Thursday, January 12, 2012

Horor

Beberapa waktu lalu, gue sama beberapa temen gue nonton film maraton. Bukan, maraton bukan nama filmnya. Maksud gue nonton film mara... euh, gimana jelasinnya ya? Jadi, gue sama temen-temen gue nonton beberapa film secara terus-menerus. Gimana udah ngerti? Belom? Ya pokoknya gitu lah. Dan genre film yang kami tonton adalah horor.

Temen gue yang ngajakin untuk nonton film secara maraton itu udah menyediakan beberapa film yang menurut dia serem bais (bahasa gaulnya habis... atau kiranya demikian), dan beberapa film yang dia sediakan udah ada yang pernah gue tonton, kayak: Insidious, Hostel, dan The Skeleton Key (yang udah sering ditayangin di TV). Kayaknya, temen gue itu orang yang lebay. Karena, menurut gue, film-film yang dia sediakan nggak begitu horor.

Sama kayak hal apa yang orang anggap lucu, apa yang orang anggap horor juga relatif. Kalau selera humor yang berbeda itu bisa ngebuat suatu humor dapet respon "haha!" atau "hah?", selera horor (aih, apa pula) yang berbeda bisa ngebuat karya (yang seharusnya) seram dapet respon "hiii!" atau "iiih!" atau bahkan "hihi!".

Gue sendiri punya selera horor yang agak menyimpang dari orang normal kebanyakan. Apa yang gue anggap seram, belum tentu kalian anggap seram. Dan begitu juga sebaliknya, apa yang kalian anggap seram, belum tentu gue anggap seram. Bisa saja kalau kalian kabur karena melihat apa yang kalian anggap seram, gue malah diam dan menertawakannya. Tapi semua orang yang baca pernyataan tadi itu pasti tau kalau kalimat itu cuma hiperbola yang dihiperbolakan (alias super lebay), tapi gue yakin kalian tau maksudnya apa. :D

Contoh gampangnya, kalau harus tinggal sendirian di rumah yang luas. Kebanyakan orang mungkin bakal agak takut dan mungkin memanggil temen-temennya. Tapi gue mungkin bakal senang-senang dan pesta pora sendirian. Kalau kebanyakan orang mungkin bakal ketakutan karena mikir di rumah itu banyak setan atau sejenisnya, gue mungkin nggak ketakutan karena mikir di rumah itu dikit setan atau sejenisnya (lho?). Hal itu bukan disebabkan karena gue belum pernah ngalamin kejadian mistis sebelumnya, gue pernah, bahkan beberapa kali!

Peristiwa mistis gue yang pertama gue alami waktu gue masih kelas 2 SD. TV kamar yang tadinya udah gue matiin sebelum keluar, tiba-tiba nyala lagi waktu gue masuk. Oji kecil tentu saja ketakutan... dan kemudian main-main dan ketawa-ketiwi lagi di kamar itu. Lalu, peristiwa mistis gue yang kedua gue alami waktu gue kelas 6 SD. Waktu itu malam Jumat, dan komplek gue mati lampu. Gue ngajak temen-temen gue untuk main tak umpet sampai lampu menyala. Waktu gue mencari tempat sembunya yang bagus, gue melewati sebuah rumah yang udah berbulan-bulan kosong. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya? Ada suara cewek ngomong "Ganteeeng!". Nadanya sama kayak masteng (mas-mas tengil) yang godain "ceweeek" ke setiap cewek yang lewat. Dan ini bukan rekayasa! Temen-temen kecil gue pasti memberi validasi ke pernyataan tadi (soalnya waktu itu langsung gue ceritain berulang-ulang setiap saat.


Lagi ngumpul-ngumpul
Gue: Eh, kemaren gue dipanggil ganteng sama setan!
Temen: Wah, yang bener? Di mana?
Gue: Bener! Jadi, waktu...

Lagi main gundu
Gue: Eh, kemaren gue dipanggil ganteng sama setan!
Temen: Iya, iya, kemaren udah cerita!
Gue: Masa'? Tapi gue dipanggil ganteng sama setan!
Temen: ...

Lagi main kasti
Gue: Eh, kemaren gue dipanggil gant... (PLOK! Bolanya kena muka))


Hal-hal kayak  gitu seharusnya membuat alam bawah sadar gue jadi paranoid banget sama sesuatu yang mistis, dan jadi berpikir yang nggak-nggak setiap saat. Di jalan sepi gue mungkin jadi sering berpikiran "wah, kalau tiba-tiba di depan gue ada pocong jatoh gimana ya? Gue mesti lari atau bantuin dia berdiri lagi?", di ruangan kosong gue jadi mikir "kalau waktu nonton gini tiba-tiba ada setan yang ngawasin di belakang gue gimana ya? *nengok ke belakang* *menghela nafas lega* *nengok ke depan lagi* syukur deh cuma genderuwo.", di WC mungkin gue bakal mikir "kalau waktu gue ngejan begini tiba-tiba ada setan yang narik gue ke bawah gimana ya?". Yaa, tapi itu nggak terjadi, karena... ya karena sulit gue jelasin, kita anggap saja itu takdir. :p

Balik lagi ke selera horor yang berbeda-beda. Hal di atas tadi bukan berarti gue nggak takut sama setan. Gue masih takut, cuman sedikit. Nggak kayak salah satu temen gue yang ngeliat pocong di bioskop saja sampai nangis-nangis. Nah, itu salah satu contoh selera horor yang berbeda-beda. Tapi menurut blog BaM, rasa takut itu sendiri tercipta karena hal yang sama: karena hal mengganggu yang berkontradiksi. Contohnya, kuntilanak yang sudah terkenal di masyarakat Indonesia. Dia berambut panjang dan bergaun putih yang merupakan stereotip dari kecantikan. Tapi di sisi lain, dia bisa terbang, menghilang, bahkan katanya bisa membunuh. 2 hal tersebut membuatnya semakin mengganggu karena membuat otak kita menjadi bingung saat batas antara suatu yang menyenangkan dan menyeramkan terlanggar. Oleh karena itu kita menjadi takut kuntilanak. Atau contoh lainnya pocong. Sebenarnya dia lucu karena berpakaian seperti guling, tapi dengan muka yang sering dibilang hancur dan menyeramkan, kita menjadi semakin terganggu sama bayangan pocong di benak kita.

Gue tadi bilang kalau yang gue anggap horor itu berbeda dari kebanyakan orang. Nah, inilah contoh horor menurut gue.

1. Bencong berotot yang memakai gaun merah dan bulu dadanya keluar-keluar lagi duduk di depan gue.

2. Tuyul lagi main PS

3. Kolong Wewe lagi masak

4. Riasannya Syahrini

Kalau dalam keadaan diam/biasa, mungkin gue nggak bakal ketakutan banget. Tapi karena mereka sedang seperti itu, itu mungkin bakal ngebuat gue teriak. Yaa, karena kontradiksi tadi. Ngomong-ngomong, makeup artist-nya Dorce Gamalama juga termasuk pekerjaan horor. :p


P.S: Ngomong-ngomong, salah satu temen SMA gue baru saja pindah blog. Blog lama dia yang ini pindah ke sini. Di blog dia yang baru, dia baru bikin 2 cerbung yang bagus. Kalau ada waktu, coba masuk ke blog-nya deh. :D