Friday, June 6, 2014

Ngegembel di Jogja #3

Gue tahu gue adalah blogger durhaka, mau tulis cerita berseri tapi malah ditelantarkan begitu saja. Pasti ada tempat spesial di neraka untuk blogger macam gue. Oke, sesuai judul, cerita ngegembel gue di Jogja akan gue teruskan.

Setengah 10 di hari Rabu tanggal 26 Februari. Udara pagi Jogja ternyata nggak jauh beda dari Bekasi. Terik Mataharinya juga nggak kalah nyolot dari Bekasi. Gue berjalan menjauhi stasiun Lempuyangan tanpa arah yang jelas. "Yang penting jalan dulu aja deh yang lama, nanti nemu apa di jalan gampang." pikir gue, sampai gue menemukan bahwa tas gue terasa lebih berat daripada kemarin. Nggak  ada yang bertambah, gue bisa pastikan itu. Tas gue tambah berat di dosa kayaknya pas di kereta.

Karena terasa berat, saat sudah 300 meter dari stasiun Lempuyangan, gue berhenti sejenak untuk istirahat di tukang bubur. Tentunya gue akan diusir kalau hanya numpang istirahat, jadinya gue beli sekalian bubur ayamnya walaupun tidak lapar.

Sambil memakan bubur di hadapan gue, gue memperhatikan lingkungan sekitar. Benar-benar tidak jauh beda dengan Bekasi. Motor dan mobil lalu lalang, orang saling berbicara, dan ada anak laki-laki kecil telanjang tepat di sebelah yang terus memperhatikan gue sedang makan sendiri di meja. Ya, persis kayak Bekasi. Tampaknya itu adalah anak pemilik rumah toko di sekitar sana. Gue kasih senyum ke anak itu, namun tatapannya datar. Gue mulai terganggu. Gue jadi mau makan sate usus, jangan tanya kenapa.

Anak itu pun dipanggil ibunya. Ternyata benar, dia anak pemilik rumah sekitar. Gue dan abang buburnya tertawa kecil melihat anak itu pulang. Gue mengajak ngobrol abangnya dengan pembuka, "Mas rumahnya sekitar sini?" Gue langsung tahu kalau gue salah bertanya, dan gue kira dia akan menjawab "Maaf, Mas, saya sudah punya istri. Lagian kita baru kenal, pelan-pelan dulu ya kalau mau nanya tempat tinggal saya," sambil tersipu, tetapi untungnya dia tidak salah paham dan kami mengobrol ringan selama kurang-lebih setengah jam. Obrolan pertama dengan makhluk Jogja.

Saat gue melihat anak kecil telanjang tadi, gue jadi tahu kalau gue mau ke Malioboro (iya, emang nggak nyambung). Gue bertanya kepada tukang bubur itu ke mana arah ke Malioboro, dia memberitahu arah dengan tangan menunjuk liar. Dan gue pun beranjak, tentunya setelah membayar Rp. 6000 untuk bubur itu, yang harganya ternyata tidak lebih murah daripada Bekasi.

15 menit gue berjalan dan gue sudah merasakan capek lagi. Sialan lah barang bawaan gue. Gue duduk lagi, bermain HP di depan ruko yang sedang tutup. Saat gue sedang bermain HP, gue menyadari kalau ada tukang parkir yang daritadi memperhatikan gue. Saat gue mengangkat kepala, dia membuang muka, lalu melirik gue lagi saat gue kembali menunduk bermain HP. Persis kayak cerita roman anak SMA, hanya saja yang ini bikin gue geli.

Merasa risih, gue berdiri dan meninggalkan tempat itu dengan membawa tas yang beratnya mungkin lebih daripada bobot gue sendiri. Sebagai orang semi-buta arah yang teladan, tentunya gue langsung nyasar. Gue nggak tau mesti ke mana lagi, kayaknya gue salah belok. Gue bertanya arah lagi kepada orang yang gue temui, di mana Malioboro.

Gue bertanya kepada bapak-bapak yang sedang berjalan, dan dia memberi direksi dengan tangan yang juga menunjuk liar, sama seperti tukang bubur tadi. Gue heran, apa budaya di sini begitu ya? Kalau ingin memberitahu arah, tangan sebaiknya menunjuk liar, kalau perlu sekalian saja bersilat atau melakukan wotagei. Makin liar dan heboh tangannya, makin jelas penjelasannya ke si penanya.

Berkat si Bapak tadi, gue sampai di Malioboro. Gue berjalan pelan sambil menikmati lingkungan sekitar yang cukup bagus. Gue yang saat itu berpenampilan turis banget, beberapa kali mendapatkan lirikan dari orang lokal. Gue duduk di bangku yang sudah disediakan di sana karena capek.

Jam 11 siang di Jogja. Matahari sangat terik. Gue bisa melihat kulit orang memantulkan cahaya matahari dengan jelas. Namun udaranya tidak begitu panas. Tidak tahan dengan teriknya, gue pindah tempat ke mesjid Malioboro untuk istirahat. Mesjidnya tidak terlalu besar tetapi nyaman. Pohon-pohon besar berdiri kokoh di sekitarnya, membuat udara di mesjid menjadi sejuk. Gue ngantuk. Gue tidur sebentar, lalu adzan berkumandang.

Karena gue sedang beristirahat di mesjid, mau nggak mau gue harus ikut sholat. Dan setelah sholat, gue tidur lagi sampai jam 3 di saat adzan ashar berkumandang lagi. Sekali lagi, mau nggak mau gue harus ikut sholat. Dan setelah sholat selesai, gue nggak bisa tidur lagi. Gue nggak tahu mau apa lagi, tetapi gue tahu satu hal: gue pasti masuk neraka (ke mesjid buat numpang tidur doang. Haha).

Akhirnya gue menghubungi adik gue untuk menjemput gue di mesjid Malioboro, namun dia bilang dia lagi kuliah dan baru pulang sekitar 1 jam lagi. Gue bingung, gue berpikir sebentar, gue lapar. Oke, gue akan berjalan-jalan sebentar sambil mencari makan dengan membawa tas superberat itu.

Saat itu, mungkin gue dapat hukuman dari langit, karena saat gue baru berjalan beberapa menit, hujan deras mengguyur. Gue berlari mencari tempat berteduh dan berakhir di Indomaret. Saat itu juga banyak orang yang berteduh. Karena lapar, gue masuk ke Indomaret dan membeli roti dan Ultamilk strawberry. Lalu gue ke luar lagi untuk melihat langit yang sedang sibuk menangis.

Gue berdiri di tempat sebelum gue masuk Indomaret tadi. Sambil memakan makanan yang gue beli, gue mendengarkan lagu dan berdiri bersandar ke tembok. Lalu tidak lama kemudian ada kumpulan 4 orang wanita yang datang berlari untuk berteduh di depan Indomaret, dan mereka berdiri di dekat gue. Gue perhatikan mereka, semuanya cukup manis, tampaknya mereka orang lokal. Salah satu dari mereka mendapatkan gue sedang melihat mereka. Tanpa membuang muka, gue beri dia senyuman dan dia senyum balik. "Lampu hijau!" pikir gue, lalu gue mulai membuka obrolan dengan cara yang biasa gue pakai saat nge-hit.

Dari semua logat di Indonesia, menurut gue logat Jawa adalah logat yang paling seksi. Terdengar begitu sopan dan nge-bass (gue nggak tau gimana tulisannya). Mungkin karena saat kecil gue dibesarkan dengan lingkungan orang Jawa di keluarga dari nenek gue di Pancoran yang keturunan Jogja, jadi dari kecil gue sudah terbiasa mendengar logat Jawa dan itu membuatnya terdengar menenangkan di telinga gue. Gue suka. Dan itu bikin gue merasa nyaman ngobrol dengan mereka.

Obrolan kami berlangsung cukup lama, membahas hal-hal remeh tanpa menyinggung identitas (menanyakan nama, kuliah di mana, tinggal di mana, dan pertanyaan garing lainnya), dan kami sesekali tertawa. Jam 4 lewat. Hujan berhenti. Kami mengucapkan salam perpisahan. Gue pun meninggalkan Indomaret. Suasananya saat itu sangat bagus. Walaupun tidak ada pelangi, tetapi bau aspal dan pepohonan yang diselimuti air hujan cukup membuat gue semangat untuk menapakkan kaki sepanjang jalan Malioboro. Akhirnya gue berjalan-jalan.

Jam setengah 6 sore. Malioboro sudah jauh di belakang, sekarang gue berada di tempat yang gue tidak tahu namanya. Tas mulai terasa berat kembali. Kali ini gue menghubungi adik gue untuk menjemput gue. Gue memberitahu kalau gue sedang berada di depan gedung Telkom, dan dia meminta gue menunggu selama 15 menit. "Oke!" kata gue.

Sambil menunggu, gue duduk di samping jalan. Gue duduk sembari berpikir "Orang Jogja ternyata ramah-ramah. Jalanannya tidak sekotor Jakarta. Dan pengendara di jalan pada tertib, keren lah!" dan lalu ada arakan motor yang lewat dengan berisik. Klakson dibunyikan mencari perhatian, membawa bendera yang gue lupa tulisannya apa, dan mereka berteriak-teriak. Semuanya anak muda tanggung. Baru saja gue memuji, menaik-naikkan Jogja, lalu mereka sukses membuatnya turun lagi.

Haduh, sebenarnya gue lagi malas nulis kali ini. Jadi bisa dilihat sendiri kalau daritadi gue tidak berusaha melucu, dan hanya menceritakan apa yang gue alami saja. Gue akhiri saja ya?

Adik tiri gue datang, gue dibawa ke kosannya di dekat kampus UPN. Gue menumpang bermalam saat itu. Gue mengobrol sampai jam 9, lalu gue memutuskan untuk tidur. Walaupun waktu itu gue sudah banyak tidur, namun perjalanan yang cukup melelahkan (70% karena tas), berhasil menguras energi gue dan meminta badan gue untuk tidur lagi. Sambil berusaha tidur, gue memikirkan agenda besok, dan untuk besok gue sudah memutuskan mau ke mana. Ya, ngegembel akan gue mulai besoknya! Woooo!!!

No comments:

Post a Comment