Monday, September 7, 2020

Kangen Jogja

Beberapa waktu yang lalu tiba-tiba gue dihampiri rasa rindu akan Jogja yang luar biasa. Well, sudah ketebak tulisan ini akan menjadi klise sejadi-jadinya. Haha. Tapi akan gue usahakan tidak.

Oh iya, karena tulisan ini mengenai rasa rindu dengan Jogja, gue harus memberi keterangan kalau gue sudah pindah ke Bekasi lagi dari Maret kemarin, jadi kurang lebih sekitar satu semester gue meninggalkan Jogja.

Ya, seperti yang gue bilang di paragraf pertama, gue kangen Jogja. Kangen suasananya, langitnya yang lebih biru ketimbang Jakarta atau Bekasi, pantainya, dan tentu saja orang-orangnya.

Terutama kangen orang-orangnya.

Ramai-ramai berkumpul ngobrol ngalor-ngidul di warkop (atau di Jogja disebutnya burjo) berjam-jam sampai pagi dengan teman-teman yang obrolannya saru. Obrolan nirguna seputar orang lain, lingkungan sekitar, sampai selangkangan. Gue sendiri takjub dengan kemampuan mereka di hal itu kalau mengingat obrolan kami dulu yang dimulai dengan politik Jogja tapi kemudian berujung pengalaman ranjang teman kami dengan janda. Apa pun topik awalnya, semua bisa berujung ke hal saru kalau ngobrol dengan mereka, tentunya dalam atmosfer candaan.

Tetangga sebelah kontrakan yang terdiri dari kakek-kakek chatty sampai bapak dan ibu RT yang dikaruniai anak kecil psikopat. Desa kecil di ujung jalan Affandi daerah Gejayan yang kesehariannya terkesan santai namun kebutuhan sehari-hari tercukupi. Berbeda dengan kota besar yang hectic namun ada saja keluhan kalau merasa kurang dalam hal materil. Desa itu pun dikepalai oleh dukuh yang sangat santai. Kami sering bertemu dan ngobrol tentang hidup.

Sapaan "bro" dari mas-mas warung makan langganan di daerah Deresan yang dikenalkan dulu sekali oleh teman gue yang berasal dari NTT, Erick, yang merupakan contoh nyata mahasiswa abadi. "Penyetan terenak di sekitar sini, Mar." ucapnya dulu yang gue percayai karena dia orang lama di sana, tapi memang enak sampai gue bersama teman-teman berlangganan dan menyebutnya "Penyetan Erick" bahkan sampai jauh setelah Ericknya sendiri sudah pulang ke NTT.

Rumah di desa Kasihan Bantul beserta orang-orang di dalamnya. Rumah yang sesekali gue hampiri untuk mendatangi pasangan gue, Karola, demi menghilangkan dahaga batin karena rindu atau sekadar butuh pemandangan yang menyejukkan mata. Biasanya ketika menginjakkan kaki di depan pintu rumahnya, gue langsung disambut oleh gonggongan anjing-anjingnya bersamaan dengan keramahan ibunya beserta kedua neneknya, lalu disuguhkan hidangan kecil juga obrolan ringan penuh wisdom dari ibunya yang bijaksana dan berwawasan luas. Ada hal yang lucu menurut gue, jadi karena gue memiliki akar keluarga di Jogja dan Jogja itu sempit, ternyata keluarga gue dan keluarga pasangan gue saling kenal. Hal ini baru gue ketahui setelah kami berpasangan. Jadilah sesekali obrolannya tentang keluarga.

Hal-hal seperti itu membuat gue merasa sangat berat untuk meninggalkan Jogja Maret kemarin. Tapi ya alam semesta seakan memaksa untuk balik ke Bekasi dulu.

Gue pernah memutuskan untuk tidak akan permanen hidup di Bekasi atau Jakarta, tapi akhirnya malah kembali ke Bekasi dan bolak-balik Jakarta. Tapi apakah akan permanen? Gue sangat berharap nggak.

No comments:

Post a Comment