Friday, May 16, 2014

Langit Malam

Tengah malam tadi, saat gue pulang dari membeli Ultramilk karton besar dan Oreo Strawberry di Alfamart, gue melihat status teman di Facebook tentang bulan di malam ini. Gue melihat ke atas, dan melihat bulannya memang sedang berbeda. Ada halo-nya. Besar.


Memang, fenomena ini tidak jarang terjadi. Namun ada sesuatu yang membuat gue memutuskan untuk pergi ke lapangan terbuka dekat rumah saat itu.

Jam 00:12 gue sudah terlentang di lapangan. Sepi, sendiri. Punggung gue menyentuh dinginnya semen lapangan yang berembun malam itu. Gue membuka Oreo dan susu yang gue beli tadi. Jadi terasa piknik, bedanya gue hanya ditemani oleh suara motor dan mobil yang sesekali lewat.

Gue masih terlentang melihat langit. Melihat bulan dan halo-nya yang saat itu adalah elemen yang paling dominan di gelapnya malam. Gue membayangkan kalau halo itu adalah bayangan planet lain yang lebih besar. Apa akan seperti itu kira-kira besarnya Jupiter bila dia ada di posisi bulan? Gue takut namun kagum. Suatu perasaan yang agak susah dijelaskan, tapi itu yang gue rasakan saat itu. Gue senang bisa merasakan itu.

Gue menghubungi beberapa kenalan gue Mayang, Anin, dan Sandra via WhatsApp untuk mengajak mereka ngobrol tentang malam itu. Tetapi nampaknya mereka sudah tidur. Wajar, jam setengah 1 pagi ya tidak banyak orang yang masih terjaga. Tetapi kalau dipikir-pikir lagi mereka juga tidak begitu menyukai kegiatan melihat langit seperti gue, jadi apa yang mau diobrolkan? Malah ngobrolin hal lain nanti. Jadinya malah mengganggu gue menikmati malam itu.

Tiba-tiba gue teringat kenalan gue yang lain, Karola. Dia manusia Jogja yang katanya juga suka melihat langit malam. Menikmati hamparan bintang yang ada di langit. Gue pergi ke Facebook untuk melihatnya online atau tidak, dan lagi, nampaknya dia sudah tidur. Sayang sekali dia melewati pemandangan langit seperti ini.

Tapi setelah dipikir-pikir lagi, buat apa gue melakukan itu semua? Melihat langit sambil berbalas teks terdengar sangat konyol. Lebih enak kalau ngobrol dengan orang yang menyukai kebiasaan sama. Andai si Karola ini satu wilayah dengan gue, akan terdengar sangat asik sepertinya kalau kami ngobrol omong kosong tentang apapun sambil melakukan kebiasaan melihat langit ini.

Akhirnya tidak ada satupun yang gue ajak bicara. Gue kembali  kesepian menikmati malam itu, sambil memutar lagu Depapepe yang berjudul Wedding Bell. Berisik. Akhirnya pemutar lagunya gue matikan. Sepi kembali datang. Gue melamun.

Gue pun berpikir, mungkin melamun itulah kegiatan yang paling cocok saat itu. Bukannya ngobrol dengan orang, atau mendengarkan lagu. Melamun. Memikirkan tentang apapun secara mendalam. Tentang hidup, masa lalu, masa depan, dan alam semesta. Menyatu dengan alam semesta, cukup dengan memikirkannya. Menjadi seorang filsuf dadakan. Ya, itu yang mungkin lebih cocok saat itu.

Jam 02:28, Oreo yang gue beli sudah habis. Karton susu yang gue beli juga sudah terasa ringan ketika gue angkat. Punggung gue dingin. Langit masih cerah, dan bulan masih indah. Tetapi waktu sudah larut pagi dan gue sudah mengantuk. Akhirnya gue memutuskan untuk pulang meninggalkan bulan dan binntang yang saat itu menjadi semakin cantik. Sepertinya mereka sedang berkonspirasi untuk memanjakan mata gue dan menahan gue untuk pulang. Tetapi rasa kantuk menang dan gue  pulang. Menulis ini, lalu tidur.


No comments:

Post a Comment