Thursday, February 11, 2021

Filsuf Dadakan

Kayaknya gue bisa mewakili banyak orang kalau gue bilang bahwa tengah malam menuju pagi buta adalah waktu favorit untuk pikiran liar menggerayangi otak manusia. Gue rasa karena suasana sedang sepi dan diri kita dipaksa untuk menggauli kesunyian tersebut, sehingga kepala bisa fokus untuk mengundang ribuan ide. Cemerlang belum tentu, tapi yang jelas pasti ada banyak yang datang. Ketika sedang melamun pas berak pun juga sama, tapi sensasinya tidak seperti saat bengong tengah malam sambil menatap langit-langit kamar atau duduk di luar diselimuti langit yang gelap.

Biasanya kalau makin malam dan semakin sepi, seseorang akan menjadi lebih "dalam". Contohnya di tongkrongan, biasanya obrolannya akan menjadi lebih berat kalau malam semakin tua. Gue pribadi sering menjadi saksi hidup fenomena itu ketika sedang bercengkrama dengan kawan-kawan gue kalau kami nongkrong dalam waktu yang lama. Obrolan jam 7 malam masih hahahihi saling ejek, lalu jam 9 malam gosip (ya gue menggosip) tentang orang lain, jam 11 malam mulai membahas bumi datar atau cerita sejarah nabi-nabi, dan semakin pagi obrolan tambah berat sampai membahas ketuhanan. Itu semua sama sekali tanpa pengaruh alkohol, paling hanya kafein dari kopi atau nikotin dari rokok dicampur lingkungan yang tambah sunyi.

Kesunyian tengah malam itu kadang memaksa kita menjadi filsuf dadakan. Mempertanyakan hal-hal remeh seperti tujuan eksistensi manusia di bumi atau alam semesta... Tunggu, itu remeh di mananya? Ya intinya itu tadi mengajak kita untuk berpikiran liar ke mana-mana.

Gue masih ingat, dua tahun lalu ketika tengah malam sendirian di kamar kontrakan, kamar gelap hanya ada cahaya kuning dari sudut kamar yang gue pasang lampu LED dan suara dari kipas angin, gue lagi kesulitan untuk tidur. Tiba-tiba kepikiran "Gue di semesta lain jam segini lagi apa ya?". Yak, gue malah jadi melamun tentang multisemesta dan mikirin lagi apa gue di semesta lain tersebut.

Multisemesta atau multiverse adalah hipotesis kalau ada semesta lain selain yang kita hidupi ini. Teori tentang multiverse ini pun ada banyak yang semuanya mempunyai satu kesimpulan, alam semesta kita ini terlalu besar dan bisa saja bukan satu-satunya! Di dalam teori multiverse bumi tidak hanya ada satu, melainkan tidak terhingga, yang artinya ada Omar Firdauzy yang tak terhingga juga di dunia paralel sana. 

Di alam semesta yang gue tinggali ini ada Omar yang pada pagi buta sekarang sedang menulis untuk blog ini. Di waktu yang sama di semesta lain mungkin ada Omar Firdauzy yang sedang ditelepon oleh klien karena ada revisi dari proyek desain rumahnya (ya, Omar ini adalah arsitek, mungkin alumni UNDIP). Di semesta lain ada Omar yang sedang di bar karena dia bartender. Omar semesta lainnya ada yang sedang merebus Indomie Goreng memakai panci tengah malam karena lapar. Di semesta lainnya ada Omar yang merebus Indomie Goreng juga, hanya saja memakai wajan. Banyaaaaaaaaaaaaak kemungkinannya. Ada semesta lain yang sedang berjalan atau tercipta untuk tiap kemungkinan kecil yang bahkan lo nggak sadari. Kayak misalnya lo lagi bimbang mau beli nasi goreng atau mie goreng. Ketika lo memutuskan untuk membeli nasi goreng, di semesta lain ada elo versi lain yang justru membeli mie goreng. Dan gue yang sulit tidur dua tahun lalu sedang memikirkan sedang apa gue di semesta lain itu.

Tengah malam dua tahun lalu gue tidak berhenti memikirkan sampai di sana saja, ternyata imajinasi gue membawa gue untuk membayangkan lebih jauh tentang multiverse ini. "Kalau multiverse ada, surga dan nerakanya ada satu atau tak terhingga?" Dan gue lalu mengucapkan selamat tinggal kepada tidur malam.

Dalam pikiran gue saat itu, lucu juga ada akhirat multiverse. Bahkan sampai saat ini gue masih berpikir itu lucu. Karena kekacauan seperti apa yang terjadi di alam sana. Dalam hal ini anggap saja gue percaya adanya akhirat ya.

Intisari malam itu adalah pertanyaan "Kalau multiverse ada, surga dan nerakanya juga ada satu atau tak terhingga?" Kalau misalnya hanya ada satu,  bagaimana pencatatan amalnya? Misalnya di semesta ini gue brengsek tapi tobat, sedangkan di semesta lain gue pemuka agama korup, dan di semesta lain gue filantropi kafir, dan variabel lainnya yang tidak terhingga. Bagaimana malaikat mencatat amalnya untuk ditimbang supaya dapat masuk surga? Omar mana yang masuk surga? Tidak berhenti di sana kekacauannya. Kalau surga dan neraka cuman satu, bisa jadi gue bertemu dengan gue yang dari semesta lain di surga/neraka.

"Wih! Ada Omar lain! Gue Omar dari semesta ABQ-69. Dari mana lo? AAAAAAH!!!" Tanya gue sambil dipecut pakai rantai api di neraka ke gue lainnya yang sedang disiksa dipaksa minum lahar.
"Gue dari semesta CT-124. Tadi gue ketemu sama Omar dari semesta ID-0211, dia lagi digantung terbalik di kandang macan neraka. HYEEEEEKH!!!"
"Oh, gue juga kemarin liat banyak Omar lain di dekat danau darah mendidih. Habis disiksa ini, mau ke mana lo? Nongs lah nanti sama Omar lainnya! AAAAAAAAAGGGGHHH!!!"
"Lah, gaskeun!"

Lalu kalau surga dan neraka juga ada tak terhingga, ada dong kemungkinan di akhirat A gue dianggap kafir dan halu karena percaya keyakinan asing menyembah berhala kucing selama hidup di semesta A, tapi ternyata menyembah berhala kucing adalah keyakinan agama surgawi di akhirat B. Apakah gue di semesta A akan masuk neraka di akhirat A atau akan masuk surga di akhirat B karena gue terhitung alim di semesta B?

"kamu semasa hidup telah membantai 6 juta orang dengan cara kepemimpinan diktatormu. Itu adalah dosa yang sangat besar di akhirat KMZ-87AA ini. Kalau di akhirat sini kamu pasti masuk neraka paling dalam." Ucap penjaga akhirat versi KMZ-87AA kepada Hitler ketika dia amal perbuatannya sedang ditimbang. "Tapi jangan sedih dulu, untung saja ada di akhirat semesta A1B3, hal itu adalah pahala besar. Jadi kamu masuk surga yang di sana." Lanjut si malaikat, lalu Hitler pun sumringah.

Kalau akhirat juga tidak terhingga, sudah pasti semua nerakanya akan kosong, karena tiap dosa bisa saja menjadi pahala di akhirat lainnya. Akan kacau. Tapi kalau surga dan neraka cuman ada satu juga tidak akan kalah kacau, karena tiap semesta kemungkinan punya standar kebaikan yang berbeda pula, akan membuat proses seleksi masuk surganya membingungkan dan tidak adil untuk penghuni semesta lain.

Pemikiran liar seperti itu semua akan sulit kepikiran misalnya gue melamun di waktu yang bukan tengah malam menjelang pagi buta. Jam-jam kelelawar tanpa kebisingan seperti ini memang punya sihir yang berbeda untuk otak, oleh karena itu gue suka misalnya masih terjebak di dalam obrolan ngalor-ngidul dengan orang lain di waktu pagi buta begini. Soalnya ada potensi untuk menyambung ke topik yang lebih berat atau lebih imajinatif dan itu cukup menyenangkan. Bingung? Nggak apa-apa, gue yakin di semesta lain ada elo lainnya yang nggak bingung kok. Hahaha.

No comments:

Post a Comment