Jadi beberapa tahun lalu ketika masih di Jogja, gue pernah berupaya untuk menurunkan berat badan gue yang hampir mendekati 90 kilogram. Metode defisit kalori yang gue gunakan bisa dibilang ekstrim. Gue nggak akan makan sampai gue merasa lapar yang membuat perut sakit. Lapar biasa biasanya akan hilang kalau dibiarkan selama 10 sampai 15 menit, dan memang begitu yang gue rasakan. Makannya pun juga minim, paling sedikit itu hanya 4 gorengan dalam sehari. Seharian tidak makan pun bisa saja, tapi gue tidak mau merusak badan gue lebih jauh. Toh riset terhadap badan sendiri ini pun gue sadari kalau sebenarnya merusak badan.
Tentunya defisit kalori gila-gilaan ini benar-benar berhasil. Gue turun hampir 10 kilogram dalam 10 hari. Pengeluaran untuk makan pribadi pun tidak sampai 300 ribu dalam sebulan. Namun konsekuensinya adalah metabolisme gue rusak sampai sekarang, gue rasa.
Seperti yang gue bilang di atas, itu memengaruhi gue dalam belanja makanan. Gue jadi berpikiran kalau tidak perlu/ada alternatif lain, ya tidak usah dibeli untuk dimakan. Membeli makanan/minuman dengan efektif. Hal yang gue rasa baik untuk dompet sih.
Tapi sayangnya untuk membeli barang, gue masih kebalikannya. Gue masih suka belanja hal yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Apalagi misalnya itu adalah barang hobi. Sepatu misalnya.
Kalau rak sepatu tidak penuh, gatal sekali ingin membeli sepatu baru. Sampai saat ini gue belum membeli rak sepatu lagi, karena sadar kalau ada ruangan kosong di rak itu, jempol ini akan mengantarkan gue ke toko daring untuk membeli sepatu. Tidak membeli rak adalah upaya gue dalam diet sepatu.
Namun brengseknya hobi baru datang lagi. Juga gue belum menemukan cara untuk diet parfum. Nah loh?!
Yaaaa... sepertinya dompet masih belum aman. ¯\_(ツ)_/¯
No comments:
Post a Comment