Bukannya gue alergi dokter, hanya saja pengalaman dari kecil seringkali menunjukkan kalau penyakit yang gue derita tidak akan bertahan lebih dari 2 hari, oleh karena itu pergi ke dokter hanya buang-buang waktu saja. Gue terlalu percaya sama daya tahan tubuh gue.
Namun pernah juga gue dikhianati olehnya. Saat itu gue pernah merasakan tidak enak badan, dan gue rasa itu hanya penyakit lewat biasa dan gue yakin tubuh gue bisa melawannya, namun keesokan harinya gue lemas tak berdaya. Setelah dibawa ke dokter ternyata panas gue mencapai 45 derajat. Demam dengan semangat 45. Dokter bilang itu adalah gejala tifus. Gue berpikir, “Gejalanya aja sadis, gimana yang aslinya?” Kalau ibarat boker, panas 45 derajat itu baru kentutnya. Pas sudah acara utamanya, boker, gue mungkin sudah diopname.
Dan sekarang gue rasa gue terkena gejala tifus lagi. Demam yang gue rasa memang tidak sebesar kemarin, mungkin hanya 44,9 atau sekitarnya, namun tetap saja itu membuat gue mati kutu beberapa hari belakangan ini. Dan juga gue malas ke dokter, alasan “nggak apa-apa, cuman butuh istirahat kok.” selalu menjadi andalan gue. Dan asal kalian tahu saja, banyak orang yang seperti gue, yang menjadikan “hanya butuh istirahat” sebagai alasan. Mungkin ada juga yang seekstrim ini:
X: ASTAGA, Y! Ayo gue bawa ke rumah sakit atau dokter terdekat!
Y: Oh, nggak apa-apa kok.
X: Nggak apa-apa gimana? Lo baru jadi korban tabrak lari mobil begitu! Udah ayo, gue gotong sinih!
Y: Beneran, nggak apa-apa kok guenya.
X: MATAMU! Kaki lo kelindes ituuuuu! Udah hampir mau putus! Kalau dibawa ke rumah sakit dan ditangani dokter dengan segera mungkin masih bisa diselamatkan.
Y: Oh, ini? Cuman butuh istirahat kok.
X: Lo bukan cicak woi! Kaki lo nggak bisa numbuh lagi!
Sekali lagi, gue bukan alergi dengan dokter, namun ada saja orang yang alergi dokter walaupun tidak seekstrim di atas. Di sisi lain, ada juga orang yang terlalu percaya dengan dokter dan tidak mau repot. Di berbagai pedesaan sendiri banyak kasus demikian, banyak orang minta disuntik walaupun hanya demam dan butuh istirahat saja, karena ya mereka tidak mau tahu dan tidak mau repot bertanya. Di buku BaM sendiri Mas Isman menjelaskan kalau temannya yang menjadi dokter gigi di Garut pasiennya selalu minta giginya dicabut.
Dokter: Oh, ini mah cuman lubang kecil, Pak. Tinggal ditambal dan semua beres, nggak ngilu lagi.
Pasien: Nggak, Dok. Cabut aja!
Dokter: ...
Bukannya tidak mungkin juga kalau dokter gigi di sana juga pernah mendapat kasus ekstrim seperti ini:
Pasien: Dok, anak saya mulutnya di bagian belakangnya katanya berasa sakit!
Dokter: Oh, ini ya? Jadi di sebelah geraham ini ada—
Pasien: Cabut aja, Dok!
Dokter: Ini sariawan, Pak...
Pasien: Bisa dicabut nggak?
Dokter: ...
Bukannya tidak baik kalau percaya sama kemampuan medis dan kemampuan dokter, yang tidak baik itu kalau terlalu mengandalkannya. Jadi kalau merasa tidak enak badan langsung pergi ke dokter dan meminta pengobatan, padahal tidak enak badannya karena terlalu banyak kerja dan hanya membutuhkan istirahat. Dan juga jangan malas pergi ke dokter bila penyakit yang diderita itu sudah tidak wajar/tidak biasa, pekerjaan dokter itu bukan sebagai algojo kok, asal kalian mau menjadi pasien yang cerdas.
Sekarang sih gue sudah mendingan, tapi kayaknya gue masih akan sakit sampai akhir pekan besok. Jadi masih butuh “istirahat”. Lho, kenapa? Memangnya nggak boleh sakitnya tanggung sampai hari libur? :p
No comments:
Post a Comment