisa datang karena gue disuruh datang esok paginya setelah gue dipanggil, sedangkan gue masih di Bekasi. Kan ngaco.)

Antrian di loket panjangnya nggak kalah dengan antrian subsidi bulanan di kampung-kampung. Panjang. Gue mengambil antrian paling belakang. 20 menitan berlalu, dan gue masih terjebak di tengah antrian. Gue menengok ke belakang, dan orang-orang tambah banyak. Buset.

Cuaca saat itu panas, membuat gue nggak betah dengan keringat yang menempel di badan gue. Belum cukup penderitaan yang gue alami, tiba-tiba perut gue melilit dan ingin kentut. Saat itu gue percaya kuasa Tuhan dan cobaan-cobaan ilahi. Gue keringet dingin menahan gejolak gas di perut gue. Gue gelisah. Dan saat itu juga gue dilema! Dilema mau keluar antrian kemudian kentut jauh dari antrian lalu kembali lagi ke belakang antrian, atau menahan kentut sampai gue selesai antri walaupun muka gue sudah pucat seperti penderita tifus yang berusaha untuk menyelesaikan triathlon. Akhirnya gue memilih untuk menahannya. Kalau gue kembali ke belakang antrian, mungkin gue baru bisa sampai loket pas bulan puasa.

Akhirnya gue sampai di loket. Gue bertanya apakah tiket ekonomi untuk ke Jogja di Kamis malam masih ada atau tidak. Dan ternyata sudah habis. Kemudian gue tanya lagi mbaknya, apakah tiket bisnisnya di Kamis malam juga sudah habis atau belum, dan ternyata belum. Kabar baik. Setelah mendapat kabar baik itu, gue memutuskan untuk membeli tiket bisnis keesokan harinya. Lalu gue pergi dari menjauh dari stasiun.

Beberapa puluh meter dari stasiun, perut gue mulai bertingkah lagi. Kali ini bukan kentut saja yang gue rasa ingin keluar, melainkan bersama teman-temannya. Gue mencari toilet umum di sekitar dengan gelisah, dan akhirnya ketemu.

Toilet umum yang gue temui benar-benar parah kondisinya. Tidak ada lampu untuk penerangan, dan demi apapun bentuk toiletnya aneh. Gue baru pertama kali melihat toilet berbentuk O yang lubangnya berada di ujung depan. Dan itu juga tidak jelas, toilet duduk atau jongkok. Tapi berhubung gue sudah sangat kebelet dan kepepet, kreativitas gue diuji saat itu. Gue duduk dan rasanya cukup nggak nyaman.

Mari kita lewati cerita tentang boker ini, karena tidak ada yang spesial. Tinjanya pun nggak bisa gue ceritain gimana bentuknya karena gelap. Apakah bentuknya panjang dengan ujung agak runcing?  Apakah berbentuk pendek tapi besar-besar dan terlihat berotot? Apakah ada biji cabai atau daun kangkung di dalamnya? Apakah warnanya sehat atau kehitaman? Gue nggak tahu. Gelap. Oh, kalau lo lagi makan, jangan dibaca ya... eh telat. Hahaha.

Singkat cerita, proses boker yang spiritual itu selesai. Gue akhiri ritualnya dengan menyiram toilet itu. Cuman gue nggak tahu apakah sudah tersiram bersih atau belum. Oleh karena itu gue mengambil HP gue (Samsung Galaxy S3) untuk menerangi toilet dan melihatnya. Lalu, Tuhan nampaknya masih ingin  melihat sedikit lelucon di drama komedi kehidupan gue ini, oleh karena itu HP-nya terpeleset dan jatuh ke dalam toilet. “Plak plak plak... plung.” Bunyinya masih teringat jelas. Bahkan gue masih ingat berapa kali HP gue salto di dalam toilet itu. 3 kali.

Reflek, gue mengambil HP gue itu, lalu menariknya dari dalam toilet. Sisi positifnya: toiletnya sudah bersih. Gue nggak bisa bayangkan kalau saat mengambil HP gue, ada tokai yang masih menempel. Sekali lagi, jangan sambil makan bacanya... eh telat lagi ya? Hehe.

Gue nggak tahu apa-apa tentang tekhnologi HP, namun gue secara naluriah mematikan HP gue dan mencabut baterainya. Karena aliran listrik mungkin bakal membuatnya konslet. Gue langsung ke rumah dengan terburu-buru untuk mencari solusinya di Google. Gue beranjak pulang menjauhi stasiun dengan tertawa sendiri. Gue tertawa dengan komedi yang gue alami. Haha.

Sekarang HP gue sudah gue tangani dengan apa yang Mbah Google bilang. Gue akan melihat hasilnya besok pagi. Ngomong-ngomong, kejadian hari ini merupakan kejadian paling lucu (yang tragis) semenjak gue lulus SMA. Gue kira tidak ada lagi hal bodoh di hidup gue, tapi alam semesta punya cara sendiri untuk menunjukkan kalau gue salah. Haha.

Dan daritadi gue tertawa sendiri mengingat kejadian hari ini. Bukan panik ataupun sedih, melainkan tertawa geli. Karena kalau panik dan sedih tidak akan ada gunanya, tetapi kalau tertawa, seenggaknya gue terhibur. Lagipula, menertawakan kesalahan sendiri itu lebih sehat. Oh, ada satu saran dari gue: kalau suka bermain HP di toilet, pastikan status siaga lo sudah dalam posisi aktif.

Gue selalu berpikir kalau belajar itu paling enak dari kesalahan orang lain, sekarang gue mau elu belajar dari kesalahan gue ini. Gimana? Enak toh? Haha.

Friday, June 6, 2014

Ngegembel di Jogja #3

Gue tahu gue adalah blogger durhaka, mau tulis cerita berseri tapi malah ditelantarkan begitu saja. Pasti ada tempat spesial di neraka untuk blogger macam gue. Oke, sesuai judul, cerita ngegembel gue di Jogja akan gue teruskan.

Setengah 10 di hari Rabu tanggal 26 Februari. Udara pagi Jogja ternyata nggak jauh beda dari Bekasi. Terik Mataharinya juga nggak kalah nyolot dari Bekasi. Gue berjalan menjauhi stasiun Lempuyangan tanpa arah yang jelas. "Yang penting jalan dulu aja deh yang lama, nanti nemu apa di jalan gampang." pikir gue, sampai gue menemukan bahwa tas gue terasa lebih berat daripada kemarin. Nggak  ada yang bertambah, gue bisa pastikan itu. Tas gue tambah berat di dosa kayaknya pas di kereta.

Karena terasa berat, saat sudah 300 meter dari stasiun Lempuyangan, gue berhenti sejenak untuk istirahat di tukang bubur. Tentunya gue akan diusir kalau hanya numpang istirahat, jadinya gue beli sekalian bubur ayamnya walaupun tidak lapar.

Sambil memakan bubur di hadapan gue, gue memperhatikan lingkungan sekitar. Benar-benar tidak jauh beda dengan Bekasi. Motor dan mobil lalu lalang, orang saling berbicara, dan ada anak laki-laki kecil telanjang tepat di sebelah yang terus memperhatikan gue sedang makan sendiri di meja. Ya, persis kayak Bekasi. Tampaknya itu adalah anak pemilik rumah toko di sekitar sana. Gue kasih senyum ke anak itu, namun tatapannya datar. Gue mulai terganggu. Gue jadi mau makan sate usus, jangan tanya kenapa.

Anak itu pun dipanggil ibunya. Ternyata benar, dia anak pemilik rumah sekitar. Gue dan abang buburnya tertawa kecil melihat anak itu pulang. Gue mengajak ngobrol abangnya dengan pembuka, "Mas rumahnya sekitar sini?" Gue langsung tahu kalau gue salah bertanya, dan gue kira dia akan menjawab "Maaf, Mas, saya sudah punya istri. Lagian kita baru kenal, pelan-pelan dulu ya kalau mau nanya tempat tinggal saya," sambil tersipu, tetapi untungnya dia tidak salah paham dan kami mengobrol ringan selama kurang-lebih setengah jam. Obrolan pertama dengan makhluk Jogja.

Saat gue melihat anak kecil telanjang tadi, gue jadi tahu kalau gue mau ke Malioboro (iya, emang nggak nyambung). Gue bertanya kepada tukang bubur itu ke mana arah ke Malioboro, dia memberitahu arah dengan tangan menunjuk liar. Dan gue pun beranjak, tentunya setelah membayar Rp. 6000 untuk bubur itu, yang harganya ternyata tidak lebih murah daripada Bekasi.

15 menit gue berjalan dan gue sudah merasakan capek lagi. Sialan lah barang bawaan gue. Gue duduk lagi, bermain HP di depan ruko yang sedang tutup. Saat gue sedang bermain HP, gue menyadari kalau ada tukang parkir yang daritadi memperhatikan gue. Saat gue mengangkat kepala, dia membuang muka, lalu melirik gue lagi saat gue kembali menunduk bermain HP. Persis kayak cerita roman anak SMA, hanya saja yang ini bikin gue geli.

Merasa risih, gue berdiri dan meninggalkan tempat itu dengan membawa tas yang beratnya mungkin lebih daripada bobot gue sendiri. Sebagai orang semi-buta arah yang teladan, tentunya gue langsung nyasar. Gue nggak tau mesti ke mana lagi, kayaknya gue salah belok. Gue bertanya arah lagi kepada orang yang gue temui, di mana Malioboro.

Gue bertanya kepada bapak-bapak yang sedang berjalan, dan dia memberi direksi dengan tangan yang juga menunjuk liar, sama seperti tukang bubur tadi. Gue heran, apa budaya di sini begitu ya? Kalau ingin memberitahu arah, tangan sebaiknya menunjuk liar, kalau perlu sekalian saja bersilat atau melakukan wotagei. Makin liar dan heboh tangannya, makin jelas penjelasannya ke si penanya.

Berkat si Bapak tadi, gue sampai di Malioboro. Gue berjalan pelan sambil menikmati lingkungan sekitar yang cukup bagus. Gue yang saat itu berpenampilan turis banget, beberapa kali mendapatkan lirikan dari orang lokal. Gue duduk di bangku yang sudah disediakan di sana karena capek.

Jam 11 siang di Jogja. Matahari sangat terik. Gue bisa melihat kulit orang memantulkan cahaya matahari dengan jelas. Namun udaranya tidak begitu panas. Tidak tahan dengan teriknya, gue pindah tempat ke mesjid Malioboro untuk istirahat. Mesjidnya tidak terlalu besar tetapi nyaman. Pohon-pohon besar berdiri kokoh di sekitarnya, membuat udara di mesjid menjadi sejuk. Gue ngantuk. Gue tidur sebentar, lalu adzan berkumandang.

Karena gue sedang beristirahat di mesjid, mau nggak mau gue harus ikut sholat. Dan setelah sholat, gue tidur lagi sampai jam 3 di saat adzan ashar berkumandang lagi. Sekali lagi, mau nggak mau gue harus ikut sholat. Dan setelah sholat selesai, gue nggak bisa tidur lagi. Gue nggak tahu mau apa lagi, tetapi gue tahu satu hal: gue pasti masuk neraka (ke mesjid buat numpang tidur doang. Haha).

Akhirnya gue menghubungi adik gue untuk menjemput gue di mesjid Malioboro, namun dia bilang dia lagi kuliah dan baru pulang sekitar 1 jam lagi. Gue bingung, gue berpikir sebentar, gue lapar. Oke, gue akan berjalan-jalan sebentar sambil mencari makan dengan membawa tas superberat itu.

Saat itu, mungkin gue dapat hukuman dari langit, karena saat gue baru berjalan beberapa menit, hujan deras mengguyur. Gue berlari mencari tempat berteduh dan berakhir di Indomaret. Saat itu juga banyak orang yang berteduh. Karena lapar, gue masuk ke Indomaret dan membeli roti dan Ultamilk strawberry. Lalu gue ke luar lagi untuk melihat langit yang sedang sibuk menangis.

Gue berdiri di tempat sebelum gue masuk Indomaret tadi. Sambil memakan makanan yang gue beli, gue mendengarkan lagu dan berdiri bersandar ke tembok. Lalu tidak lama kemudian ada kumpulan 4 orang wanita yang datang berlari untuk berteduh di depan Indomaret, dan mereka berdiri di dekat gue. Gue perhatikan mereka, semuanya cukup manis, tampaknya mereka orang lokal. Salah satu dari mereka mendapatkan gue sedang melihat mereka. Tanpa membuang muka, gue beri dia senyuman dan dia senyum balik. "Lampu hijau!" pikir gue, lalu gue mulai membuka obrolan dengan cara yang biasa gue pakai saat nge-hit.

Dari semua logat di Indonesia, menurut gue logat Jawa adalah logat yang paling seksi. Terdengar begitu sopan dan nge-bass (gue nggak tau gimana tulisannya). Mungkin karena saat kecil gue dibesarkan dengan lingkungan orang Jawa di keluarga dari nenek gue di Pancoran yang keturunan Jogja, jadi dari kecil gue sudah terbiasa mendengar logat Jawa dan itu membuatnya terdengar menenangkan di telinga gue. Gue suka. Dan itu bikin gue merasa nyaman ngobrol dengan mereka.

Obrolan kami berlangsung cukup lama, membahas hal-hal remeh tanpa menyinggung identitas (menanyakan nama, kuliah di mana, tinggal di mana, dan pertanyaan garing lainnya), dan kami sesekali tertawa. Jam 4 lewat. Hujan berhenti. Kami mengucapkan salam perpisahan. Gue pun meninggalkan Indomaret. Suasananya saat itu sangat bagus. Walaupun tidak ada pelangi, tetapi bau aspal dan pepohonan yang diselimuti air hujan cukup membuat gue semangat untuk menapakkan kaki sepanjang jalan Malioboro. Akhirnya gue berjalan-jalan.

Jam setengah 6 sore. Malioboro sudah jauh di belakang, sekarang gue berada di tempat yang gue tidak tahu namanya. Tas mulai terasa berat kembali. Kali ini gue menghubungi adik gue untuk menjemput gue. Gue memberitahu kalau gue sedang berada di depan gedung Telkom, dan dia meminta gue menunggu selama 15 menit. "Oke!" kata gue.

Sambil menunggu, gue duduk di samping jalan. Gue duduk sembari berpikir "Orang Jogja ternyata ramah-ramah. Jalanannya tidak sekotor Jakarta. Dan pengendara di jalan pada tertib, keren lah!" dan lalu ada arakan motor yang lewat dengan berisik. Klakson dibunyikan mencari perhatian, membawa bendera yang gue lupa tulisannya apa, dan mereka berteriak-teriak. Semuanya anak muda tanggung. Baru saja gue memuji, menaik-naikkan Jogja, lalu mereka sukses membuatnya turun lagi.

Haduh, sebenarnya gue lagi malas nulis kali ini. Jadi bisa dilihat sendiri kalau daritadi gue tidak berusaha melucu, dan hanya menceritakan apa yang gue alami saja. Gue akhiri saja ya?

Adik tiri gue datang, gue dibawa ke kosannya di dekat kampus UPN. Gue menumpang bermalam saat itu. Gue mengobrol sampai jam 9, lalu gue memutuskan untuk tidur. Walaupun waktu itu gue sudah banyak tidur, namun perjalanan yang cukup melelahkan (70% karena tas), berhasil menguras energi gue dan meminta badan gue untuk tidur lagi. Sambil berusaha tidur, gue memikirkan agenda besok, dan untuk besok gue sudah memutuskan mau ke mana. Ya, ngegembel akan gue mulai besoknya! Woooo!!!

Friday, May 30, 2014

Aku Tak Mau Pulang...

1. "A-aku tak mau pulang..." ucap seorang pemuda. Tubuhnya gemetar. Langit gelap menunjukkan kalau sudah malam, dan suara rintik hujan dan gemuruh petir menandakan di luar langit sedang menangis. Hujan.

2. "Kamu harus pulang," balas seorang wanita di depannya. Suara kecilnya begitu menenangkan. "Sudah waktunya." terusnya sambil tersenyum. Senyum kecilnya nampak begitu cocok dengan bibirnya yang tipis. Wajahnya ramah dihiasi oleh mata sayunya.

3. Lelaki itu terlihat murung. Dia menunduk, merenung. Terlihat bimbang. Dia memikirkan banyak hal. "Aku tak mau pulang..." katanya.

4. "Tapi kamu sudah dipanggil. Saat kau pulang, kau akan menemui mereka yang sedang menunggumu di sana. Kamu tidak bisa mengabaikannya. Kamu harus pulang." Wanita itu masih berkata dengan nada halus.

5. "T-tapi..." ucapan pemuda itu terhenti. Dia teringat bagaimana dia sangat menyukai tempat itu. Tempat di mana banyak orang yang mencintainya. Tempat di mana dia bisa tertawa tanpa dipaksa. "... aku tak mau pulang."

6. Wanita itu mendekatinya. Wajahnya tepat di depan wajah si pemuda. Tangannya membelai halus wajah pemuda. Mata pemuda itu mulai berkaca-kaca. Wanita itu pun mengatakan, "Pulanglah..."

7. "A-aku..." pemuda itu mulai terisak, namun belum menangis. Tangan wanita itu masih di pipinya.  Dia teringat akan gadis yang disukainya di tempat itu. Kenangan-kenangannya di sana membuat dia tambah enggan untuk pulang. Dia tambah merasa sakit. Sakit yang teramat di bagian dadanya.

8. Tetiba pemuda itu mundur menjauh. Badannya berbalik memunggungi sang wanita. Kali ini dia menangis. Isaknya terdengar tipis. "... tak mau pulang." ucapnya terbata-bata.

9. "Kamu tak perlu ragu. Pulanglah sekarang." Wanita itu mendekat lagi. Tangannya meraih tangan pemuda. Menggenggamnya, dan menariknya agar sang pemuda mendekat ke arah dia.

10. "Relakan apa yang kamu dapat di sini, termasuk kenangan-kenangan bersama mereka. Kau harus pulang. Tempatmu bukan lagi di sini. Aku bisa menjamin, suatu saat, mereka akan kau temui lagi. Pulanglah." Wanita itu mengakhiri ucapannya masih dengan senyumnya yang menenangkan.

11. "Aku tak mau pulang." pemuda itu menggelengkan kepalanya. "Aku tak mau pulang. Aku tak mau pulang. Aku tak mau pu-" kalimatnya terputus.

12. Wanita itu menghentikan rengekan pemuda itu dengan ciuman di bibir. 5 detik... 10 detik... kemudian semua terlihat gelap.

13. Di suatu kamar rumah sakit, terlihat alat EKG yang menunjukkan garis datar dengan bunyi mendengung yang statis.

14. Sepasang orang tua tiba-tiba menangis. Di sana juga ada seorang gadis yang tampak imut. Dia juga terisak. Mereka menangisi suatu sosok yang terbaring kaku di atas kasur rumah sakit.

15. Dokter datang. Dokter menenangkan mereka. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Dokter itu mulai menutup wajah sang pemuda yang terbaring di atas kasur dengan selimut, dan berkata, "Maaf, anak kalian telah berpulang. Kami turut berduka."


Wednesday, May 28, 2014

Sunday, May 18, 2014

Diskusi...

Sabtu sore. Sehabis mendatangi sebuah  festival dan berputar-putar mencari kemeja di mall, sepasang pemuda dan pemudi duduk di sebuah restoran keluarga. Alasannya di restoran keluarga makanannya lebih murah. Si pemuda memesan sapi lada hitam, sementara si pemudi memesan mie ayam katsu.

10 menit...

20 menit...

30 menit...

hampir sejam, dan makanan mereka belum datang. Ternyata terjadi kesalahan tekhnis di balik dapur sana. Orang biasa mungkin akan kecewa dan langsung pergi, tetapi mereka memutuskan tidak pergi karena sudah kepalang tanggung dan tidak ingin menyebabkan masalah untuk seorang pelayan yang tadi melayani mereka.

Makanan akhirnya datang. Dan mereka pun makan. Tidak ada acara menengok HP, karena mereka sudah melakukan kesepakatan kalau misal ada salah satu di antara mereka yang mengecek HP selain menjawab panggilan telfon, maka dia harus mentraktir orang yang satu lagi. Makan selesai. Mereka ngobrol. Dan tiba-tiba...

X: ... ngomong-ngomong, kenapa tadi kita nggak pergi hayo?
Y: Karena lo yang bilang kalau nggak usah, soalnya nanti pelayan tadi bakal kena omel?
X: Iya, emang. Tapi coba pikirin lebih jauh.
Y: Apaan lagi emang? Lo nungguin pelayan tadi dan mau kenalan?.
X: Yeee, buat apa? Kan udah ada lo.

Dan mereka tertawa kecil

Y: Ooop! Stop di sana, nanti ujungnya malah ngejek ih.
X: Haha. Yaudah, balik. Jadi kenapa kita nggak pergi?
Y: Nggak tau. Kenapa?
X: Soalnya takdir mau kita ada di sini. Buat nggak pergi, nungguin, dan makan sampai habis.
Y: Ih beraaat. Hati-hati jangan kejauhan mikirnya, nanti nyasar.
X: Gue udah nyasar bertahun-tahun kok. Dan sekarang gue udah bebas di tempat baru. Nggak perlu gue jelasin lah, gue yakin lo pinter kok untuk cari tau maksudnya. Hehe.
Y: Agak sih. Terus lo percaya takdir?
X: Nggak tau. Lo? Definisi takdir menurut lo apa nih? 
Y: Takdir itu kayak skrip lah ya buat manusia yang Tuhan udah tulisin buat kita. Jadi Dia sudah ngatur jalan hidup kita sampai hal-hal terkecil.
X: Oke, jadi menurut lo kita hidup seperti ini karena udah ditakdirin kan? Kayak tadi kita nggak pergi kan?
Y: Iya sih.
X: Berarti kita nggak bisa milih jalan hidup kita dong? Wong udah ditulisin. Pilihan nggak ada. Ya kan?
Y: Nggak laaah. Di agama gue, dikasih tau kalau ada takdir yang bisa diubah, gue lupa apa namanya. Tunggu, lo agamanya Islam juga kan?
X: Kedua orang tua gue sih Islam. Tapi tunggu, kalau ada takdir yang bisa diubah, berarti lo bukannya sama aja nentang Tuhan?
X: Lo udah disuruh sama Tuhan jadi begini, tapi lo ubah jalan lo jadi begitu. Lo ngelawan Tuhan tuh.
Y: Ya nggak, gue percaya Tuhan udah ngasih jalan yang terbaik buat umatnya, termasuk gue. Jadi ya gue jalanin aja, dan kalau gue nemuin ada yang salah, di situ lah Tuhan ngasih cobaan gue buat milih jalan mana yang mau gue ambil.
X: Gue jadi keinget salah satu tulisan di xxxxyyyy.blogspot.com. Di situ ada tulisan kayak yang kita omongin itu. Coba nanti cek deh.
Y: Apa tadi? Gue catet deh, nanti gue baca. Emang kayak apa maksudnya?
X: Jadi di sana ada ucapan dari seseorang kalau pilihan itu nggak ada. Tuhan nggak ngasih kita pilihan. Dia cukup maha kuasa untuk nulis jalan hidup kita.
Y: Ih, kita dikasih pilihan kali. Lo bisa milih. Itulah tujuan manusia di bumi ini. Milih jalannya sendiri, Dia tinggal nyiapin aja.
X: Gini deh, kalau Tuhan udah nyiptain takdir hidup lo jadi orang jahat, apa bisa lo milih jadi orang baik?
Y: Bisa dong.
X: Nah itu bukannya ngelawan Dia? Itu kayak ngomong “Ah, nggak mau ah! Lo aja sendiri sama kebo!” ke Dia.
Y: Terus Dia bales “Kalau gue sama kebo berarti gue nggak sendiri kaleee”. Hahaha. Astaga astaga... hahaha.
X: Hahahaha. Atau gue kasih contoh lain, kalau lo diciptain jadi setan untuk ngegoda manusia dan akhirnya lo masuk neraka karena tugas yang udah lo laksanakan sesuai perintahNya, apa bisa lo nolak dan jadi setan baik-baik? Haha.
Y: Hahaha. Gila! Tapi Tuhan nggak bakal lah rencanain hal buruk buat ciptaannya. Dia mau semua orang jadi baik dan masuk surga.
X: Yakin amat lo. Terus kenapa ada banyak orang jahat di luar sana?
Y: Karena mereka milih jalan yang salah. Saat lo dihadapkan sama pilihan, lo bisa milih mau ambil jalan baik atau jalan yang buruk. Orang-orang jahat di sana udah salah milih jalan takdirnya, makanya dia jadi jahat.
X: Tapi kan tadi lo bilang Tuhan mau semua orang masuk surga, apa Dia nggak bisa buat semua penjahat  jadi baik supaya bisa masuk surga? Kan maha kuasa. Dan lagi gimana dengan setan? Setan kan juga ciptaanNya? Nggak adil dong dia udah ngelakuin tugasnya dengan benar tapi masih masuk neraka?
Y: Sekarang gue bingung deh, haha. Gue nggak alim-alim banget sih, tapi gue yakin Dia udah menakdirkan semuanya dengan rencana masing-masing. Jadi ya tinggal lakuin yang terbaik aja deh.
X: Hahaha, ya sorry gue nggak tau otak lo bisa overheat juga. Haha. Makanya, konsep takdir itu banyak errornya. Karena freewill tadi dan omniscient atau maha tau itu berkontradiksi banget.
Y: Maksudnya?
X: Ya kalau Dia kasih kita freewill atau kehendak bebas buat milih tadi, berarti dia nggak maha tau atau omniscient. Kalau Dia emang maha tau, maka pilihan itu ilusi, karena hasilnya udah ditentuin dari awal. Udah definite.
Y: Oke...
X: Gini deh, gue kasih contoh. Menurut lo Adam dan Hawa kenapa diturunkan ke Bumi? Karena dia makan buah terlarang kan? Kenapa Dia nyiptain pohon buah terlarang di sana kalau tau Adam dan Hawa bakal makan itu nantinya?
Y: Mereka makan buah terlarang itu kan karena setan bukannya ya?
X: That’s not my point. Maksud gue, mereka makan buah itu karena 2 hal: 1. Karena mereka memilih makan buah itu setelah dihasut setan, 2. Karena Dia udah tau mereka bakal makan buah itu, makanya ditaruh di sana pohonnya. Menurut lo yang mana?
Y: Yang pertama. Karena mereka dihasut setan, makanya mereka tergoda gitu deh.
X: Then berarti mereka punya freewill? Mereka bisa milih makan buah itu sementara Dia nggak mau mereka makan. Itu bukannya Dia nggak omniscient?
X: Tapi kalau Dia maha tau, berarti apa yang dilakukan mereka itu sesuai kalkulasiNya.
X: Nah intinya, kalau Dia ngasih Adam dan Hawa freewill berarti He’s no longer God, because He’s not omniscient. Tapi kalau Dia omniscient semua pilihan otomatis nggak ada. Semua udah diatur olehNya.
Y: Ih, gue jadi serem deh, X, ngomongin beginian. Tapi asik. Haha. Di Solaria lagi, harusnya tadi kita ke tempat yang elit dikit gitu. Hahaha.
X: Hahaha, serem kenapa emangnya?
Y: Pokoknya serem. Lagian kok jadi ngomongin beginian deh pas nge-date gini. Haha. Udah udah, terusin lagi terusin lagi.
X: Apanya yang mau diterusin? Udah segitu aja. Kalau mau terus, bayar. Haha.
Y: Yakali deh. Lo kok bisa mikir kayak gitu? Ati-ati gila lho.
X: Ya gue cuman suka pakai logika aja kok. Hehe. Masih mau lanjut ngomongin hal religius begini?
Y: Kenapa nggak? Tapi jangan berat-berat yak.
X: Halah, udah pasti berat kok. Yaudah kalau gitu nggak usah aja deh. Pulang aja yuk, udah capek nih.
Y: Yaaaaah, sebentar lagi doooong, yaudah berat nggak apa-apa.
X: Yaelaaaah. Gini aja deh, gue kasih lo pertanyaan terakhir.
Y: Oke.
X: Dia kan maha bisa ya? Itu namanya omnipotent.
Y: Iya.
X: Nah, terus bisa nggak Dia nyiptain batu kecil yang nggak bisa diangkat sama sekali oleh siapapun atau apapun?
Y: Bisa. Kan bisa apa aja.
X: Nah bisa nggak Dia angkat batu itu?
Y: Bisa dong.
X: Berarti Dia nggak maha bisa atau nggak omnipotent.
Y: Lho kok gitu?
X: Karena Dia bisa ngangkat batunya, berarti Dia nggak bisa menciptakan batu yang tidak bisa diangkat sama sekali oleh siapapun atau apapun. Dan kalau Dia gak bisa ngangkat batunya, Dia juga nggak omnipotent, karena Dia nggak bisa angkat batunya.
Y: Nah loh!
X: Hahahahaha. Ekspresi lo barusan priceless abis! Ulang gih, mau gue foto! Hahahahhaha.
Y: Iiiih, rese!
X: Yaudah yuk pulang ah, capek beneran ini gue.
Y: Yuk. Ngomong-ngomong kapan-kapan kita ngaji bareng ya, nanti kita ngomong kayak gini lagi sama pak ustad.
X: Hahaha, nanti lo kepanasan lagi pas ngaji. Berasa kebakar.
Y: Iiiiih!


Mereka pun membayar makanan yang mereka makan tadi, kemudian mereka meninggalkan restoran itu untuk pulang.

Saturday, May 17, 2014

(Seharusnya) Lomba Makan Pizza

Sekitar sebulan lalu gue dan teman gue ikut lomba makan pizza yang diadakan oleh Papa Ron's Pizza. Ya, LOMBA... MAKAN... PIZZAAAAAAA... BROOOOOO!!! Seenggaknya waktu itu gue seantusias barusan. Ternyata waktu gue sudah di dalam lomba, “Lomba Makan Pizza” tidak lagi terdengar seasik yang gue kira, justru jadi biasa-biasa saja. Akan gue ceritakan.

Jadi saat melihat brosur lomba tersebut di Facebook, gue langsung ajak teman gue—yang kebanyakan akhirnya nggak ikut—dengan alasan senang-senang. Beberapa cewek yang rumahnya dekat lokasi juga tadinya mau gue ajak, tapi tidak jadi karena kalau mereka semua bisa, gue akan susah mengaturnya. Jadinya gue hanya mengajak yang pasti bisa saja, Isabela... yang sebelum hari H tiba-tiba katanya tidak jadi datang. Sialan.

Jadinya gue berangkat bersama teman gue Rifky yang katanya mau ikutan lomba juga, sementara beberapa teman lainnya menyusul untuk menonton kami. Rifky ini walaupun badannya menggambarkan "orang yang suka makan", tidak gue anggap sebagai saingan. Karena walaupun dia badannya tambun, kalau makan di warteg selalu kalah cepat dengan gue. Sebentar... *masukin "bisa makan cepat" di CV*. Singkat cerita, gue dan dia sampai duluan pas jam 11 tepat sesuai jadwal acaranya dimulai. HAHAHAHA. Tentunya kalian tahu gue berbohong. Gue datang jam 11 lewat.

Walaupun kami terlambat karena kami agak "Indonesia", tetapi acaranya lebih terlambat lagi. Soalnya mereka sama sekali belum mulai dan meja baru disiapkan. Mereka Indonesia banget. Pesertanya juga baru sedikit. Gue dan Rifky membayar Rp. 35.000 untuk biaya pendaftaran. Sudah selesai. Kami pun duduk menunggu.

Beberapa waktu kemudian, teman kami yang bernama Irfan datang bersama pacarnya Evi si cewek preman namun suaranya kayak Minnie Mouse. Dan kebetulan ketika mereka datang, ada 2 orang berpenampilan kayak alay acara Dahsyat musik di pagi hari menaiki panggung. Belum selesai gue berpikir sendiri "nggak mungkin lah mereka pembawa acaranya. Masa' acara begi..." mereka langsung teriak di atas panggung "Selamat datang di acara...". Bah.

Penampilan pembawa acaranya cukup "unik". Pembawa acara #1 memakai kaos garis-garis berwarna kuning-hitam, rompi coklat, bowler hat, skinny jeans warna coklat, dan sepatu boots. Pembawa acara #2 memakai kaos berwarna abu-abu yang dikeluarkan, skinny jeans hitam pudar dengan tambalan di mana-mana, sepatu boots, dan bowler hat juga. Mereka adalah penjahat fesyen! Dan logat mereka... ah, nggak usah dibahas. Yang seperti mereka hanya 2 orang di sekitar panggung. Kalau ditambah beberapa lagi, mungkin gue akan curiga kalau Raffi Ahmad dan Olga Syahputra akan muncul dan berteriak "Kembali lagi di Dahsyaaaaaaat...".

Masih mengenai pembawa acaranya. Kelihatannya mereka bukanlah pembawa acara yang sudah biasa menangani event sebuah merk, melainkan pembawa acara kawinan di kampung atas. Gue tidak menjurus ke logat mereka, tetapi lebih ke beberapa kesalahan yang mereka lakukan. Gue sempat mempelajari tekhnik public speaking, jadi gue tahu kalau seorang pembicara itu tidak seharusnya melakukan kesalahan fatal, seperti:

1. Membelakangi audiens
2. Mengecek HP
3. Garing
4. Jelek
5. Jelek banget

Dan mereka melakukan semuanya. Lu boleh tidak mengacuhkan dua poin terakhir, tapi mereka memang sangat buruk dalam membawakan acara. Belum lagi beberapa kali mereka salah sebut merk menjadi Pizza Hut. Tetapi mereka mempunyai nilai plus juga. Mereka... euhm... yak mari kita lanjutkan.

Singkat cerita perlombaan dimulai. Lomba dilakukan dengan sistem siapa cepat duluan dia menang, dan yang diadu adalah 5 orang dalam sekali kloter. Untuk babak pertama peserta diberikan pizza berukuran small. Kloter pertama dimenangkan mas-mas dengan waktu 1 menit 48 detik. Babak kedua dimenangkan oleh bapak-bapak dengan waktu lebih lama sedikit, 2 menit 14 detik. "Cih, amatir!" pikir gue, sebelum akhirnya giliran gue dan Rifky maju.

Giliran gue dan Rifky maju. Gue sangat optimis menang, karena lawan gue adalah Rifky, 1 mas-mas, dan 2 dedek unyu yang tampaknya masih SMA. Peserta ditanya satu-persatu oleh pembawa acaranya. Dan sumpah naujubileh JKT48, saat pembawa acara #1 ngomong ke gue, mulutnya BAU banget! Saat itu gue bisa merasakan sel-sel di otak gue melemah dan kemudian mati, untuk beberapa detik gue sempat melihat masa lalu gue diputar di otak gue bagaikan film yang sedang diulang, gue melihat cahaya putih di depan mata gue. Gue hampir mati. Sarapan apa dia tadi? Itu gila! Dan gue hanya menjawab sesedikit mungkin pertanyaannya demi keselamatan jiwa gue.

Lomba kloter gue dimulai. Kotak pizza sudah gue buka, gue ambil satu buah untuk gue masukkan ke mulut gue. PANAS GILA! Lidah gue terbakar hanya dengan 1 kali gigit. Ini bukan lomba, ini penyiksaan! Gue paksakan kunyah dan telan, kemudian gue ambil gigitan kedua. WANJIR! KOK BERASA MAKIN PANAS?! Gue kunyah pelan-pelan, dan lalu telan. Gue kesulitan memakan pizza yang disediakan, dan saat gue lihat ke samping sepertinya semua peserta memiliki masalah yang sama. Di sini gue sudah masa bodo dengan lomba, gue hanya fokus menikmati pizza yang ada. Gue makan dengan pelan dan santai. Saat gue mencari saus dan membukanya dengan gigi, penonton semua tertawa. Gue nggak berniat membadut, gue benar-benar sudah malas dengan lombanya. Pembawa acaranya dan semua penonton malah fokus ke gue. Di saat semua peserta masih berjuang makan dengan cepat, gue malah menusukkan sedotan ke gelas Aqua yang tersedia dan menganggap tidak ada lomba. Suasana pecah.

"Ha? Lomba apa?"

Dan akhirnya lomba kloter gue dimenangkan oleh Rifky, dengan waktu 3 menit sekian detik. Ternyata kami yang amatir. Namun di kloter selanjutnya ada orang yang makan lebih cepat dari siapapun. Lidahnya tahan panas, dan dia makan seperti tidak pernah makan dari SD. Namanya Mas Agus, dia makan sangat cepat, dia menghabiskan pizza miliknya sebelum lo bisa mengeja nama panjang SBY. Jelas dia menang. Dia memenangkan kloternya dengan waktu di bawah 1 menit. Gue menengok ke Rifky, "Ky, itu raja terakhirnya. Lo nggak bakal menang." Mendengar ucapan gue, dia gemetaran. Keringat dingin keluar dari pori-pori di sekitar wajahnya, mulutnya menganga seakan-akan melihat iblis tepat di depan matanya, wajahnya memucat. Ternyata dia mules... nggak ding.

Oke, langsung ke acara final  saja. Babak terakhir tetap diadakan dengan sistem yang sama, dengan jumlah orang yang sama, bedanya hanya ukuran pizza yang lebih besar. Rifky melawan jawara-jawara makan tadi, termasuk Mas Agus. Peserta lain tampak putus asa saat melihat Mas Agus. Dan begitu sudah diberi aba-aba untuk mulai, semua peserta bergerak.

Rifky sedang berjuang melawan bos terakhir.

Yang menang tidak usah ditanya, jelas Mas Agus. Dia makan dengan cepat. Peserta lain masih sibuk mengunyah, dia sudah selesai semenit sebelumnya. Bahkan dia sempat kembali ke tempat duduk saat lomba masih berlangsung. Gila! Peserta lain diremehkan. Seakan-akan dia berkata "Kalian itu sedang makan apa mengerjakan skripsi? Lama amat!"

Gue sempet heran, jangan-jangan dia memang pemburu hadiah lewat lomba makan. Jadi karirnya adalah peserta lomba makan. Gue tidak sempat melihat KTP-nya, tapi gue agak yakin kalau di kolom "Pekerjaan" di KTP-nya diisi "Peserta Lomba Makan". Jadi karena pengalaman mengikuti lomba makan, dan kemampuan yang sudah sangat terasah lewat berbagai perlombaan, wajar saja dia memiliki kemampuan sepeti itu.

Lomba selesai. Gue dan gerombolan gue naik ke lantai atas untuk mampir membeli sundae di restoran A&W. Tidak ada penyesalan apappun, karena niat kami adalah bersenang-senang, bukan menang. Bahkan gue lebih dari puas, bisa menghibur di acara yang pembawa acaranya garing seperti itu. Pembawa acaranya pun jadi ingat gue terus-terusan, karena nama gue seringkali disebut sepanjang acara walaupun gue sudah duduk.

Yak, satu lagi misi di hidup gue yang sudah gue capai: Mengikuti lomba makan.

Oh iya, ini adalah penampakan Mas Agus. Jadi kalau di sekitar lo ada lomba makan, dan orang ini ada di sana, bilang ke jurinya untuk langsung kasih hadiah pertamanya ke dia saja, nggak perlu buang-buang waktu menyilakan dia ikutan. Mending lombanya untuk merebut juara 2 dan 3 saja. 

You wanna beat me, son? Pffft... that's cute.

Friday, May 16, 2014

Langit Malam

Tengah malam tadi, saat gue pulang dari membeli Ultramilk karton besar dan Oreo Strawberry di Alfamart, gue melihat status teman di Facebook tentang bulan di malam ini. Gue melihat ke atas, dan melihat bulannya memang sedang berbeda. Ada halo-nya. Besar.


Memang, fenomena ini tidak jarang terjadi. Namun ada sesuatu yang membuat gue memutuskan untuk pergi ke lapangan terbuka dekat rumah saat itu.

Jam 00:12 gue sudah terlentang di lapangan. Sepi, sendiri. Punggung gue menyentuh dinginnya semen lapangan yang berembun malam itu. Gue membuka Oreo dan susu yang gue beli tadi. Jadi terasa piknik, bedanya gue hanya ditemani oleh suara motor dan mobil yang sesekali lewat.

Gue masih terlentang melihat langit. Melihat bulan dan halo-nya yang saat itu adalah elemen yang paling dominan di gelapnya malam. Gue membayangkan kalau halo itu adalah bayangan planet lain yang lebih besar. Apa akan seperti itu kira-kira besarnya Jupiter bila dia ada di posisi bulan? Gue takut namun kagum. Suatu perasaan yang agak susah dijelaskan, tapi itu yang gue rasakan saat itu. Gue senang bisa merasakan itu.

Gue menghubungi beberapa kenalan gue Mayang, Anin, dan Sandra via WhatsApp untuk mengajak mereka ngobrol tentang malam itu. Tetapi nampaknya mereka sudah tidur. Wajar, jam setengah 1 pagi ya tidak banyak orang yang masih terjaga. Tetapi kalau dipikir-pikir lagi mereka juga tidak begitu menyukai kegiatan melihat langit seperti gue, jadi apa yang mau diobrolkan? Malah ngobrolin hal lain nanti. Jadinya malah mengganggu gue menikmati malam itu.

Tiba-tiba gue teringat kenalan gue yang lain, Karola. Dia manusia Jogja yang katanya juga suka melihat langit malam. Menikmati hamparan bintang yang ada di langit. Gue pergi ke Facebook untuk melihatnya online atau tidak, dan lagi, nampaknya dia sudah tidur. Sayang sekali dia melewati pemandangan langit seperti ini.

Tapi setelah dipikir-pikir lagi, buat apa gue melakukan itu semua? Melihat langit sambil berbalas teks terdengar sangat konyol. Lebih enak kalau ngobrol dengan orang yang menyukai kebiasaan sama. Andai si Karola ini satu wilayah dengan gue, akan terdengar sangat asik sepertinya kalau kami ngobrol omong kosong tentang apapun sambil melakukan kebiasaan melihat langit ini.

Akhirnya tidak ada satupun yang gue ajak bicara. Gue kembali  kesepian menikmati malam itu, sambil memutar lagu Depapepe yang berjudul Wedding Bell. Berisik. Akhirnya pemutar lagunya gue matikan. Sepi kembali datang. Gue melamun.

Gue pun berpikir, mungkin melamun itulah kegiatan yang paling cocok saat itu. Bukannya ngobrol dengan orang, atau mendengarkan lagu. Melamun. Memikirkan tentang apapun secara mendalam. Tentang hidup, masa lalu, masa depan, dan alam semesta. Menyatu dengan alam semesta, cukup dengan memikirkannya. Menjadi seorang filsuf dadakan. Ya, itu yang mungkin lebih cocok saat itu.

Jam 02:28, Oreo yang gue beli sudah habis. Karton susu yang gue beli juga sudah terasa ringan ketika gue angkat. Punggung gue dingin. Langit masih cerah, dan bulan masih indah. Tetapi waktu sudah larut pagi dan gue sudah mengantuk. Akhirnya gue memutuskan untuk pulang meninggalkan bulan dan binntang yang saat itu menjadi semakin cantik. Sepertinya mereka sedang berkonspirasi untuk memanjakan mata gue dan menahan gue untuk pulang. Tetapi rasa kantuk menang dan gue  pulang. Menulis ini, lalu tidur.


Thursday, May 15, 2014

Sebuah Perjalanan

Gue punya sebuah cerita. Kebetulan cerita ini sudah pernah gue tulis di Twitter, dan kebetulan juga ada yang menyukainya sampai meminta gue membuat cerita sejenis. Tampaknya dia mengerti maksud dari ceritanya. Hehe. Dan akan gue tulis ulang di sini. Cerita ini adalah curhat dan punya arti, tapi terserah kalian mau mengartikan bagaimana lewat metafora yang ada.

Cerita ini mengenai seorang anak yang tinggal di sebuah rumah di daerah terpencil. Anak itu tinggal bersama orangtuanya, di rumah yang nyaman dengan halaman luas. Di pekarangan terlihat beberapa pohon buah yang berbuah sepanjang tahunnya, dan beberapa ternak yang digembalai oleh ibunya. Ada satu larangan utama yang diberikan orangtuanya: jangan pernah pergi keluar dari pagar halaman.

"Kenapa aku tidak boleh keluar dari pagar itu, Mama?" tanya si anak.

Kemudian ibunya menjelaskan alasan mengapa sang anak tidak boleh keluar dari pagar, dengan cerita-cerita seram. Ibunya berkata bahwa kalau si anak keluar, dia akan dimakan oleh serigala atau diculik oleh raksasa. Anak itu pun merasa takut. "Iya, makanya kamu di rumah saja. Di rumah kamu aman." kata ibunya.

Tahun demi tahun berlalu, dan si anak sudah menjadi dewasa tanpa pernah menginjakkan kakinya keluar dari pagar rumahnya. Tinggal dalam kenyamanan. Namun, dari kecil anak itu sering naik ke atas atap rumahnya untuk memandang di kejauhan. Mencoba melihat dunia di luar pagarnya. Sungai mengalir yang berkilauan, gunung-gunung yang menjulang tinggi. Oh, betapa dia sangat ingin melihat dunia di luar rumahnya.

Suatu ketika dia melihat ada seekor burung merpati yang sayapnya patah di halaman rumahnya. Anak itu menghampirinya untuk memberikan pertolongan, tetapi burung itu malah berlari menghindar. Anak itu heran, betapa cepatnya burung itu berlari.

Dia mengejar burung itu dan nekat keluar dari pagar rumahnya. Berlari jauh hingga melewati hutan. Melewati hutan yang gelap dan ditutup oleh lebatnya pepohonan. Lalu dia tersesat. Si anak kemudian menjadi takut, karena teringat tentang cerita ibunya akan raksasa dan serigala. Dia panik. Dia mencari jalan keluar dengan gelisah. Dan karena dia panik dia tidak memperhatikan sekitar, kemudian dia tergelincir dan jatuh terguling-guling sampai terjerembap di suatu tempat yang luas.

Ia membuka matanya dan dia tercengang. Dia melihat padang rumput yang begitu luaaaaaas. Hamparan bunga berwarna-warni sejauh mata memandang, pemandangan terindah yang pernah dia lihat. Tidak ada raksasa maupun serigala di sana. Hanya ada kupu-kupu, dan capung menari ceria dengan kepakan sayapnya di atas bunga. Dan juga hewan-hewan yang sedang santai melahap rumput.

"Inikah dunia luar itu?" pikirnya. Seketika dia langsung antusias untuk menjelajahi dunia luar lebih jauh. Mencari tahu lebih banyak apa saja yang ada di luar pagar rumahnya. Dia sangat bersemangat. Ketika ia sampai rumah dan menceritakan semuanya tentang padang rumput itu, dan bercertia tentang tidak adanya raksasa atau serigala di luar kepada ibunya dengan penuh semangat, ibunya marah dan murka.

"Kenapa kau tidak menuruti perintahku? Kau anak durhaka!" amuk ibunya. Cacian dan bentakan ibunya membuat sang anak merasa bersalah.

Namun dia teringat tentang padang rumput di luar pagar rumahnya, itu membuatnya mampu berdiri dan bertanya kepada ibunya. "Tidak ada raksasa dan serigala di luar sana. Kenapa kau berbohong, Ma?" tanyanya tegas.

Ibunya tertegun kaget. Kemudian ibunya menjelaskan alasan dia berbohong kepada anaknya karena dia mencintainya. Ibunya tidak mau dia keluar dari rumah itu. Ibunya menjelaskan itu sambil menangis. Sang anak tersentuh dan memeluk ibunya. "Aku juga sayang mama, bagaimanapun mama lah yang membesarkan aku." kata anak itu, "Tapi aku ingin pergi keluar melihat dunia. Biarlah aku menjalani hidup yang telah kupilih." lanjutnya.

Seraya melepaskan pelukannya, sang anak bersiap-siap. Dia menyiapkan bekal seperlunya untuk pergi dari rumah itu. Setelah dia siap, dengan penuh tekat dan semangat yang menggebu-gebu, dia meninggalkan rumah. Berat rasanya dia meninggalkan ibunya dan rumah itu, tapi dia juga sadar kalau tidak mungkin menghabiskan seumur hidupnya di sana.

Dengan rasa cemas dan penuh harapan, dia melangkahkan kakinya keluar pagar. Untuk pertama kalinya dia merasa bebas. Senyumnya lebar, menunjukkan bahwa dia sudah siap mencaritahu tentang dunia luar lebih jauh, dan kemudian menyatu dengan luasnya alam semesta menggapai bintang-bintang... dengan bebas.

Keluar dari rumahmu yang nyaman dan temukan takdirmu...


Wednesday, May 14, 2014

Ditinggal

Salah satu teman kecil gue baru saja kehilangan ayahnya. Saat gue bertemu dengannya di pemakaman, gue nggak mengatakan apapun selain "be strong..." karena tidak ada kata lain yang bisa mengurangi kepedihan kehilangan orang yang dicintai. Gue hanya menyalaminya dan memeluknya singkat. Gue tahu, hanya itu yang dia butuhkan dari gue; bukan wejangan, bukan kalimat menghibur. Dia hanya butuh tahu gue ada untuk dia pada saat itu.

Begitu pun ketika ibunya meninggal 2 tahun lalu. Gue melakukan hal yang sama. Hanya datang ke tempatnya dan menemaninya ngobrol. Ada untuknya. Tidak memberikan kalimat penghibur, tidak memberikan nasihat. Hanya ada.

Karena kepedihan itu hal yang sangat pribadi.

Ketika ibunya meninggal 2 tahun lalu, gue merasakan adanya kesamaan dengannya. Ibu kami sama-sama kalah oleh penyakit kanker. Ibu gue meninggal ketika gue masih kecil. Gue masih belum tahu banyak tentang apa itu meninggal. Ketika bendera kuning dipasang di rumah nenek gue, dan gue diberitahu bahwa ibu gue meninggal, gue hanya berlari dan menangis tanpa benar-benar memahami kalau seseorang yang gue sangat cintai tidak lagi bisa menemani perjalanan hidup gue lebih lama. Hanya menangis karena tahu ibu gue meninggal. Tidak lebih. Karena gue masih kecil dan belum begitu mengerti.

Beda kalau gue kehilangan ibu gue di umur sekarang. Pedihnya akan lebih terasa menyakitkan. Gue bisa membayangkannya, dan gue ragu bisa setegar teman gue tadi. Dia terlihat sangat kuat. Dia masih bisa tersenyum dan menghibur kami, para tamu, agar tidak bosan. Dia tertawa, walaupun gue tahu kalau sebenarnya dia sedang merasa sakit teramat sangat. Gue tidak tahu pasti tentang hal itu, gue hanya berasumsi. Namun satu hal yang gue tahu, dia tidak merasakan kesepian pada saat itu.

Banyak hal yang dia ucapkan pagi tadi, tapi ada satu yang masih gue ingat, "Bokap gue galak, dan kadang suka marah. Kalau gue malah keliatan sedih sekarang, bokap gue nggak bakal seneng." Katanya sambil bercanda. Dan kami pun tertawa dibuat-buat untuk menghargai bercandaannya.

Thursday, May 8, 2014

Zakid, Mz

Jadi dari hari Senin kemarin gue sakit. Jadi gue tidak bisa keluar rumah untuk melakukan aktivitas yang biasa gue lakukan. Dan seperti biasa, kalau gue sakit gue malas pergi ke dokter. “Tinggal istirahat aja ini mah.” selalu menjadi solusi gue pada hampir setiap penyakit yang gue derita.

Bukannya gue alergi dokter, hanya saja pengalaman dari kecil seringkali  menunjukkan kalau penyakit yang gue derita tidak akan bertahan lebih dari 2 hari, oleh karena itu pergi ke dokter hanya buang-buang waktu saja. Gue terlalu percaya sama daya tahan tubuh gue.

Namun pernah juga gue dikhianati olehnya. Saat itu gue pernah merasakan tidak enak badan, dan gue rasa itu hanya penyakit lewat biasa dan gue yakin tubuh gue bisa melawannya, namun keesokan harinya gue lemas tak berdaya. Setelah dibawa ke dokter ternyata panas gue mencapai 45 derajat. Demam dengan semangat 45. Dokter bilang itu adalah gejala tifus. Gue berpikir, “Gejalanya aja sadis, gimana yang aslinya?” Kalau ibarat boker, panas 45 derajat itu baru kentutnya. Pas sudah acara utamanya, boker, gue mungkin sudah diopname.

Dan sekarang gue rasa gue terkena gejala tifus lagi. Demam yang gue rasa memang tidak sebesar kemarin, mungkin hanya 44,9 atau sekitarnya, namun tetap saja itu membuat gue mati kutu beberapa hari belakangan ini. Dan juga gue malas ke dokter, alasan “nggak apa-apa, cuman butuh istirahat kok.” selalu menjadi andalan gue. Dan asal kalian tahu saja, banyak orang yang seperti gue, yang menjadikan “hanya butuh istirahat” sebagai alasan. Mungkin ada juga yang seekstrim ini:

X:  ASTAGA, Y! Ayo gue bawa ke rumah sakit atau dokter terdekat!
Y: Oh, nggak apa-apa kok.
X: Nggak apa-apa gimana? Lo baru jadi korban tabrak lari mobil begitu! Udah ayo, gue gotong sinih!
Y: Beneran, nggak apa-apa kok guenya.
X: MATAMU! Kaki lo kelindes ituuuuu! Udah hampir mau putus! Kalau dibawa ke rumah sakit dan ditangani dokter dengan segera mungkin masih bisa diselamatkan.
Y: Oh, ini? Cuman butuh istirahat kok.
X: Lo bukan cicak woi! Kaki lo nggak bisa numbuh lagi!

Sekali lagi, gue bukan alergi dengan dokter, namun ada saja orang yang alergi dokter walaupun tidak seekstrim di atas. Di sisi lain, ada juga orang yang terlalu percaya dengan dokter dan tidak mau repot. Di berbagai pedesaan sendiri banyak kasus demikian, banyak orang minta disuntik walaupun hanya demam dan butuh istirahat saja, karena ya mereka tidak mau tahu dan tidak mau repot bertanya. Di buku BaM sendiri Mas Isman menjelaskan kalau temannya yang menjadi dokter gigi di Garut pasiennya selalu minta giginya dicabut.

Dokter: Oh, ini mah cuman lubang kecil, Pak. Tinggal ditambal dan semua beres, nggak ngilu lagi.
Pasien: Nggak, Dok. Cabut aja!
Dokter: ...

Bukannya tidak mungkin juga kalau dokter gigi di sana juga pernah mendapat kasus ekstrim seperti ini:

Pasien: Dok, anak saya mulutnya di bagian belakangnya katanya berasa sakit!
Dokter: Oh, ini ya? Jadi di sebelah geraham ini ada—
Pasien: Cabut aja, Dok!
Dokter: Ini sariawan, Pak...
Pasien: Bisa dicabut nggak?
Dokter: ...

Bukannya tidak baik kalau percaya sama kemampuan medis dan kemampuan dokter, yang tidak baik itu kalau terlalu mengandalkannya. Jadi kalau merasa tidak enak badan langsung pergi ke dokter dan meminta pengobatan, padahal tidak enak badannya karena terlalu banyak kerja dan hanya membutuhkan istirahat. Dan juga jangan malas pergi ke dokter bila penyakit yang diderita itu sudah tidak wajar/tidak biasa, pekerjaan dokter itu bukan sebagai algojo kok, asal kalian mau menjadi pasien yang cerdas.

Sekarang sih gue sudah mendingan, tapi kayaknya gue masih akan sakit sampai akhir pekan besok. Jadi masih butuh “istirahat”. Lho, kenapa? Memangnya nggak boleh sakitnya tanggung sampai hari libur? :p

Wednesday, May 7, 2014

Pernahkah?

Pernahkah kamu kenal dengan orang di bawahmu yang lebih pintar/lebih dewasa/lebih berpikiran terbuka daripada dirimu dan itu membuatmu takut sehingga kau kagum? Kau menjadi kagum karena tahu kalau dia di bawahmu namun dia jauh di atasmu. Pernahkah?

Saya pernah.

Tuesday, May 6, 2014

Menikah atau Tidak?

Hari ini gue sedang sakit, dan agak terhibur karena 2 orang kenalan gue dari lingkaran yang sama, Jet dan Kei, membahas tentang pernikahan di linimasa Twitter. Dan seperti biasa, gue merasa kagum atas pemikiran mereka. Yaaa, sebenarnya bukan kagum sih, gue hanya senang bahwa orang pintar seperti mereka mempunyai cara pandang yang sama dengan gue. Dan gue senyum-senyum sendiri karenanya.

Untuk melihat pemikiran mereka tentang pernikahan, bisa dilihat di linimasa mereka. Gue nggak akan membeberkan apa saja poin-poin mereka tentang apa itu pernikahan. Kali ini gue akan ikut berbicara tentang pernikahan dari kacamata gue... walaupun gue nggak pakai kacamata. Ya tentunya kalian tahulah kalau itu cuman kiasan.

Jadi apakah pernikahan itu? Gampangnya itu adalah suatu ritual yang mengikat sepasang manusia dalam suatu hubungan yang sakral dan suci. Sepasang manusia yang sudah menikah tersebut akan membangun sebuah kelompok kecil yang disebut keluarga. Dan membangun keluarga itu merupakan tanggung jawab yang SANGAT besar dan memakan waktu seumur hidup. Berat? Iya, memang. Butuh pemikiran yang sangat matang dan tidak bisa seenaknya. Makanya gue agak bingung ketika melihat banyak banget orang yang menikah muda.

Bagi teman-teman gue yang sudah follow gue dari dulu, pasti sering banget melihat ocehan gue tentang menikah muda. Dan dari ocehan itu mungkin mereka akan menganggap kalau gue itu anti pernikahan muda atau anti pernikahan. Karena ocehan gue tentang topik ini biasanya kontra dan tidak seperti yang orang-orang pikirkan (atau seenggaknya orang di sekitar gue).

Apakah gue anti pernikahan muda? Tentu tidak. Gue setuju saja jika ada sepasang kekasih ingin meneruskan hubungannya ke tahap lebih serius. Toh itu hidup mereka, bukan gue. Asal mereka bahagia dan merasa tidak keberatan, ya bagus. Yang bikin gue kelihatan anti pernikahan muda adalah pendapat kontra gue yang didasari karena gue sudah banyak melihat pasangan muda yang tidak memiliki rencana yang cukup matang. Mereka terlihat seperti lupa kalau cinta saja itu tidak bisa menghidupi sebuah keluarga. Dan gue juga sudah melihat salah satu yang tidak bertahan lama karena masalah sepele. Itu juga membuat gue makin yakin untuk tidak menikah muda. Kebanyakan anak muda tidak mampu memikul tanggung jawab besar seperti pernikahan. Dan ya namanya juga hidup, pasti ada juga yang berhasil melaluinya, jadi nggak perlu bilang "gak juga ah." ke gue.

Gue sendiri tidak terlalu memusingkan kapan gue harus menikah. Yang terbayangkan di otak gue adalah gue menikah ketika gue sudah mapan di umur 30 ke atas. Dan bila di umur 30 ke atas itu gue belum juga mapan, ya gue tidak akan menikah. Gue nggak mau menyusahkan anak orang.

Apakah gue juga anti pernikahan? Juga tidak. Gue setuju kalau pernikahan bisa jadi salah satu sumber kebahagiaan dalam hidup, namun gue juga akui bahwa pernikahan bukan untuk semua orang. Nggak semua orang bisa memikul tanggung jawab pernikahan. Kalau kesannya gue anti itu karena gue nggak suka dengan pola pikir orang-orang yang menjadikan pernikahan itu sebagai piala kesuksesan.

Kalau mau dilihat lagi, sekarang ini pernikahan itu lebih cenderung ke tekanan sosial. Jika tidak menikah di umur sekian, masyarakat akan mengadili macam-macam. Padahal sebenarnya bisa saja orang yang tidak menikah itu memilih untuk demikian karena beberapa alasan. Bagaimanapun juga, itu lebih baik daripada menikah karena obsesi buta.

Obsesi buta yang gue maksud adalah obsesi orang terhadap pernikahan, yang menganggap kalau pernikahan itu adalah solusi dan titik pencapaian kesuksesan dalam hidup. Seolah kita sudah dicuci otaknya, jadi robot yang diprogram oleh masyarakat untuk lahir lalu sekolah kemudian kerja terus menikah dan punya anak dan diakhiri oleh mati. Dan misalnya ada orang yang mau menentukan jalan hidupnya sendiri dan menyimpang dari jalur tersebut, langsung dicemooh dan dicerca. Itu seperti dibilangin "Lo boleh bebas, tapi mesti ikutin peraturan gue." Apakah pernikahan itu adalah sebuah titik pencapaian? Bisa jadi, tapi jelas itu bukan puncaknya.

Lo mau menikah atau tidak, ya bebas. Pilih dengan bijak lo mau menempuh jalur yang mana. Cuman yang harus diingat adalah, ketika lo sudah menikah, entah di umur muda atau tua, tanggung jawab yang lo pikul menjadi bertambah berat. Lo tidak mau menikah? Ya beban lo tambah berat juga, khususnya dari pandangan masyarakat. Gue sendiri nggak menganggap kalau pernikahan itu penting. Ide kalau kedua orang saling mencintai saja sudah cukup bagi gue, tapi perlu diingat bahwa tidak semua orang berpikiran seperti gue. Jadi, mau pilih yang mana?

Oh iya, kali saja lu males nengok ke kanan, gue mau kasih tahu lagi kalau gue punya akun ask.fm lho. Jadi mari saling tanya! Kalau mau tanya pandangan gue lebih luas lagi tentang ini, juga bisa. Sila tanya di sini. Ya ya ya? Ayo dong. Kesepian nih. :(

Friday, May 2, 2014

Kurang Konsentrasi dan Mijon

Hari ini gue dan empat kerabat gue mempunyai sebuah rencana untuk pergi ke suatu tempat. Empat orang itu bernama Arya, Gembel, Mamet, dan Iwan. Tentunya nama-nama itu merupakan nama panggilan yang diberikan oleh kelompok kami. Mana ada ibu yang begitu sayang kepada anaknya sampai harus memberi nama “Gembel”? Lagipula persahabatan antar pria yang kuat itu disimbolkan dari sekasar apa mereka saling menyapa. Teori itu bisa gue beri contoh dari teman gue yang bernama Nius. Saat itu gue ingin menghubungi sahabat dia yang bernama Gonzales.

Gue: Yus, minjem HP lo dong, gue mau hubungi Gonzales. Gue nggak punya nomernya.
Dia: Oke, nih. *dia memberikan HP-nya*
Gue: Euh... mana? Kok Gonzales nggak ada?
Dia: Oh, cari di “S”. Si Tai.
Gue: ...

Kembali lagi kepada 5 sekawan tadi.

Jadi, kami sebelumnya janjian bertemu di J.Co pada jam 12 siang. Tentunya sebagai orang Indonesia sejati gue datang pada jam 12.10. Setelah gue sampai gue dikagetkan dengan tidak adanya teman-teman gue. Mereka lebih Indonesia. Sambil menunggu, gue memesan minuman coklat dan menghubungi mereka semua. Arya bilang sudah berada di lampu merah, Mamet tiba-tiba tidak bisa ikut, sedangkan sisanya bilang kalau tidak bisa datang ke J.Co dan akan langsung berangkat ke lokasi. Bagus! Selain doyan ngaret, mereka juga suka membatalkan janji seenaknya. Kalau cara mengukur ke-Indonesia-an seseorang dari kedua sifat itu, gue yakin mereka sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kriteria untuk menjadi pemimpin negri ini.

Gue menunggu Arya. Arya pun ditunggu gue (halah). Kemudian tidak lama setelah itu, Arya datang dan menanyakan yang lainnya pada di mana. Obrolan kami cukup aneh... well, dianya sih yang aneh. Kenapa? Karena yang kami obrolkan kurang lebih seperti ini.

Arya: Sorry telat,mana yang lain?
Gue: Gembel masih di rumahnya sama si Iwan, katanya nanti langsung ke lokasi. Mamet juga masih di rumahnya dan nggak bisa ikut.
Arya: Laaaaah? Kok gitu sih? Kenapa si Mamet nggak bisa ikut?
Gue: Nggak tau, katanya ada urusan mendadak. Cabut nih?
Arya: Nggak bisa gitu dong! (dia agak kesal) Wong udah janjian dari Selasa kok. Itu si Gembel juga seenaknya, kan yang ngajak kumpul di sini itu dia.
Gue: Ya mau gimana lagi? Rumahnya si Gembel kan agak jauh dari sini, mungkin dia ngajak kumpul di sini buat kita doang.
Arya: Tetep aja ah! Si Mamet pake nggak bisa ikut juga, kenapa sih dia emangnya?
Gue: Euh... tadi bukannya gue udah bilang kalau dia ada urusan?
Arya: Urusan apaan?
Gue: Gue nggak tau. Kerjaan kali. Pokoknya dia bilang nggak bisa ikutan. Kapan-kapan aja.
Arya: Oh, jadi dia nggak bisa ikut?
Gue: TAU AH!

Gue nggak tahu itu dia sengaja mengulang-ulang bercanda  atau mau membuat gue ikutan kesal semata. Tapi dari matanya gue tahu kalau dia itu sedang serius, jadi bisa gue pastikan kalau dia tidak bercanda.

Nggak bisa dipungkiri (cielah “dipungkiri”) kalau kita pasti kenal dengan orang dengan kebiasaan kayak di atas. Yang gue maksud dengan kayak di atas adalah absurd. Gue nggak bisa menjelaskan mengapa mereka bisa seperti itu, namun gue punya kesimpulan kalau mereka seperti itu karena kurangnya daya konsentrasi. Kurangnya konsentrasi bisa membuat kita menjadi pelupa, susah mengingat, atau paling parah menjadi bahan ejekan teman.

Selain Arya tadi, gue juga mempunyai teman bernama Frans yang mempunyai masalah sama. Kalau si Frans ini tidak usah ditanya kisahnya. Karena terlalu banyak. Kalau dibuat buku tentang kejadian lucu keanehannya, 3 seri buku Harry Potter akan kalah tebal. Bukunya bisa dibuat untuk ditimpuk ke maling dan malingnya akan pingsan. Frans adalah Jim Hendrixnya dalam bidang kurang konsentrasi. Pernah saat itu sedang nongkrong bareng...

Frans: *menggigil* haduuuuh, dingiiiiin banget...*sambil melepas jaketnya*
Figuran: Lho, kalau kedinginan kenape jaketnya dibuka?
Frans: *bengong* *mikir* Oh iya ya... hehehehehehehehehehehehe.
Semua: ...

Dan dulu gue juga pernah ceritakan di sini tentang Mang Maman.

Bagi yang malas buka link tadi, akan gue ceritakan sedikit di sini. Mang Maman adalah asisten ibu gue yang selain agak bolot, dia juga memiliki masalah dengan konsentrasinya.

Gue bisa dibilang anak semi-gaul, makanya gue sering pulang malam. Karena gue sering  pulang malam, Mang Maman sering memastikan apakah gue sudah pulang atau belum. Kalau sudah, berarti dia bisa mengunci pintu gerbang. Kalau belum, pintu gerbang tidak dikunci agar gue bisa masuk.

Suatu ketika gue pulang tidak terlalu malam, di bawah jam 12. Gue sudah di kamar, menyalakan lampu dan juga menghidupkan TV (saat itu gue masih suka menonton TV). Lalu tiba-tiba ada suara ketukan dari luar. Gue buka kamar pintu gue, menengok ke luar, dan menemukan ternyata Mang Maman yang mengetuk pintu. Saat gue tanya “Ada apa?” Dia menjawab santai dengan satu pertanyaan yang hampir membuat gue hilang harapan terhadap umat manusia. Dia bertanya “Oji udah pulang?” (bukalink tadi untuk cerita lengkapnya)

Sekali lagi, gue nggak bisa menjelaskan apa yang terjadi dengan mereka. Yang bisa gue simpulkan adalah mereka kurang konsentrasi, sehingga daya otaknya agak ya-gitu-deh. Terus bagaimana sebaiknya kalau Anda merupakan salah satu yang demikian? Coba banyak-banyak minum Mijon. Kalau tidak sembuh juga, ya paling nggak sudah berusaha.

Moral dari cerita ini? Seperti biasa: nggak ada. Tapi satu hal yang mesti diingat, kalau Anda kurang konsentrasi di atas, bersiaplah jadi bahan ejekan kawan Anda. :)