"Pa, mau nanya dong!" seru gue ketika dia sedang mengaduk mie instannya di dalam mangkuk biru hadiah dari deterjen.
"Nanya apa?" Tanyanya kebingungan. Gue dapat pahami, karena anaknya yang sudah jarang banget bertemu dengannya tiba-tiba di pagi hari langsung berkata seperti itu.
Sadar akan raut wajahnya yang kebingungan, tentunya gue tidak langsung bertanya. "Harus jahil dulu nih." pikir gue. Jadi kesempatan untuk membuat bokap gue semakin kebingungan pastinya langsung gue pakai.
"Jadi... Gini, Pa," gue berbicara dengan nada rendah, tempo bicara yang pelan, dan wajah yang agak serius. Tentunya bokap terlihat makin khawatir, itu membuat gue nggak tahan untuk merusak momennya dengan mengeluarkan senyuman. Tersenyumlah gue dan melanjutkan kalimat dengan nada normal, "ceritain dong pas Oji lahir itu gimana."
Selama 31 tahun hidup, gue nggak pernah mendengar cerita apa pun dari beliau mengenai hal ini. Informasi tentang kelahiran yang gue tahu hanya satu, yaitu gue lahir di hari Kamis. Itu juga gue cari tahu sendiri dengan menyetel tanggal gawai ke tanggal gue lahir. Jam berapa gue lahir, di mana lokasinya, proses persalinan gue dulu, dan hal lainnya sama sekali tidak ada yang gue tahu.
Singkat cerita kami ngobrol tentang hari itu. Ternyata gue lahir di pagi yang cerah di satu rumah sakit di Jatinegara. Gue dilahirkan dengan proses normal dan waktunya tidak lama. Ibu gue pun ketika mengandung dan melahirkan gue sedang tidak sakit, kangker yang beliau derita sedang mati suri alias sudah tidak terdeteksi lagi, intinya beliau sehat. Dan lucunya gue mendapatkan predikat bayi favorit saat itu dari para dokter dan para perawat, yang setelahnya bokap dan nyokap gue mendapatkan bingkisan dari rumah sakit. Baru lahir sudah dapat prestasi, tapi ketika besar justru tidak, huh! Hahaha.
Kami ngobrol selama 2 jam lebih. Obrolan tentunya tentang banyak kenangan yang ia punya ketika gue baru lahir sampai ketika ibu gue meninggal. Mendengarkan cerita sang bokap, kepala gue otomatis menerjemahkan ucapan-ucapannya menjadi sebuah film pendek yang ditayangkan di depan jidat gue. Seru sekali! Film seorang Omar Firdauzy, yang disutradarai oleh Omar Firdauzy, yang gambarnya diambil dan disunting oleh Omar Firdauzy, namun naskahnya ditulis oleh Pak Herman Zuhdi.
Ada satu perasaan nyaman ketika beliau bercerita tentang itu semua. Rasa hangat melihat sang ayah bercerita dengan wajah berseri yang dihiasi ceria dan haru, karena dia tampaknya juga menikmati nostalgianya. Sisi sang bokap yang belum pernah gue lihat sebelumnya.
Interaksi kami di pagi hari tadi membuat gue punya satu kesimpulan, kalau kami ternyata akan selalu merindukan sosok yang sama entah bagaimana situasinya. Memang dirimu itu adalah orang yang mustahil untuk tidak dirindu, Ma. :)
No comments:
Post a Comment