"Gak kok, mungkin belum biasa aja." Katanya. Namun gue kok ya masih ragu.
Keraguan gue ini gue anggap wajar, karena semenjak SMA ke atas banyak teman gue yang awalnya merasa terintimidasi oleh aspek-aspek yang ada pada diri gue. "Lo tinggi banget soalnya." Adalah alasan paling populer di antara teman gue. Lalu ada juga yang bilang merasa terintimidasi awalnya karena tampang gue seram. I was like... Yang bener aja muka culun gini seram dari mananya? Hahaha.
Tapi memang ada masanya gue bergaya rambut yang yang membuat perawakan gue terlihat seram. Bahkan karena gaya rambut itu, gue sempat sempat dikira anak punk oleh anak punk beneran di Blok M. Rambut gondrong tetapi sampingnya botak, kemudian diikat pula.
Jadi suatu hari gue pulang kuliah dan naik metromini ke Blok M. Ketika di Bulungan ada dua anak punk yang mencoba mengamen dengan persiapan yang sangat luar biasa niat: hanya menepuk-menepuk tangan. Gue duduk di bangku paling belakang, dekat pintu sambil melihat keluar. Setelah menyanyikan lagu dengan lirik perlawanan yang sangat panjang: kurang dari dua menit, mereka meminta duit di tiap bangku dari depan. Satu persatu bangku memberikan recehan, tentu bukan karena terhibur. Kemudian datanglah dia ke bangku paling belakang. Kami bertatap mata, kemudian dia mengangguk. Bukan hanya anggukannya yang membuat gue bingung, namun juga kalimat setelahnya.
"Si (sebut nama di sini) ada?" Tanya dia ke gue seakan-akan seseorang yang dia sebut itu adalah teman gue. Belum selesai bingung gue mengartikan anggukannya, datang lagi kebingungan baru. Bukan karena pertanyaannya, tapi jawaban apa yang mesti gue berikan supaya gue bisa play along.
Selang beberapa detik gue balas, "Ada tadi di Taman."
"Sama siapa aja?" Tanyanya lagi.
"Biasa, sama anak-anak." Jawab gue sok tahu. Kenapa gue bilang "sama anak-anak" pula gue tidak tahu kenapa. Padahal bisa saja orang yang jadi topik bahasan kami ini sebenarnya suka menyendiri dan tidak punya teman. Namun tampaknya anak punk itu percaya saja. Gue membatin "oh aman, ternyata memang ada anak-anak."
"Oh." Jawabnya.
Kemudian hening terjadi selama beberapa menit. Metromini yang kami naiki perlahan berhenti karena lampu merah. Gue bingung mau jawab apa lagi kalau dia menyebut nama lain. Nggak mungkinlah gue jawab "ya, di Taman juga, dia itu termasuk anak-anak yang lagi ngumpul sama yang tadi." Akan terlihat sekali bohongnya. Namun untungnya anak punk itu langsung turun dan pamit pula ke gue.
"Duluan, bos."
"Iya." Tutup gue.
No comments:
Post a Comment