Tuesday, January 22, 2013

Anak

Kenapa saya tidak bisa mempunyai anak?

Normalnya, saya seharusnya sudah bisa mempunyai buah hati. Tetapi nyatanya sampai sekarang telinga ini masih sepi menunggu suara anak kecil yang berteriak "mama". Bahkan karena keinginan untuk memiliki anak, telinga ini malah semakin tegar karena hinaan orang sekitar dan bentakan suami-suami saya.

Ya, suami-suami

Dalam dekade terakhir, saya sudah menikah sebanyak 3 kali. Dan ketiganya tidak pernah mendapat kesan baik.

Pernikahan pertama adalah dengan seorang pria bernama Jodi. Dia adalah laki-laki yang umurnya sama. Badannya besar berotot; rahangnya kotak; dan tatapannya tajam. Pernikahan dengannya lah yang sangat berkesan. Karena sangat menyakitkan. Hubungan dengannya tidak direstui oleh orangtua saya. Masih teringat di benak wajah seram ayah yang berteriak setelah memukul dan lalu mengusir saya dari rumahnya. Beliau berteriak tidak mau menganggap saya sebagai anaknya lagi apabila menikahi Jodi, sementara ibu hanya duduk di sofa sambil menangis ditemani dua saudaraku. Saya pun mengambil keputusan, lalu meninggalkan mereka tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

Pernikahan dengannya berjalan selama 3 tahun, lalu kami berpisah. Kami bercerai karena ternyata Jodi adalah orang yang kasar. Dia selalu lepas kontrol ketika mabuk. Keadaan semakin parah ketika saya bercerita kepadanya kalau saya ingin mempunyai anak. "Kau itu harus sadar kalau kau itu tak bisa mempunyai anak, goblok! Dan aku tidak ingin mempunyai satupun!" Dan, ya, kami bercerai karena saya sudah tidak tahan akan perlakuan dan ucapan dia.

Pernikahan kedua kulewati bersama Koko. Umurnya 8 tahun lebih tua dari saya. Badannya gemuk; kepalanya botak; dan kulitnya sawo matang. Apa yang membuat saya jatuh hati kepadanya? Selain karena dia bisa menerima saya, dia juga adalah orang yang kelewat ramah. Jika kami bertikai, dia tidak seperti Jodi. Dia lebih tenang. Ya mungkin karena sudah berumur, makanya bisa lebih dewasa dalam menghadapi konflik. Jikalaupun dia marah, satu hal yang membuatku sakit hanyalah kata-kata sarkasnya. Halus, namun sangat tajam. Kalimat sarkasnya memang jarang, namum hal itu berubah ketika saya berbicara mengenai anak. Ucapannya memang terdengar tenang, tapi dari intisari kata-katanya, saya tahu bahwa dia menolaknya. Namun saya tidak akan menyerah untuk membujuknya. Hehe.

Di umur pernikahan kami yang 2 setengah tahun, kami mengalami kecelakaan hebat di pulau Bali ketika sedang berlibur. Dia meninggal di tempat, sedangkan saya di rawat di rumah sakit selama 7 bulan.

Selama 7 bulan di rumah sakit saya menghabiskan waktu dalam kesedihan. Namun ada 1 perawat yang bernama Widodo yang selalu menghibur saya. Agak aneh memang orang bernama Widodo hidup di Bali, tetapi dia juga pernah bercerita kalau dia bukanlah penduduk Bali asli. Dia asli Semarang. Widodo selalu bercerita kalau dia adalah anak peternak bebek di kampungnya, dan bisa dibilang kalau keluarganya termasuk kaya dan terpandang di tempat tinggalnya. Dia pindah ke Bali karena dia memang punya kemauan untuk meninggalkan daerah asalnya. Jiwa berpetualangnya masih sangat besar. Mungkin karena umurnya yang masih muda, lebih muda 4 tahun dari saya, tepatnya.

Kami pun menikah setelah berpacaran selama setahun. Kami bisa dibilang pasangan yang sangat dimabuk asmara di 3 bulan pertama pernikahan kami. Karena suasanya sedang bagus, saya tidak lama-lama mengulur waktu untuk berbicara dengannya tentang memiliki anak. Karena di 2 pernikahan sebelumnya, berbicara tentang "itu" setelah lama berhubungan hanyak berakhir menyakitkan. Lalu coba tebak apa? Dia lalu mengiyakannya! Setelah mendengarkan cerita saya tentang betapa saya sangat ingin memiliki anak, dia lalu mengiyakannya. Bayangkan, betapa bahagianya saya saat itu.

Namun di bulan ke-5 pernikahan kami, dia pergi. Dia dan kekasih barunya pergi ke luar negri.

Kembali, hati ini seperti ditusuk tombak, disayat pisau, lalu diolesi potongan jeruk nipis di bekas sayatannya. Walaupun tidak yakin, saya rasa ini karena masalah anak.

"Cukup dengan permintaan akan anak!" sesal saya.

Saya marah kepada diri saya sendiri. Saya mulai menyalahkan semuanya. Saya menyalahkan Tuhan.

Kalau saja saya tidak ingin memiliki anak; kalau saja saya tidak terus-menerus mengganggu suami-suami saya dengan permintaan aneh yang saya lontarkan; kalau saja saya bisa mengandung; kalau saja saya bukanlah seorang laki-laki. Tentu saja semua itu tidak akan saya alami.