Sunday, April 20, 2014

Ngegembel di Jogja #2: Nafasmu Membunuhku

Hari keberangkatan pun tiba. Gue pergi ke Jogja hanya dengan membawa beberapa barang di dalam tas gue. Tasnya pun bukan tas ransel resmi seorang backpacker, melainkan tas ransel pelajar, jadi otomatis barang yang gue bawa tidak banyak. Gue hanya membawa 2 kaos polos, 2 flannel, 2 kemeja, 2 jeans, dan 1 blazer. Sedikit? Tunggu dulu, itu baru pakaiannya, barang-barang lainnya adalah: 1 notebook, 1 buku sketsa dan perangkat alat tulis, 3 buku (Life of Pi, 1 komik Kungfu Komang, dan Bertanya atau Mati), parfum, sikat gigi, dan sebuah ukulele. Kalau ditanya berat atau tidak, sudah pasti sangat berat. Tadinya mau bawa barbel 6 kilo sekalian, supaya bisa olahraga pas di sana, tetapi tidak jadi karena itu ide tolol. Dan dengan membawa semua barang itu gue pun berangkat ke Jogja.

Gue ke Jogja tanggal 25 Februari kemarin menggunakan kereta malam di jam 10. “Kalau berangkatnya malem, bisa sekalian tidur, jadi perjalanannya gak berasa.” Kata Aziz, adik tiri gue. Sayangnya, dia lupa menambahkan “... kalau penumpang di sebelah tidurnya tidak menganga dan nafasnya bau.” Karena kalau penumpang di sebelah gue demikian, ya perjalanan justru akan terasa sangat lama. Dan dari perbandingan 1:1000000, gue cukup beruntung untuk menjadi “1”-nya itu.

Bangku kereta itu ada dua jenis, yang bisa diduduki 4 orang dan yang bisa diduduki 6 orang. Gue kebagian duduk di bangku yang bisa ditempati 4 orang (2 bangku berhadapan) dengan kode D, artinya gue tidak duduk di dekat jendela. Di depan gue ada seorang mas-mas, di sebelah mas-mas tadi ada seorang mahasiswi, dan di sebelah gue ada seorang bapak-bapak. “Ah, semua kayaknya normal. Bakal lancar nih.” Pikir gue, sebelum akhirnya bapak-bapak sebelah gue mulai ngomong, “Dek, mau apa di Jogja? Kok bawa gitar?” dan gue reflek mendengus.

Dari semua aroma di muka bumi yang gue sukai, percayalah, bau jigong tidak termasuk di dalamnya. Oleh karena itu gue langsung reflek mendengus. Tidak sopan memang, tapi tubuh gue mempunyai reflek untuk mempertahankan diri seperti binatang kalau nyawanya terancam, seperti mendengus tadi supaya aroma naganya tidak masuk terlalu jauh ke otak gue. Akhirnya pertanyaan bapak-bapak tadi gue jawab seperlunya saja untuk mencegah adanya pembicaraan panjang di antara kami. Karena gue masih mau hidup lebih lama. Nggak lucu kalau gue di kereta mati karena keracunan gas metan.

Beberapa jam berlalu, penumpang di gerbong gue hampir semuanya sudah tidur, termasuk bapak-bapak di sebelah gue. Kok gue bisa tahu kalau dia tidur? Padahal gue nggak menengok lho. Ya karena apa lagi? Haha. Dan nampaknya bau mulutnya hanya lari ke gue, karena gue lihat orang-orang di depan gue nggak merasa terganggu bahkan sudah nyenyak tidur. Gue jadi teringat masa lalu ketika teman gue yang bernama Fany bilang kalau bau-bauan aneh pasti selalu menghampiri gue.”Tapi tunggu! Kenapa gue jadi inget jaman dulu? Jangan-jangan ini yang orang bilang kalau sebelum mati, seseorang akan mengalami flashback ingatannya.” Pikir gue sambil panik. Jangan-jangan kedua orang di depan gue itu sebenarnya bukan tidur nyaman, mereka juga mencium bau naga itu, namun mereka tidak kuat dan sudah mati. Bagaimana kalau semua orang di gerbong yang sebenarnya tidur itu juga menciumnya namun sudah mati? Otak gue membayangkan kalau gerbong itu seperti ruangan eksekusi pidana mati dengan gas beracun.

Lagi-lagi merasa terancam, gue pindah ke luar gerbong. Gue melihat ada beberapa orang di luar gerbong, bahkan ada yang tidur juga. “Kok bisa-bisanya ya tidur di luar gerbong, padahal sudah ada bangku di dalam?” pikir gue, lalu gue duduk dan ketiduran. Ternyata cukup nyaman juga! Walaupun agak bau pesing karena dekat dengan toilet, setidaknya itu lebih wangi daripada di dalam. Selain itu gue bisa melihat keluar jendela, tetapi sangat gelap di luar sana dan akhirnya gue memutuskan tidur di luar gerbong yang cukup nyaman itu.

Pagi tiba, rupanya masih belum sampai karena sempat berhenti lama pada malam (atau pagi) harinya. Gue mendarat di stasiun Lempuyangan sekitar jam 9 (seharusnya jam 7). Ketika gue kembali ke tempat duduk gue, bapak-bapak tadi sudah tidak ada. Mungkin sudah turun di stasiun sebelumnya. Dan mas-mas beserta mahasiswi tadi juga tampaknya masih hidup, berarti memang tidak separah itu gas beracunnya.

Gue bersiap mengambil tas dan ukulele,  berjalanan keluar gerbong, dan berdiri sambil menengok jendela kayak adegan-adegan film Indonesia, bedanya gue nggak senyum-senyum dan ngomong sendiri di kepala saat angin menghantam muka gue.

Dan akhirnya sampai di stasiun Lempuyangan. Gue turun,menghirup udara Jogja pertama kali setelah 15 tahun lebih (terakhir kali sebelum gue TK bersama alm. ibu gue), dan ternyata tidak ada bedanya dengan Bekasi karena masih satu negara. Gue mengambil langkah kecil keluar stasiun, dan begitu sudah diluar stasiun gue berpikir, “now what?

Bersambung...

No comments:

Post a Comment