Friday, February 7, 2014

Halte




Malam. Sepi. Seorang pemuda jalan perlahan menuju halte yang terletak di pinggir jalan raya. Rokoknya yang terlihat hanya cukup untuk beberapa kali hisap lagi, dia buang ke tempat sampah yang ada di sebelah bangku halte. Kemudian dia duduk dan memainkan telefon genggamnya.

“seharusnya kau matikan dulu sebelum kau buang, Dik,” suara bersumber dari sebelahnya. Pemuda itu menengok ke kanan dan melihat seorang lelaki berumur sekitar 30an duduk di halte yang sama. “bisa terjadi kebakaran, lho.” Lanjutnya. Dia membalas ucapan lelaki itu dengan senyum dan kemudian kembali ke telfon genggamnya.

Tidak ada siapapun di halte itu. Hanya mereka berdua.
 
5 menit. Mereka tak saling bicara. Dia sibuk dengan telefon genggamnya, dan lelaki itu hanya duduk santai menatap jalanan yang dilewati oleh beberapa mobil yang berlalu-lalang. Hal yang wajar dilihat ketika dua orang yang aling tidak mengenal bertemu. Hening.

“Mau dengar sedikit cerita?” lelaki itu memecah kesunyian. Si pemuda menengok. “Di sebrang jalan ini, di tempat yang sama, di bawah lampu yang sama, dan di waktu yang sama setiap tahunnya, mereka selalu bertemu di sini.” Pemuda itu bergeming mendengarkan.

Terlihat lelaki itu agak tersenyum di dalam tatapan kosongnya ke depan. Tampak jelas di wajahnya kalau dia ingin sekali berbagi cerita itu. “ya tidak sering memang. Mereka hanya bertemu setahun sekali. Tidak seperti kalian yang bila tidak bertemu seminggu saja akan blingsatan seperti cacing kepanasan.” Lelaki itu berhenti sebentar demi menengok si pemuda apakah dia memperhatikan atau tidak. “Yaa, tetapi pertemuan yang jarang dilakukan justru yang lebih berarti daripada yang kerap dilakukan, bukan?” lanjut lelaki itu sambil kembali menatap kosong ke depan.

Pemuda itu mengubah fokusnya ke cerita lelaki itu. Telefon genggam yang sedari tadi ia pegang mulai tidak diacuhkannya. Lelaki itu masih  menatap kosong ke arah sebrang jalan. Mulutnya tertutup, sedang memberi jeda akan cerita yang tiba-tiba ia lontarkan.

“Yang laki-laki saya tidak begitu tahu dengan pasti. Namanya Bram, atau Anton, atau Budi, saya pun tak tahu. Tidak penting. Apakah dia pekerja kantoran, jaga warung, atau pengangguran, sayajuga tak tahu. Sekali lagi: tidak penting.”

Pemuda itu menyenderkan badannya ke belakang dan tetap mendengarkan cerita dari orang asing yang baru ia temui tadi.

“Yang penting adalah si perempuan.” Lanjutnya. “Namanya—ah kali ini biarkanlah saya memakai istilah 'tidak penting' semata-mata karena saya tidak ingin berbagi kenangan akan indahnya nama perempuan ini dengan kamu.” Lelaki itu tersenyum.

“Cukup kamu ketahui saja bahwa kami berasal dari kampung yang sama, bahwa kami memiliki tanggal lahir yang sama—meskipun terpaut 10 tahun—dan bahwa saya cukup mengenalnya dengan akrab. Hehe.” Lelaki itu tertawa kecil. Tawa hangat yang biasa orang keluarkan ketika sedang mengenang sesuatu yang manis.

“Cukup akrab sehingga saya tahu bahwa ia punya tahi lalat yang ia sangat benci di bawah payudara kirinya.” Lanjutnya. “Tahi lalat itu ia anggap kurang sedap dipandang, namun ia takut meminta dokter untuk mengangkat tahi lalat itu karena ia berbakat keloid dan ia khawatir keloid yang akan terjadi bila operasi kecil itu dilaksanakan akan terlihat lebih buruk daripada tahi lalat itu sendiri.”

Si pemuda yang sedang asyik mendengarkan tetiba mengeluarkan raut muka bingung. Lelaki itu yang melihatnya kemudian berkata, “Dari mana saya bisa tahu sedetil itu? Mudah saja: kami menikah. Gaya Sitti Nurbaya. Hehe. Hehehe. Hehehehe.” Jelasnya.

Anggukan kecil diberikan pemuda itu untuk menanggapi lelaki yang kemudian kembali menatap kosong ke depan.

“Dan kami berbahagia. Well, paling tidak salah satu dari kami berbahagia. Hehehe.”

“Sampai si bangsat itu datang dan mencoba merenggutnya dari saya. Dia—tunggu. Tunggu sebentar. Sudah waktunyakah?” ceritanya terpotong. Lelaki itu melihat dua sosok yang ada di sebrang jalan. Pemuda itu pun spontan berganti fokus ke arah di mana lelaki itu memandang.

“Ah, ya. Mereka memang tepat waktu. Prosesnya selalu sama, si perempuan tampak dikagetkan sesuatu yang tiba-tiba muncul di belakang si laki-laki, yang kemudian menoleh, berteriak tanpa suara, lalu menghilang. Kemudian si perempuan tampak bertengkar dengan seseorang, meronta, terbanting, lalu diam dan perlahan menghilang pula.” Ujar lelaki itu yang seperti sedang menarasikan kejadian di sebrang jalan yang persis seperti yang dia utarakan.

“Dan mereka akan muncul lagi tahun depan di tanggal yang sama, tempat yang sama dan waktu yang sama.” Lelaki itu menjelaskan. Pemuda itu masih memperhatikan. Dia melihat berubahnya raut wajah lelaki itu menjadi agak sedih.

“Dan pemandangan yang sama akan tampak lagi di hadapan saya. Sudah empatbelas tahun saya selalu melihat peristiwa itu berulang lagi, lagi dan lagi.” Ucap lelaki itu.

“Entah apa yang memaksa saya untuk kembali lagi ke sini empat belas tahun yang lalu. Entah apa yang membuat saya lantas memilih persembunyian ini untuk mengawasi tempat kedua sejoli keparat itu meregang nyawa. Yang jelas, saat pertama kali saya melihat mereka saya merasakan sakit yang amat sangat di dada ini. Kemudian semuanya gelap. Mungkin ini hukuman bagi saya yang telah menghabisi nyawa mereka limabelas tahun yang lalu?” lelaki itu terdiam sebentar, “Entahlah, yang pasti saya berharap belulang saya ditemukan lebih dahulu dari belulang mereka.”

Lalu, seraya sosok lelaki itu menghilang, lelaki itu berkata, “Saya lelah…” dan kemudian dia menghilang.

Pemuda itu tersenyum kecil. Bukan senyum yang biasa, melainkan senyum simpati setelah mendengarkan cerita tadi.

Lalu, sambil mengeluarkan telefon genggam dari sakunya, pemuda itu berucap, “Makasih ceritanya, Mas. Semoga kau tenang setelah curhat tadi.”







Thanks to J. Faiz. :D

No comments:

Post a Comment