Pemuda itu sedang duduk di sebuah ruangan yang
hanya berisikan satu meja kayu dan satu kursi kayu. Lantainya pun terbuat dari
kayu. Sudah berdencit di sana-sini, menunjukkan bahwa lantai kayu itu sudah
tua. Tembok bata yang hanya berhias dua jendela yang menghadap ke arah
pegunungan dan satu pintu yang juga terbuat dari kayu, mengelilingi pemuda itu.
Di atas meja terdapat sebuah kotak penyimpanan.
“Lo menang deh kayaknya,” ucapnya kepada kotak
metal dingin di depannya. “Jadi, mari kita lakukan, kawan.” Dia membuka kotak
itu dan mengeluarkan isinya: sebuah gelas, sebotol wine, sebungkus rokok, dan
sebuah pistol. Itu semua untuk ritual bunuh dirinya.
Wajahnya tidak tampak depresi seperti orang
yang akan bunuh diri. Biasa saja. Bahkan dia sempat
senyum sambil mengeluarkan botol wine. “Ini kan perayaan transformasi gue jadi atom dan menyatu sama alam semesta, harusnya gue beli
sampanye saja waktu itu.” Pikirnya sambil mengeluarkan botol tadi, dan dia bahkan
sempat tertawa ketika dia melihat pelurunya terisi penuh padahal dia hanya
butuh satu. Satu tembakan di kepala, dan semua selesai. Kembali lagi, dia tidak
terlihat murung. Mungkin dia sudah terlatih menekan emosi negatifnya, jadi dia
tetap tidak bisa berekspresi muram, walaupun dia hanya sendiri. Dia terlihat
ceria. Namun ada yang bilang orang paling ceria yang kamu temukan biasanya adalah
orang yang paling depresi. Mungkin itu benar.
Wine dituangkan ke gelas, dan dia pun
menyalakan rokoknya. Tarikan dalam, lalu hembusan ringan, diikuti bibirnya yang
menyisip gelas berisi wine. Diulang. Damai.
Ritual itu memang sudah dia siapkan sejak lama
ketika dia sudah merasa kalau suatu hari dia tidak kuat. Hidup kadang bisa
berat dari berbagai hal, bukan hanya segi finansial saja, namun dengan tahu
kita harus hidup saja bisa menjadi beban. Oleh karena itu pemuda itu menyiapkan
itu semua dari beberapa tahun lalu, untuk saat di mana dia sudah tidak mampu
melawan hidup.
Sebuah pistol untuk membantunya, karena dia pikir
itu adalah cara paling mudah walaupun kotor. Sebungkus rokok guna membantunya
berpikir secara dalam untuk terakhir kalinya. Dan sebotol wine sebagai minuman
terakhir, walaupun dia belum pernah meminumnya, tapi dia sering melihat
bagaimana minuman itu didewakan oleh orang-orang. Dia ingin meminum dewa
sebelum bertemu dengan dewa. Semua ritual kematiannya dibuat seromantis
mungkin, karena dia suka mengistimewakan hal-hal yang sepele, bahkan untuk
kematiannya yang sebenarnya tidak akan dia rasakan keistimewaannya. Karena dia
akan mati.
Wine sudah habis. Rokoknya hanya dia hisap 2 batang. Jemarinya menghampiri tempat di mana sebuah revolver besi yang dingin
berada. Tangannya mengangkat pistolnya. Ringan, pikirnya. Namun saat
menarik pelatuk, pisol itu menjadi berat. Tangannya gemetar namun tetap mantap
untuk bisa mengarahkan ujungnya ke atas telinga. Wajahnya tersenyum melihat
refleksi bayangannya yang terlihat sedang berpose konyol di kaca jendela.
Sambil tersenyum, dia mengangkat tangan kirinya ke depan, lalu mengacungkan
jari tengah ke arah bayangannya. Sambil berkata “Yak!” dia memicu pelatuknya
agar pistolnya meletus. Dan...
Gue terbangun dari mimpi gue hari ini. Dari
semua mimpi gue, mungkin mimpi ini yang paling oke. Sayangnya gue kurang bisa
mengemasnya dalam cerita yang bagus. Tapi tetap saja ini mimpi yang keren, dan
siapa tahu ini juga termasuk ramalan...:p