Monday, December 12, 2022

Bar Ngebar

"Gue mau minta tolong sama kalian ya, nanti tanggal 23 gue mau bikin event Natal, temanya Christmas Love Song," ucap teman gue yang pemilik bar di suatu daerah di selatan Jakarta kepada gue dan satu teman gue. Obrolan ini terjadi baru tadi sekitar jam 3 pagi ketika kami bertiga sedang duduk-duduk di parkiran sembari cari angin. Kami pun bertanya bantuan seperti apa yang dia butuhkan. Apakah perihal promosi, teknis acara, sumbang ide untuk daftar lagu? Dia pun melanjutkan, "gue mau banget di malam itu banyak yang make out." dan gue tertawa bersama teman gue yang satunya lagi, karena kami sadar kalau baru saja diminta tolong untuk memulai berciuman bersama pasangan agar pengunjung lainnya pun berani untuk melakukan hal yang sama di bar tersebut. Dimintai tolong agar menjadi instrumen untuk melakukan perbuatan berdosa. Astaghfirullah... Or should I say astaghfirulove.

Bar yang gue sebut tadi adalah salah satu dari sekian banyak cabang bar yang berada di bawah nama yang sama. Namun, yang paling gue sering datangi adalah yang itu. Tapi jangan salah, gue sering datang ke sana bukan karena gue alkoholik atau bagaimana, tetapi karena orang-orangnya.

Gue bukanlah orang yang tidak bisa bersenang-senang tanpa minuman. Gue punya banyak cara lain untuk membuat diri gue bisa menikmati diri sendiri. Lagipula gue tidak begitu menikmati rasa alkohol seperti yang pernah gue bilang di tulisan lama gue. Rasa susu strawberry tentu masih dan akan tetap menjadi nomor #1 di peringkat minuman terenak menurut gue. Jadi bisa dengan percaya diri gue bilang bahwa gue bukanlah alkoholik.

It's the people.

Pada awalnya gue sering datang sendiri ke sana. Tidak punya kenalan atau teman di bar itu, murni hanya datang sendiri karena ingin menyendiri di suatu tempat yang tidak asing dan asik. Namun lama kelamaan karena frekuensi datangnya tinggi dan gue juga ngobrol sana-sini, gue jadi kenal banyak teman baru dari sana dan dikenal oleh orang yang bahkan gue tidak tahu itu siapa. Entah sudah berapa kali gue disapa "Eey, Mar!" oleh pengunjung tapi hanya gue balas "eits, apa kabar?" karena gue nggak tahu orangnya atau namanya.

Sampai sekarang pun gue masih sering datang sendiri ke sana, karena gue tahu pasti ada saja orang yang gue kenal sedang berada di sana. Bahkan kalau gue ke bar sama di cabang lainnya, gue yakin bahwa pasti ada wajah yang gue kenal. Kalau bukan pengunjung lain, ya paling tidak pemilik atau pekerja bar itu lah.

Dari dulu sampai sekarang gue masih beranggapan bahwa rumah adalah tempat di mana lo bisa merasa nyaman dan aman. Tempat di mana lo akhirnya bisa merasakan bahagia ketika lo sedang dalam kondisi sebaliknya. Tempat di mana lo bisa yakin tidak akan merasa kesepian ketika berada di sana. Seringkali yang gue dapati rumah itu bukanlah berbentuk bangunan, melainkan berbentuk orang. Dengan definisi seperti itu, gue rasa sah saja kalau gue merasa bar tersebut sepertinya adalah rumah untuk gue.

Tidak salah dong kalau sering datang ke rumah? H3h3...