Monday, October 26, 2015

Persimpangan

Kemarin teman gue ulang tahun. Teman nongkrong dari SMA sampai sekarang. Jadi nggak afdol rasanya kalau gue nggak mengucapkan selamat ulang tahun ke dia.

Nggak kerasa setelah mengucapkan ucapan selamat, pembicaraan malah menjadi serius. Kami bicara mengenai hidup. Sudah sejauh mana kami melangkah, seberapa banyak tujuan yang sudah tercapai, bagaimana tujuan masa depan nanti. Intinya topik ini mengenai quarter-life crisis.

What have we done so far?

Quarter-life crisis adalah titik di mana lo mempertanyakan hidup lo. Mau dibawa ke mana sih diri lo itu? Sudah ada bayangan bakal gimana di masa depan nanti? Ini terjadi di umur 20 – 25an. Sebuah krisis hidup di mana setiap keputusan yang lo ambil bakal menjadikan lo entah lo yang makin baik, atau lo yang semakin rusak, atau lo yang jadi alay. Karena di titik ini lo bakal ngerasa “hilang”, dan lo bingung. Banyak juga yang akhirnya memilih untuk mati karena merasa tidak ada apa-apa untuk dilanjutkan dan sudah merasa ketakutan melihat refleksi diri di masa depan yang tidak sesuai keinginan.

Serangan ini sudah gue alami berkali-kali dalam hidup gue. Dan keputusan yang gue ambil untuk menanganinya menjadikan gue yang sekarang dengan pola pikir seperti gue saat ini. Gue bersyukur nggak memilih mati, dan sangat-sangat bersyukur tidak menjadi (begitu) alay.

Terakhir kali adalah saat gue sedang duduk di depan meja kantor selagi mencari data untuk dipresentasikan ke klien. Saat itu gue belum lulus D3 (menunggu wisuda) dan sedang bekerja sebagai accoount executive di sebuah agensi iklan digital di daerah Jakarta. Ketika gue udah merasa hidup gue monoton, gue menemukan artikel yang membuat gue menemukan pola tentang masalah krisis sebelumnya. Intinya, dari artikel itu gue memutuskan untuk tidak meneruskan kerja gue di sana, agar gue bisa jauh dari kehidupan gue saat itu.

Jauh dari kehidupan gue saat itu, itulah yang gue rasa gue perlukan saat itu. Mencoba rasa baru dari lingkungan sekitar, mencari tujuan baru untuk dicapai. Itulah alasan gue ngegembel di Jogja dulu, sehingga gue bisa tinggal di Jogja sekarang. Merasakan kehidupan baru bersama orang-orang baru, dan mencoba mencapai tujuan-tujuan yang gue temui saat tinggal di sini. Sampai akhirnya gue mulai lupa dengan quarter-life crisis yang gue alami dulu.

Lalu obrolan itu terjadi. Gue mulai sadar bahwa beberapa tujuan gue sudah tercapai, dan beberapanya lagi gue lupakan. Lalu sekarang apa? Gue mulai merasa hilang lagi, gue bingung nggak tahu harus bagaimana. Tapi satu yang gue tahu: jangan dulu menyerah sama hidup. Tujuan baru pasti datang.

Buat lo yang mungkin sekarang lagi diserang oleh quarter-life crisis, gue nggak mau kasih saran macam-macam. Gue tahu lo bingung, depresi, merasa gairah hidup berkurang karena nggak tahu apa yang lo mau, semua terasa monoton, dan banyak hal lain yang membuat lo berpikir yang negatif sampai akhirnya lo mau menangis karena kehilangan arah. Menangislah! Lakuin apa yang lo pikir harus lo lakuin. Tapi satu hal: jangan mati. Lo bakal menemukan persimpangan hidup di mana lo harus milih. Pilihan lo itu akan menentukan jadi apa lo nanti.

Nggak ada salahnya mengambil langkah yang gue pilih: merantau. 

"Merantau kok ke Jogja? Deket amat."

Bukan itu idenya. Jarak bukanlah faktor penting dari ini. Intinya adalah jauh dari kehidupan lama, dan memulai hidup baru di suatu tempat. Walaupun gue nggak bisa menjamin hasilnya, paling nggak kesibukan lo di sana untuk mengenal sekitar akan membuat lo lupa akan krisis lo.