Thursday, May 2, 2013

Cerita Malam Hujan

Kemarin malam banyak bagian dari kota Bekasi yang mati lampu. Kenapa gue bisa tahu? Ya karena tempat gue mati lampu dan Twitter adalah media sosial yang cocok untuk melihat orang-orang berkoar-koar tentang sesuatu. Keadaan mati lampu diperburuk oleh cuaca hujan yang semi-deras nan awet. Dan, oh iya, gue lagi nggak di rumah! Gue lagi kumpul sama teman-teman gue. Tapi satu-persatu teman gue pulang. Akhirnya nggak lama kemudian gue pulang hujan-hujanan.

Saat sampai di rumah, gue mati gaya. Mau baca, lilin nggak ada. Mau main PS, langsung sadar kalau listrik padam. Akhirnya gue putuskan untuk keluar jalan-jalan menerobos hujan memakai motor.

Beberapa kali gue berputar balik karena banyak jalan yang sudah terkena banjir. Setelah setengah jam, gue berhenti sebentar di perumahan Pondok Hijau, untuk mengambil jas hujan di bagasi, karena malam itu dinginnya menusuk tulang dan gue hanya memakai sweater di saat hujan. Ya, pintar memang. 

Begitu gue ambil jas hujannya, dan gue baru gue pakai setengah badan, tiba-tiba ada bapak-bapak yang memakai jas hujan sedang berjalan dan berhenti di depan gue.

"Mas, bisa ikut?" tanya si bapak sambil tersenyum dan mengelap mukanya yang basah karena air hujan,

Gue terdiam dan memasang tampang heran. "Wah, mau ke mana emangnya, pak?" Gue berhenti memakai jas hujan sebentar dan coba fokus kepada bapak itu.

"Ke Rawa Lumbu 2, mas." jawab si bapak sambil tersenyum.

Gue agak lama menjawabnya, karena gue khawatir bapak itu adalah perampok atau bajing luncat atau yang sejenisnya. Belum lagi gue sering mendengarkan cerita teman-teman gue tentang temannya yang jadi korban perampokan di jalan. Dan ditambah waktu saat itu sudah hampir tengah malam plus hujan lumayan deras. Itu membuat gue makin punya alasan untuk menolak permintaan bapak itu. Gue memaksa otak untuk berpikir cepat.

"Oh, yaudah, pak. Tapi bapak yang ngendarain ya?" adalah jawaban gue. Karena saat itu gue berpikir kalau dalam keadaan dibonceng resikonya akan berkurang, karena kalau benar itu adalah perampokan, si bapak tidak bisa nodong gue pakai senjata, dan juga kalau si bapak macem-macem gue bisa menjatuhkannya dari belakang.

Sambil bilang "yaudah" si bapak raut mukanya seperti agak kecewa. Gue makin parno! Kenapa begitu? Apa dia kecewa karena baru menyadari kalau dia tidak bisa menodong dari belakang? Pokoknya kemungkinan terburuk sudah gue pikirkan dan gue persiapkan juga antisipasinya. Lalu beberapa saat kemudian gue kepikiran tapi bisa saja dia berekspresi begitu karena dia kecewa karena dia dianggap orang jahat oleh orang lain. Makanya saat itu gue cari alasan yang masuk akal kenapa dia harus di depan dan berujung kepada, "Soalnya saya gak tau tujuan bapak. Lagian dingin juga kalau di depan."

Singkat cerita, bapak itu akhirnya memboncengi gue dengan motor gue. Gue ajak ngobrol sebanyak mungkin untuk mencari informasi tentang bapak itu. Tidak lupa sambil Twitteran untuk memberitahu keadaan gue kepada siapapun yang baca.

"Bapak dari mana?" tanya gue. 

Dari situ gue mendapat informasi kalau dia baru pulang kerja. Dia turun naik bis di gerbang Tol Timur.

Rasa panik datang lagi begitu gue sadar dia memakai jas hujan besar untuk pengendara motor, sedangkan saat bertemu gue tadi dia berjalan kaki. "Kenapa nggak naik motor aja, pak?" tanya gue secara nggak langsung untuk mengorek informasinya.

"Uh... tadi saya motornya dititip di penitipan motor, mas." jawab si bapak dengan logat Jawa yang kental.

NAH! Gue makin curiga! Itu dia bawa motor, tapi kok malah jalan kaki? Terus ada jeda sebelum menjawab pula! "Terus motor bapak ke mana? Kok nggak dipakai?" tanya gue tegas, tidak dengan nada basa-basi lagi.

"Motor saya ditaruh di rumah saudara, mas," gue bingung, "mau dipake buat kerja sama saudara saya." lanjutnya. Lah gue makin bingung.

"Terus bapak kok pulang kerjanya malem banget? Kerja di mana emangnya, pak?" tanya gue masih mengorek informasi.

"Saya kerja di APALAHNAMANYAGUELUPA (yang gue inget tentang keramik, dan dia sebagai pengepaknya), saya udah pulang dari jam 9 tadi, " bapak itu terdiam sejenak sambil mengelap air hujan di wajahnya, "tadi lama nganterin motornya, mas." lanjut si bapak dengan ramah.

Sekarang giliran si bapak yang bertanya. Pertanyaan pertama tentu saja ke mana tujuan gue. Gue bilang aja gue lagi jalan-jalan, dan kebetulan ada teman yang memanggil gue ke suatu daerah yang namanya Rawa Lumbu Utara. Si bapak tertawa mendengar kebohongan gue. Sebenarnya gue hanya sekedar jalan-jalan. Ya dari situ gue sudah lumayan merasa aman, sampai si bapak bilang, "Rawa Lumbu Utara mana, mas?"

Gue kembali panik! Bagi gue nggak wajar bagi orang yang tinggal di Rawa Lumbu tetapi tidak tahu di mana itu Rawa Lumbu Utara. Gue berusaha ambil fotonya tapi kamera HP gue kurang bagus menangkap gambar di saat gelap. Ya akhirnya gue cuman pasrah sambil membayangkan kemungkinan terburuk dan bertanya-tanya ringan.

"Nama bapak siapa, pak?" 

"Purwandi, mas." 

Dan gue terus berbasa-basi demi membuat diri gue sendiri nggak parno. 

Begitu sudah sampai di jembatan 0 Rawa Lumbu, si bapak bertanya, "mas mau lurus?"

"udah lewat malah, pak. Haha." tawa gue garing.

Si bapak menepikan motor sambil berkata, "Wah, udah lewat? Maaf ya, mas. Saya di sini aja deh." dan dia menghentikan motor di depan tempat tukang buah di jembatan 0, kemudian turun.

Dari situ gue udah merasa lega selega-leganya orang lega. Bukan saja dia menghentikan motornya sebelum sampai di tujuan dia, dia bahkan juga meminta maaf. Gue pun merasa nggak enak kepada dirinya karena memikirkan hal-hal yang buruk tentang dia. "Udah, pak, lanjut aja. Tanggung ini." ucap gue.

"Wah, nggak, mas. Saya di sini aja." terlihat jelas kalau si bapak merasa tidak enak. Tetapi justru gue yang merasa lebih tidak enak, makanya gue masih bersikeras menawarkan tumpangan. Si bapak pun mengiyakan dan kembali mengendarai motor gue menuju dalam Rawa Lumbu. Tetapi di Rawa Lumbu jembatan 1 sudah banjir. Si bapak pun kembali turun sambil bilang kalau di depan banjir, oleh karena itu dia turun di sana saja. Padahal banjir itu masih bisa ditembus, tetapi karena perasaan tidak enak saja dia lebih memilih turun dan gue mengiyakan. Lalu si bapak pun berterimakasih, kami berjabat tangan, dan gue berputar arah.

Gue memang sering melakukan hal-hal gila, tetapi menerima permintaan bapak itu adalah hal yang lebih gila lagi. Alasan dasar gue menerima permintaannya ya tentu karena rasa kasian melihat orang jalan di tengah hujan dengan tujuan yang jauh, tetapi bukannya nggak mungkin alasan itu malah membuat gue terkena musibah. Itu seperti berjudi, dan nasib gue adalah taruhannya. Untung saja berakhir baik, lah kalau kecemasan gue sebelumnya itu nyata? Yaaaa, tapi ya guenya saja yang terlalu paranoid. Seharusnya gue tau, nggak banyak orang berlogat Jawa di Jakarta dan sekitarnya yang jahat. Haha.

Gue teruskan jalan-jalan gue, kemudian gue melihat beberapa daerah listriknya sudah menyala. Gue pun memutuskan untuk pulang dengan berharap listrik di daerah gue juga sudah menyala. Dan gue putar arah balik, lalu pulang dengan membawa pengalaman baru dan celana dalam basah.

No comments:

Post a Comment